Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah.
بعض الأدوية يكون فيها نسبة من الكحول فما حكمها
Sebagian obat mengandung alkohol dalam prosentase tertentu. Apa hukumnya?
س: بعض الأدوية يكون فيها نسبة من الكحول فما حكم استعمالها ؟ وإذا كان لا بد في تركيبها من هذه الكحول. أفيدونا؟
Pertanyaan, “Sebagian obat mengandung alkohol dalam prosentase tertentu. Apa hukum mengkomsumsi obat semacam itu? Jika suatu obat itu harus mengandung alkohol, apa status hukumnya?
ج: أرى أنه يجوز استعمالها عند الحاجة والضرورة،
Jawaban Syaikh Ibnu Jibrin, “Kami berpandangan bolehnya mengonsumsi obat semacam itu ketika memang dibutuhkan atau dalam kondisi terpaksa.
وذلك لأن هذه النسبة قليلة فيها،
Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, prosentase alkohol dalam obat tersebut rendah (sehingga pengaruh alkohol dalam obat tersebut tidak ada, pent)
ثم هي مستهلكة في ذلك الدواء كالنبيذ الذي صب عليه ماء كثير أزال تأثيره،
Kedua, alkohol dalam obat tersebut sudah mengalami proses istihlak (hilangnya pengaruh dan ciri fisik suatu materi karena telah bercampur dengan materi yang lain, pent). Alkohol dalam hal ini tidaklah berbeda dengan nabiz (khamar yang berasal dari buah-buahan) yang dicampuri dengan air dalam jumlah besar sehingga pengaruh nabiz tersebut hilang (sedangkan para ahli fikih menilai bahwa nabiz dalam kondisi semisal ini tidak lagi dinilai sebagai khamr, pent).
ولأن الأدوية علاج أمراض لا تؤكل ولا تشرب، والوعيد في الخمر ورد على الشرب،
Ketiga, obat yang beralkohol dikomsumsi untuk terapi penyakit bukan untuk dinikmati dengan dimakan atau diminum. Sedangkan ancaman keras terkait dengan khamr adalah menikmati khamar dengan meminumnya.
ولأنها في هذه الحال لا تتصف بالإسكار، ولو كانت تخدر العضو أو الجسم فهي كالبنج ونحوه،
Keempat, alkohol dalam kondisi di atas tidaklah memiliki sifat memabukkan. Andai alkohol tersebut mematikan rasa pada satu bagian anggota badan ataupun keseluruhan badan maka statusnya sebagaimana obat bius (yang menghilangkan kesadaran namun tidak dinilai sebagai khamr, pent).
ولأنها لا يتلذذ بها بخلاف المسكرات فإنها تشرب للتلذذ وتهواها النفوس وتطرب لها، ويحصل بها نشوة وارتياح والتذاذ، وليس كذلك هذه الأدوية التي تجعل فيها هذه المادة حتى تحفظ عليها وظيفتها وتمنعها من التعفن والتغير،
Kelima, obat yang bercampur alkohol tersebut tidaklah dinilai ‘nikmat’ berbeda dengan minuman memabukkan yang diminum untuk ‘kenikmatan’, jiwa pun menyukainya dan peminumnya bisa merasa ‘fly’. Lain keadaannya dengan obat yang mengandung unsur alkohol yang fungsi terapi dari obat tersebut tetap terjaga (meski mengandung alkohol) juga terjaga dari perubahan sifat fisiknya (sehingga berubah menjadi memabukan).
فإن وجد ما يقوم مقامها غيرها، فلا أرى استعمالها إلا عند الضرورة، والله أعلم.
Namun jika ada obat yang bersih dari alkohol dan bisa menggantikan fungsi obat yang beralkohol maka kami berpandangan bahwa obat yang beralkohol tersebut tidak boleh dikonsumsi kecuali dalam kondisi darurat”.
الفتاوى الشرعية في المسائل الطبية (الجزء الأول) ص26-
Demikian fatwa Ibnu Jibrin sebagaimana termaktub dalam buku al Fatawa al Syar’iyyah fi al Masail al Thibbiyyah jilid 1 hal 26
Sumber:http://www.ibn-jebreen.com/book.php?cat=6&book=49&toc=2158&page=1994&subid=17414
Catatan:
Fatwa di atas menunjukan bahwa ada istilah darurat dalam pengobatan. Artinya materi yang haram atau mengandung unsur yang haram itu boleh dikonsumsi sebagai obat dalam kondisi darurat.
Khamr adalah semua materi yang memiliki sifat iskar (memabukkan). Sesuatu itu dinilai memiliki sifat iskar jika memenuhi dua kriteria: a) menghilangkan kesadaran b) menimbulkan rasa nikmat.
Oleh karena itu, obat bius untuk kepentingan operasi itu tidak termasuk khamar meski obat tersebut memiliki sifat menghilangkan kesadaran. Akan tetapi karena kriteria kedua tidak terpenuhi maka obat bius tidaklah tergolong khamr yang diharamkan untuk dikonsumsi.
Demikian pula obat yang beralkohol, tidak ada padanya dua kriteria di atas sehingga tidak bisa digolongkan sebagai khamr.
Di antara kaedah penting terkait najis dan kehalalan suatu produk pangan adalah istihlak yang definisinya telah saya sampaikan dalam terjemah fatwa di atas. Ketika ada suatu najis yang masuk ke dalam air sehingga sifat fisik air berubah kemudian air tersebut ditambahi air dalam jumlah yang sangat banyak sehingga pengaruh najis tersebut hilang maka air tersebut kembali berstatus sebagai air yang suci.
Demikian ketika khamar atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamr yaitu memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali maka materi tersebut berstatus halal.
Artikel www.ustadzaris.com
Barakallahu fykum..
Assalaamu’alaikum ustadz..
Setelah membaca artikel di atas, ada yg ingin sy tanyakan ke ustadz :
Bagaimana dgn kue/roti yg di dalamnya terdapat kandungan rum? Apakah termasuk istihlak?
Bagaimana hukumnya berjualan obat2an yg mengandung alkohol?
Sekian ustadz, trima kasih..
wassalaamu’alaikum
untuk iksan
Wa’alaikumussalam
Hukum rhum yang ada pada roti itu terkait dengan kaedah istihlak. Jika memang fungsi alkohol sudah hilang karena telah bercampur dengan materi-materi yang lain maka roti tersebut hukumnya halal.
Ustadz, terkait penggunaan obat dan rhum tadi, bagaimana dengan hadits berikut? “Sesuatu yang (dalam jumlah) banyak dapat memabukkan, maka (dalam jumlah) sedikitnya pun haram hukumnya”. [ Sunan An-Nasa’i, kitab Al-Asyribah 5607, Sunan Ibnu Majah, kitab Al-Asribah 3394]
untuk ummu
Hadits tersebut berlaku jika alkohol tersebut sendirian alias tidak bercampur dengan yang lain.
jika bercampur dengan materi yang lain maka bisa jadi halal jika terjadi istihlak.
Bedakan dua hal ini dengan baik.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan,
“Mereka menyangka bahwa makna hadits tersebut adalah jika sedikit khomr tercampur dengan minuman selain khomr, maka minuman tersebut menjadi haram. Ini bukanlah makna dari hadits di atas. Namun makna hadits yang sebenarnya adalah jika sesuatu diminum dalam jumlah banyak sudah memabukkan, maka kalau diminum dalam jumlah sedikit tetap dinilai haram.”
ustadz, jika ada seorang penderita gula tentunya tidak boleh minum atau makan yang banyak mengandung gula atau dgn kata lain haram baginya utk memakannya, lalu bgmn hukumnya jika :
1. dia makan makanan ato minum minuman yg sedikit mengandung gula shg tidak menimbulkan bahaya bagi dirinya
2. dia makan roti yg awalnya roti itu byk mengandung gula namun hanya dia cuil setengahnya ato beberapa bagian yg sebatas dia yakini itu tidak membahayakan dirinya
apakah hukum masing2 keadaan itu ustadz?
Ustad, bagaimana dgn makanan yg setelah difermentasikan mengandung alkohol seperti tape atau peuyem,dimana semakin lama semakin terasa panas rasanya? terutama tape ketan makin lama makin keluar airnya. Syukran jazakallah.
#sedang
Boleh jika tidak bahaya baginya dan haram jika bahaya baginya
#ummu
Jika tidak memabukkan maka tidak haram untuk dikomsumsi
Ustadz, saya pernah membaca artikel tentang sahabat yang ketika pengobatan (saya lupa entah itu operasi atau dipotong kakinya) namun beliau menolak untuk dibius, dan memilih untuk dilakukan pengobatan ketika beliau sholat. padahal biusnya itu halal kan? apakah ini termasuk ghuluw?
untuk rani
Maaf, saya tidak tahu apa alasan beliau melakukan hal tersebut.
Ustadz,
1. Saya mau usul: ahsan kata alkohol dalam artikel di atas diganti dengan khamr, sebab dalam kimia alkohol merupakan senyawa yang mengandung gugus -OH, dan tidak semua alkohol adalah khamr. Contoh mudahnya karbohidrat yang sehari-hari kita konsumsi dalam bentuk nasi juga merupakan alkohol.
2. Saya pernah mengkonsumsi obat batuk cair yang di dalamnya terdapat etanol dengan kadar 20%. Setelah itu saya merasakan pusing. Saya tidak tahu apakah hal tersebut karena pengaruh etanol yang ada dalam obat tersebut atau bukan. Jika pusing tersebut disebabkan karena adanya etanol dalam obat tersebut, bukankah kaidah istihlak dalam hal ini tidak berlaku?
utk ummu
alkohol yang dimaksudkan dalam tulisan di atas adalah alkohol yang berstatus khamr
1. Ustadz, bagaimana kalau rasa asli dari rhum tersebut msh bisa terasa oleh lidah kita, apakah msh termasuk istihlak?
2. Kalau tidak keberatan mungkin ustadz bisa menjelaskan lebih jauh mengenai istihlak, ukurannya seperti apa sampai dikategorikan istihlak?
3. Ukuran memabukkan itu seperti apa ustadz? Apakah pusing termasuk mabuk? Bagaimana dg orang yg dibius, apa termasuk mabuk?
Sekian ustadz, mudah2an ketiga++ pertanyaan sy di atas dijawab oleh ustadz :)
#ikhsan
1. Asal pengaruh memabukkannya sudah hilang maka tidak mengapa.
2. Jika pengaruh memabukkan sudah hilang maka itulah istihlak.
3. Bius itu bukan mabuk. Tolong baca tulisan di atas dengan baik.
4. Jika roti yang diberi rhum itu dimakan dalam jumlah banyak orangnya jadi teler berarti pengaruh memabukkannya masih ada. Jika tidak, berarti sudah hilang.
Bagaimanakah hukum membuat etanol yang dapat digunakan sebagai khamr tetapi juga dapat digunakan untuk kemanfaatan yang lain seperti: bahan kimia pelarut cat, bahan bakar kendaraan, dan manfaat2 yang lain?
syukron
#nugroho
Boleh asal tidak dijual kepada orang yang menggunakannya sebagai khamr
Assalamualaikum,
Al Fadhil Al Ustadz Aris menuliskan :
“Di antara kaedah penting terkait najis dan kehalalan suatu produk pangan adalah istihlak yang definisinya telah saya sampaikan dalam terjemah fatwa di atas. Ketika ada suatu najis yang masuk ke dalam air sehingga sifat fisik air berubah kemudian air tersebut ditambahi air dalam jumlah yang sangat banyak sehingga pengaruh najis tersebut hilang maka air tersebut kembali berstatus sebagai air yang suci.
Demikian ketika khamar atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamr yaitu memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali maka materi tersebut berstatus halal.”
Pertanyaana ana apakah KHOMR itu najis? apakah hukum di atas berlaku istihlak tsb juga berlaku untuk keharaman babi? Jazakallahu Khoiron
#syuaib
1. kenajisan khamr itu diperselisihkan oleh ulama. Jumhur ulama menilai khamr adalah najis
2. coba baca di sini:
http://kangaswad.wordpress.com/2010/10/03/imunisasi-dengan-vaksinnya-dari-enzim-babi/
Subhanallah..
Ijin tuk disebar ke komunitas mahasiswa kedokteran muslim ustadz.
Jazakallahkhaira,
Bismillah,
bagaimana dengan pendapat bahwa babi bukan najis ya ustadz,tetapi jelas pengharamannya,apakah kaidah istihlak berlaku pada barang-barang yang bercampur dengan bagian tubuh babi meski sedikit?
Mohon diberi penjelasan yang jelas dan perbedaan penerapan hukumnya dengan khamr.
jazaakallahu khairan.