Allah berfirman yang artinya, “Ikutilah orang yang tiada minta Balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS Yasin:21).
Ibnu Sa’di mengatakan, “Ikutilah orang yang memberikan nasehat kepadamu, yang menginginkan kebaikan untukmu, bukan seorang yang menginginkan harta dan upah darimu karena nasehat dan bimbingan yang dia berikan kepadamu. Ini merupakan faktor pendorong untuk mengikuti orang yang memiliki sifat demikian. Namun boleh jadi ada yang bilang, ‘memang boleh jadi dia berdakwah dan tidak meminta upah dengan dakwahnya namun ternyata dia tidak berada di atas kebenaran’. Kemungkinan ini Allah bantah dengan firmanNya, ‘Dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk’. Hal ini karena mereka hanyalah mendakwahkan hal-hal yang dinilai baik oleh akal sehat dan mereka hanya melarang untuk mengerjakan hal-hal yang dinilai buruk oleh akal sehat” (Taisir al Karim al Rahman hal 817, cetakan Dar Ibnu al Jauzi).
Pepatah arab mengatakan, faaqidus syai’ laa yu’thihi, orang yang tidak punya tidak akan bisa memberi. Sebagaimana orang yang tidak punya uang tidak akan pernah bisa memberi uang kepada orang lain maka demikian pula orang yang tidak berada di atas hidayah tentu tidak bisa bagi-bagi hidayah.
Dalam ayat di atas Allah menjelaskan ciri dai yang bisa bagi-bagi hidayah karena dia memang berada dalam hidayah yaitu tidak meminta upah dengan dakwah dan nasehatnya.
Tidak hanya sebatas meminta upah berupa harta, namun juga tidak meminta upah dalam bentuk penghormatan, cium tangan, disowani, diminta mencoblos partai tertentu, dimintai membuat kartu anggota organisasi tertentu ataupun tergabung dalam kelompok pengajian tertentu.
Inilah ciri orang yang layak kita jadikan sebagai guru ngaji kita.
Syeikh Abdur Rahman bin Muhammad bin Qosim mengatakan, “Dalam dakwah ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu ikhlas karena mengharap melihat wajah Alloh dan sesuai dengan sunnah Rasulullah. Jika seorang dai tidak memenuhi kriteria pertama maka dia adalah musyrik. Tetapi jika syarat kedua yang tidak terpenuhi maka dia adalah mubtadi’. Demikian pula, seorang dai harus mengetahui materi yang hendak didakwahkan baik berupa perintah maupun larangan sebagaimana seharusnya lembut ketika memerintah dan melarang suatu hal” (Hasyiah Kitab at Tauhid hal 55).
وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan sesungguhnya para nabi itu tidak memwariskan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu agama” (HR Abu Daud no 3741, dinilai shahih oleh al Albani).
Adalah menjadi ketentuan untuk semua nabi, jika mereka meninggal dunia maka harta warisan mereka tidak jatuh kepada keluarganya namun menjadi hak sosial. Ketentuan ini memberi penegasan bahwa dakwah yang diusung oleh para nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik adalah dakwah yang ikhlas. Mereka berdakwah bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau anggota keluarga dan keturunan.
Andai harta warisan para nabi itu dibagikan kepada keluarganya maka boleh jadi ada orang akan berpikir bahwa nabi demikian rajin berdakwah adalah supaya anggota keluarganya berkecukupan hingga tujuh keturunan.
Dengan adanya ketentuan di atas maka orang akan semakin yakin bahwa dakwah para nabi hanyalah karena Alloh. Mereka ingin agar masyarakat berubah semakin baik, semula syirik menjadi tauhid, bid’ah menjadi sunnah dan maksiat menjadi ketaatan.
Jangan terburu-buru menjadikan seseorang sebagai guru ngaji kita sebelum sifat di atas ada pada mereka. Tidak semua muslim layak dijadikan guru dan tidak semua orang yang kita kenal adalah tempat kita bertanya tentang masalah agama.
Ustadz Aris Munandar yang semoga dicintai Allah,
Jazakallah khairan atas tulisan Ustadz.
Menata hati memang bukan hal yang mudah. Rasanya tidak berlebihan jika saya mengutip nasihat ‘pinisepuh’ jaman dahuulu: “Yen dikeki arep, yen ora dikeki ora ngarep-arep”. Kalau dikasih mau, kalau nggak dikasih ya tidak mengharap-harap.
Bagi yang ikhlas dan tidak mengharap-harap pemberian orang, bisa jadi rejekinya malah ‘ndlidir’ dan ‘teko tanpo kulonuwun’.
Masalah dana/harta ini memang cukup pelik, dan sependek yang saya tahu telah cukup mengganggu ‘keharmonisan’ antar juru dakwah di Indonesia.
Ustadz Aris, mohon dijelaskan juga tentang pertanyaan-pertanyaan saya berikut:
a. Apakah seorang da’i boleh menerima bantuan dari mad’u nya ?
b. Jika jawaban pada point a adalah boleh, mana yang lebih utama: memberikan langsung kepada da’i ataukah melalui lembaga ?
c. Mohon dikupas, -bisa dijadikan artikel tersendiri-, bagaimana para salafush sholih dalam mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. Dan bagaimana para salafush sholih tersebut me-manage waktu antara mencari nafkah dan berdakwah. Mungkin bisa diberikan contoh kisah beberapa ulama dalam hal ini.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelonggaran dan keberkahan waktu kepada Ustadz Aris Munandar dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Mohon maaf bagi pembaca lain karena saya mencantumkan beberapa ungkapan dalam bahasa Jawa, bukan bermaksud untuk mengunggulkan bahasa Jawa, tetapi sekedar untuk menyampaikan maksud yang terasa lebih mengena dalam hal ‘rasa bahasa’.
Untuk Abu Zahroh
Tentang hal ini Nabi bersabda kepada Umar, “Jika datang kepadamu harta tanpa kau minta dan tanpa kau harap maka terimalah”.
Perintah untuk menerima harta pemberian dalam hadits ini bermakna anjuran menurut mayoritas ulama dan wajib menurut zhahiriah.
Assalaamu’alaykum.
Ustadz, ada realita yang ana hadapi, begini… ana ini kan muqallid terutama dalam masalah tashhih dan tadh’if hadits, taunya cuma “disahihkan oleh syaikh Al-Albani” dst, lalu apakah orang seperti ana ini boleh menda’wahkan misalnya “tawassul itu BID’AH karena tak ada sunnahnya, adapun dalil hadits tawassul, dari jalur Maalik Ad-Daari adalah lemah seperti yang dijelaskan Syaikh Al-Albani”. apakah ini boleh? padahal ana tidak tahu dasar kenapa syaikh Al-Albani menghukumi hadits tersebut lemah…
Untuk Ibnu
Kita hanya mendakwahkan yang kita ketahui. Katakanlah, “Demikianlah sebatas pengetahuan saya”.
Jazaakallah khair, baiklah ustadz sekarang ana telah merasa tenang dengan jawaban antum…terima kasih banyak
Assalamu’alaikum ustad.. bolehkah kita menyontoh dakwah dari jamah tabligh dalam hal keluar untuk ke masjid ato ke masyarakat secara langsung untuk mendakwahkan islam, meramaikan masjid kampung tersebut dengan silahturahim, membentuk kajian2 rutin untuk masyarakat dewasa dan anak anak (TPA). Kita membentuk rombongan yang terbuka untuk umum bentuknya mungkin seperti KKN waktu mahasiswa ustad.. Setelah berjalan baik di kampung tersebut, kita berpindah ditempat laen tapi ditempat semula kita sudah membuat jadwal untuk ustad pengisi kajian rutinnya.. tentunya hal yang bersifat penentuan2 yang bisa menjadi bid’ah kita tinggalkan.. Mohon sekali tanggapannya dari ustad… kadang kita walau tidak memiliki banyak ilmu, pengen sekali berdakwah dengan tenaga/ fisik kita untuk membangun komunikasi dengan masyarakat, sedangkan dari ilmu syar’inya tetap berasal dari ustad2 yang diketahui keilmuannya.. jazakallah khoiron
Untuk Abu Abdirrahman
Wa’alaikumussalam
Secara umum sebenarnya tidak masalah selama tidak ada hal-hal yang masalah.