Harta Bercampur menurut Mazhab Syafii
Tidak jarang dalam kondisi tertentu bertransaksi dengan seorang yang mata pencarian satu-satunya hanya dari sumber yang haram semisal orang yang kita ketahui bahwa profesi satu-satunya adalah melacur atau pegawai di bank ribawi. Demikian pula terkadang kita berkunjung ke rumah kerabat yang ternyata sumber penghasilannya hanya dari rentenir. Karena posisi sebagai tamu mau tidak mau kita mendapatkan jamuan makanan. Dalam kondisi semisal ini bolehkah kita menikmati suguhan makanan tersebut?
Tentu sebagai seorang muslim kita ingin mendapatkan kehidupan yang penuh dengan barokah dari Allah. Kiat penting untuk mewujudkan harapan tersebut adalah berupaya mengikatkan diri dengan syariat dalam semua aktivitas yang kita lakukan. Sebagai seorang muslim kita yakin dengan sepenuh hati bahwa menjalankan aturan syariat adalah sumber kebahagian dan keberuntungan di dunia dan akhirat.
Bagaimanakah panduan syariat dalam menyikapi kasus-kasus di atas. Penjelasan salah satu ulama besar dalam Mazhab Syafii yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Ali asy-Syirazi berikut ini bisa kita jadikan sebagai acuan melangkah dan membuat keputusan.
المهذب (1/ 267)
فصل مبايعة من ماله حرام ولا يجوز مبايعة من يعلم أن جميع ماله حرام لما روى أبو مسعود البدري أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن حلوان الكاهن ومهر البغي وعن الزهري في امرأة زنت بمال عظيم قال لا يصلح لمولاها أكله لان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن مهر البغي فإن كان معه حلال وحرام كره مبايعته والأخذ منه لما روى النعمان بن بشير قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول الحلال بين والحرام بين وبين ذلك أمور مشتبهات وسأضرب لكم في ذلك مثلا إن الله تعالى حمى حمى وإن حمى الله حرام وإن من يرعى حول الحمى يوشك أن يخالط الحمى وإن بايعه وأخذ منه جاز لان الظاهر مما في يده أنه له فلا يحرم الأخذ منه
“Tidak diperbolehkan mengadakan transaksi jual beli dengan orang yang semua hartanya berasal dari sumber yang haram. Dalilnya adalah hadits dari Abu Mas’ud al-Badri, sesungguhnya Nabi melarang upah dukun dan upah pelacur. Az- Zuhri ditanya mengenai seorang budak wanita yang melacur dan mendapatkan harta yang sangat banyak. Jawaban beliau, “Tidak boleh bagi tuan pemilik budak perempuan tersebut untuk memakan hasil melacur tersebut karena Nabi melarang penghasilan dari melacur”. Namun jika harta orang tersebut bercampur antara halal dengan haram hukum mengadakan transaksi jual beli dengan orang tersebut hukumnya makruh. Demikian pula menerima pemberian darinya. Dalilnya adalah hadits dari an-Nu’man bin Basyir, beliau mendengar Rasulullah bersabda, “Halal itu jelas. Haram juga jelas. Namun diantaranya adalah hal-hal yang tidak jelas. Akan kusampaikan kepada kalian sebuah permisalan. Sungguh Allah telah menetapkan daerah larangan. Daerah larangan Allah adalah hal-hal yang haram. Siapa yang menggembalakan hewan ternaknya di dekat daerah larangan lama-lama akan terjerumus ke dalamnya”. Namun jika kita menerima sesuatu dari orang tersebut yang hartanya bercampur antara halal dengan haram hukumnya boleh karena berdasarkan kemungkinan yang paling mendekati harta yang ada di tangan seseorang itu miliknya sendiri sehingga tidaklah haram menerima harta dari orang tersebut” [al-Muhadzdzab karya asy Syirazi 2/36-37, terbitan Dar al-Ma’rifah Beirut].
Berdasarkan uraian di atas Mazhab Syafii membedakan antara orang yang seluruh penghasilan dan hartanya dari sumber yang haram semisal orang yang sumber pendapatannya satu-satunya adalah kerja di bank ribawi, menjadi rentenir dll dan orang yang hartanya bercampur, ada yang berasal dari sumber yang haram dan ada yang berasal dari sumber yang halal semisal kerja di bank ribawi plus punya toko kelontong di rumah. Untuk jenis pertama, tidak boleh melakukan transaksi dengannya semisal jual beli dengannya ataupun menerima hadiah dan pemberiannya semisal suguhan makanan ketika bertamu dll. Sedangkan untuk orang jenis kedua masih diperbolehkan bertransaksi jual beli dengannya ataupun menerima hadiah dan pemberiannya meski boleh di sini bukanlah mubah murni mubah akan tetapi mubah namun makruh yang bermakna sebaiknya dijauhi dan dihindari.