Kita akan bisa memaklumi prilaku orang lain yang berbeda dengan prilaku kita jika kita mengetahui sebab yang mendorong orang tersebut untuk melakukannya sebagaimana pepatah Arab mengatakan, “Idza ‘urifa al sabab bathola al ‘ujab” yang artinya jika sebab timbulnya hal yang aneh itu diketahui maka keheranan akan hilang.
Di antara prilaku yang mengherankan sebagian orang adalah adanya wanita yang mau bercadar. Berikut ini akan kami sebutkan alasan pokok yang melatarbelakangi sebagian wanita rela menutup wajahnya dengan cadar. Moga setelah kita tahu maka kita lebih bisa memaklumi adanya orang yang melakukannya atau bahkan membela dan mengamalkannya.
Pertama
Semua ulama baik yang mewajibkan wanita untuk menutup wajahnya atau pun sekedar menganjurkan bersepakat bahwa istri-istri Nabi shallallahun ‘alaihi wa sallam berkewajiban untuk menutup wajah mereka dari laki-laki yang bukan mahram mereka.
قَالَ عِيَاض : فَرْض الْحِجَاب مِمَّا اِخْتَصَصْنَ بِهِ فَهُوَ فُرِضَ عَلَيْهِنَّ بِلَا خِلَاف فِي الْوَجْه وَالْكَفَّيْنِ ، فَلَا يَجُوز لَهُنَّ كَشْف ذَلِكَ فِي شَهَادَة وَلَا غَيْرهَا وَلَا إِظْهَار شُخُوصهنَّ وَإِنْ كُنَّ مُسْتَتِرَات إِلَّا مَا دَعَتْ إِلَيْهِ ضَرُورَة مِنْ بِرَاز .
Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, “Hijab dalam pengertian menutupi wajah dan dua telapak tangan adalah kewajiban yang dikhususkan untuk para istri Nabi tanpa ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hal ini. Mereka tidak diperbolehkan untuk membuka wajah dan telapak tangan saat memberikan persaksian atau yang lainnya. Mereka tidak boleh menampakkan sosok tubuh mereka meski mereka terlindung dengan sesuatu sehingga tidak ada orang yang turut melihat kecuali dalam kondisi terpaksa semisal buang air besar di luar bangunan” (Fathul Bari 13/332, Maktabah Syamilah).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al Ahzab:59).
Ayat ini menunjukkan bahwa jilbab yang dikenakan oleh wanita yang beriman itu sama dengan jilbab yang dikenakan oleh para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena perintah yang ada itu sama dan ditujukan kepada istri Nabi dan para wanita yang beriman serta menggunakan kata perintah yang sama. Sedangkan berdasarkan keterangan di atas para ulama sepakat bahwa jilbab untuk para istri Nabi itu menutupi wajah dan dua telapak tangan. Jika demikian maka jilbab bagi wanita yang beriman itu berupa menutupi wajah.
Kedua
Allah berfirman,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” (QS al Ahzab:53).
Ayat ini dengan sepakat seluruh ulama menunjukkan adanya kewajiban bagi wanita untuk menutupi wajah. Akan tetapi para ulama yang tidak mewajibkan bercadar mengatakan bahwa kandungan ayat di atas hanya berlaku untuk para istri Nabi. Pemahaman ini tidak tepat bahkan yang benar ayat di atas berlaku untuk semua wanita dengan beberapa alasan sebagai berikut.
(a) Kandungan ayat itu disimpulkan dari redaksi yang bersifat umum bukan dari sebab yang bersifat khusus.
(b) Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita yang hatinya paling suci dan memiliki kedudukan yang paling agung dalam hati para laki-laki yang beriman. Bahkan mereka dilarang untuk menikah setelah Nabi wafat. Meski demikian mereka diperintahkan untuk berjilbab semacam itu dalam rangka menyucikan hati mereka. Wanita selain mereka tentu lebih layak untuk mewujudkan tujuan tersebut.
(c) Dalam ayat di atas Allah menegaskan bahwa hikmah disyariatkannya jilbab semacam itu untuk para istri Nabi adalah ‘yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka’. Kalimat ini mengandung motif hukum yang tidak hanya dijumpai dalam satu kasus semata. Tujuan tersebut wajib diwujudkan oleh semua orang di semua zaman dan semua tempat. Jika kita katakan bahwa jilbab semacam itu hanya khusus untuk istri Nabi maka hal ini artinya bahwa para wanita beriman tidak mebutuhkan ‘kesucian hati’ yang dibutuhkan oleh para istri Nabi. Dengan kata lain, mereka lebih mulia dibandingkan para istri Nabi?!
(d) Dalam ayat selanjutnya, Allah berfirman,
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آَبَائِهِنَّ وَلَا أَبْنَائِهِنَّ وَلَا إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلَا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلَا نِسَائِهِنَّ
“Tidak ada dosa atas mereka (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan yang beriman” (QS al Ahzab:55).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir berkata,
لما أمر تعالى النساء بالحجاب من الأجانب، بيَّن أن هؤلاء الأقارب لا يجب الاحتجاب منهم،
“Setelah Allah perintahkan para wanita untuk berhijab (baca:berjilbab) ketika berjumpa laki-laki yang bukan mahram maka Allah tidak ada kewajiban untuk berhijab di hadapan karib kerabat yang telah disebutkan”.
Ketentuan ini bersifat umum. Jika demikian bagaimana mungkin kita katakan bahwa ayat sebelumnya hanya berlaku untuk para istri Nabi.
Ketiga
Dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ».فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ « يُرْخِينَ شِبْرًا ». فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ « فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ ».
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menyeret bagian bawah pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat nanti”. Ummu Salamah berkata, “Apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung kain mereka?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya mereka memanjangkannya seukuran satu jengkal”, Ummu Salamah kembali berkata, “Jika demikian, telapak kaki mereka masih tersingkap”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya mereka panjangkan seukur satu hasta dan tidak boleh lebih dari itu” (HR Tirmidzi no 1731 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Hadits shahih ini menjadi dalil bahwa sudah sangat diketahui di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa telapak kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutupi sehingga tidak ada laki-laki bukan mahram yang melihatnya.
Jika telapak kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutupi maka wajah tentu lebih layak untuk ditutupi.
Setelah penjelasan di atas, apakah layak bagi syariat untuk memerintahkan menutupi telapak kaki yang bukan sumber pokok godaan wanita kemudian membolehkan wanita untuk membuka wajahnya padahal wajah adalah pusat kecantikan dan sumber godaan wanita. Sungguh ini adalah kontradiksi yang tidak mungkin ada dalam syariat Allah.
Keempat
Dalam hadits yang lain,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُبَاشِرِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا ، كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا »
Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda, “Seorang wanita tidaklah diperbolehkan untuk memandangan aurat wanita yang lain lalu dia menggambarkannya kepada suaminya seakan-akan suami memandang wanita tersebut” (HR Bukhari no 4942).
Hadits di atas adalah dalil bahwa para wanita di masa Nabi menutupi wajah mereka. Jika tidak, tentu para lelaki tidak perlu diberi gambaran tentang wanita yang bukan mahramnya supaya ‘seakan-akan memandangnya’ karena mereka bisa melihat secara langsung.
Kelima
Dalam banyak hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan laki-laki yang hendak meminang seorang wanita agar melihat wanita yang hendak dia inginkan.
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرْتُ لَهُ امْرَأَةً أَخْطُبُهَا فَقَالَ « اذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا ». فَأَتَيْتُ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ فَخَطَبْتُهَا إِلَى أَبَوَيْهَا وَأَخْبَرْتُهُمَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَكَأَنَّهُمَا كَرِهَا ذَلِكَ. قَالَ فَسَمِعَتْ ذَلِكَ الْمَرْأَةُ وَهِىَ فِى خِدْرِهَا فَقَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَكَ أَنْ تَنْظُرَ فَانْظُرْ. وَإِلاَّ فَإِنِّى أَنْشُدُكَ كَأَنَّهَا أَعْظَمَتْ ذَلِكَ.قَالَ فَنَظَرْتُ إِلَيْهَا فَتَزَوَّجْتُهَا.
Dari al Mughirah bin Syu’bah, “Aku menemui Nabi dan bercerita tentang wanita yang hendak aku lamar”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah dan lihatlah wanita tersebut karena hal itu akan lebih melanggengkan rasa cinta di antara kalian berdua”. Aku lantas mendatangi rumah seorang wanita Anshar lalu kulamar wanita tersebut pada kedua orang tuanya lantas kuceritakan kepada kedua sabda Nbai di atas. Nampaknya kedua orang tuanya tidak menyukai hal tersebut. Ternyata si wanita yang berada di dalam kamar mendengar pembicaraan kami, dia lantas berkata, “Jika Rasulullah yang memerintahkanmu untuk melihat diriku maka silahkan lihat. Namun jika bukan maka aku memintamu dengan nama Allah untuk tidak melakukannya”. Seakan wanita tersebut menilai bahwa hal ini adalah satu masalah besar. Akhirnya kulihat wanita tersebut lalu aku menikahinya. (HR Ibnu Majah no 1866 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Hadits di atas menunjukkan bahwa para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu bercadar karenanya maka seorang laki-laki tidak bisa melihat seorang wanita kecuali jika hendak melamarnya. Andai para wanita membuka wajah mereka, seorang laki-laki tidak perlu meminta izin kepada orang tua si wanita jika ingin melihat wanita yang ingin dinikahi.
Demikian pula, andai para wanita tidak menutupi wajah mereka tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu memerintahkan laki-laki yang hendak melamar seorang wanita untuk melihat wanita yang akan dia nikahi.
Adanya pengecualian berupa bolehnya memandang wanita yang hendak dinikahi menunjukkan bahwa pada asalnya para wanita itu menutupi wajah mereka. Jika bukan demikian maka pengecualian dalam hal ini adalah suatu yang sia-sia belaka.
Jazakallahu khairan wa hafidzallahu laka, izin copas ustadz
Subhanallah….
Syukran 4 this article, Jazaakallahu khayran.
jazakallahu khairan ustadz
ustadz, maaf saya agak sedikit kebingungan, berdasarkan paparan ustadz di atasa, terutama pada point kedua, bagaimanakah hukum mengenakan cadar bagi wanita? apakah wajib ataukah sunnah? jazaakallohu khayral jazaa’
saya pernah merasakan namanya kepedihan cinta, itupun dari wanita yang berjilbab namun tidak bercadar, dia (wanita itu) belum bisa menjaga dirinya walau sudah berjilbab…
kenapa bisa seperti itu? apakah mungkin jilbab saat ini hanya dianggap sebagai tren sesaat…
Tulisan di atas memuat alasan ulama yang mewajibkan cadar agar kita bisa memaklumi sikap orang lain yang beda pendapat dengan kita.
Meski saya pribadi masih cenderung dengan pendapat yang menilai hukum cadar adalah mustahab, tidak wajib.
Assalaamu ‘alaykum, Ustadz Aris.
Ada yang ingin saya tanyakan tentang buku Syaikh Albani rahimahullah yang berkaitan dengan hukum sunnahnya cadar. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau, saya menemukan kelemahan dalam logika yang beliau pakai.
1. Tidak kosisten. Saat menjelaskan definisi jilbab, beliau rahimahullah merujuk peristiwa diperintahkannya para wanita untuk mengikuti sholat ‘id. Beliau rahimahullah berkata bahwa perintah itu diberikan setelah perintah hijab karena Umar radhiyallahu anhu berhijab dengan para wanita. Padahal kalau kita lihat ayat hijab, hanya ditujukan untuk isteri-isteri Rasulullah radhiyallahu anhuma. Di sini beliau menyamakan hijab untuk isteri-isteri Rasulullah radhiyallahu anhuma dengan kaum wanita. Di lain pihak beliau rahimahullah tidak mau menyamakan perintah jilbab dan cara pengulurannya meskipun ayat jilbab jelas-jelas berlaku untuk semuanya termasuk isteri-isteri Rasulullah radhiyallahu anhuma.
2. Tidak banyak merujuk literatur yang mewajibkan sehingga tidak menampilkan pendapat mereka. Seperti penggunaan hadits tentang wanita yang sholat yang membuka wajahnya. Padahal ulama-ulama yang mewajibkan jelas-jelas membedakan antara aurot dalam sholat dan aurot dalam pandangan laki-laki. Demikian juga dengan hadits-hadits wanita yang membuka wajahnya di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Ibnu Hajar rahimahullah, yang saya tahu juga mewajibkan bercadar, juga berpendapat bahwa membuka wajah di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dibolehkan. Jadi, ulama-ulama yang mewajibkan sebenarnya sudah memadukan hadits-hadits itu saat menentukan hukum wajibnya menutup wajah dan telapak tangan, dengan tambahan membolehkan membukanya saat ihram, sholat, dan menghadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam (dengan syarat tidak dikhawatirkan timbul fitnah).
3. Logika yang dipaksakan. Beliau rahimahullah mendefinisikan jilbab sebagai busana sholat (yg boleh membuka wajah dan telapak tangan) karena jilbab digunakan untuk sholat ‘id (lihat kembali hadits terkait nomor 1). Padahal, kita tahu bahwa sholat ‘id dilakukan di tempat terbuka dan di siang hari. Jadi jilbab yang dipakai tidak hanya untuk sholat tetapi juga untuk keluar dan berada di tempat terbuka saat siang hari.
4. Yang terakhir, hanya pertanyaan saja. Kenapa berdasarkan hadits-hadits itu tidak memadukan seperti ini: bahwa cadar sunnah untuk wanita-wanita yang belum menikah? Alasannya : pertama, hadits-hadits yang menunjukkan wanita terlihat wajahnya adalah wanita-wanita yang belum menikah (gadis/janda) dan kedua, ayat jilbab hanya mewajibkan jilbab untuk isteri-isteri dan puteri-puteri Rasulullah radhiyallahu anhuma, serta isteri-isteri mukminin (menurut terjemahan-terjemahan yang saya ketahui), tidak termasuk puteri-puteri mukminin.
Afwan, kalau ada salah kata. Saya hanya ingin menerima pendapat yang paling kuat tanpa keraguan. Kalau pendapat yang men-sunnah-kan takut mewajibkan yang tidak wajib, tetapi pendapat yang mewajibkan juga takut ‘menghalalkan yang haram’, yaitu membuka wajah dan telapak tangan.
Wassalam,
Untuk Taufiq
Wa’alaikumussalam
Suatu hal yang perlu direnungkan, adakah ulama terdahulu yang berpendapat bahwa bahwa cadar itu sunnah untuk gadis atau janda dan wajib bagi yang bersuami?
Imam Ahmad mengatakan, “Janganlah engkau berkata-kata tentang agama yang engkau tidak memiliki imam pendahulu dalam pendapat tersebut”.
Jazaakallahu khairan.
Ustadz Aris betul.
Sehingga untuk sampai saat ini pendapat Ibnu Hajar rahimahullah lebih bisa saya terima.
Wassalam.
Ustadz, bagaimana hukum memakai cadar ketika shalat karena hijab antara jama’ah ikhwan dan akhawat tidak sempurna sehingga ikhwan (terutama yang masbuk) bisa melihat akhawat dengan jelas? Jazakallah khair.
Untuk Ummu
Boleh.
assalaamu’alykum ustdaz,
bagaimana hukumnya menutup kaki seorang muslimah apakah itu wajib atau sunah? jazakallah khair.
untuk yuni
Wa’alaikumussalam
Ya, wajib menutup kaki.
Assalamu’alaykum ustadz..
Afwan ana mau tanya. Alhamdulillah ana sudah ingin skali bercadar. Kebetulan suami bekerja diluar kota. Alhamdulillah suami memang mengizinkan tp dgn catatan slm suami memang sdg tidak dirumah (safar diluar kota), tp bila sedang pulang atau bepergian dgn suami, suami meminta ana tidak memakai cadar.
Apakah ana jd tidak istiqomah ustadz ? Jujur aja sbnrnya malu skali tdk berniqab, rasanya spt msh setengah telanjang….
Mohon jawabannya ustadz..
Jazaakallohu khoyr..
#ummu
Jika anda berkeyakinan bahwa bercadar itu dianjurkan maka apa yang anda lakukan itu tidaklah mengapa. Lebih baik lagi, jika anda berusaha memahamkan suami dalam hal ini.
assalamu’alaykum Ustadz, jika Ustadz lebih memilih hal ini mustahab atau sepaham saya selama ini artinya dianjurkan, dan tidak wajib, adakah Ustadz juga menulis artikel tentang hal ini? ataukah sudah sangat tercakup dalam artikel di atas?
syukron Ustadz
Izin Copas ustadz….
Jazaakumullohu Khoiron
#afifah
Silahkan
ijin share ustadz…syukron