Tanya:
Assalamu’alaikum Wr Wb
Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!
P. Mul 0274 782xxxx
Jawab:
Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau ditanya,
“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”
Jawaban beliau,
“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah.
Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab.
Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”
(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).
Syukron ustadz atas penjelasannya. seandainya dalam setiap sholat subuh berjamaah, imam melakukan qunut kemudian ada diantara makmum yang tidak mengikuti imam tersebut apakah makmum tersebut berdosa karena ia memiliki keyakinan bahwa qunut subuh tidak dicontohkan oleh rasullullah di setiap sholat subuh kecuali ada sebab tertentu? mohon penjelasannya ustadz.
jazakallah khairan
Ustadz, membaca artikel di atas saya masih bingung. yaitu mengenai makmum tetap mengaminkan dan mengangkat tangan di belakang imam yang melakukan qunut di shalat shubuh. yang menjadi pertanyaan adalah apakah itu khusus untuk imam yang qunut shubuhnya bukan allahummahdini fiman hadaita atau termasuk yang qunut shubuhnya adalah allahummahdini fiman hadaita. Karena dari artikel di atas saya menangkap bahwa yang diperselisihkan adalah yang qunut shubuhnya bukan allahummahdini fiman hadaita. Jazakallaahu khairan ustadz atas jawabannya
Untuk Mas Erwin, terkait dengan qunut shubuh ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.
1. Ulama berselisih pendapat tentang hukum qunut shubuh antara menganjurkan dan tidak
2. Ulama yang tidak setuju dengan disyariatkannya qunut shubuh juga berbeda penilaian apakah masalah qunut shubuh itu masuk dalam ranah sunnah-bid’ah ataukah baru dalam ranah pendapat yang rajih-marjuh. yang tepat perbedaan masalah ini bukan dalam ranah sunnah-bid’ah namun rajih-marjuh. Lihat buku “14 Contoh Hikmah dalam Dakwah” karya Ustadz Abdullah Zein.
3. Karena masih dalam ranah rajih-marjuh maka ada kewajiban untuk saling menghormati dalam hal ini. caranya, orang yang cenderung memilih qunut shubuh tidak perlu memaksakan diri untuk qunut jika dia bermakmum di belakang imam yang tidak qunut shubuh. apalagi mengulang sholat shubuh karenanya. sebaliknya, yang cenderung untuk tidak qunut ketika bermakmum di belakang imam yang berqunut hendaknya dia menghormati dan mengikuti imamnya dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut yang dibaca imam sebagaimana yang difatwakan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin di atas. Baik doanya adalah allahummahdini fiman hadait ataupun selainnya.
4. Memang ada juga ulama yang berpendapat bahwa masalah ini sudah masuk dalam ranah sunnah-bid’ah dan memvonis qunut shubuh tanpa sebab itu bid’ah. tapi perlu diketahui bahwa ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa qunut shubuh itu bid’ah jika dikerjakan terus menerus (dalam bahasa Arab disebut ratib). artinya jika tidak dilakukan terus menerus maka tidak bisa divonis sebagai amalan bid’ah.
5. Bagi yang memilih pendapat yang telah saya sebutkan dalam poin ke-4 di atas, saya sarankan untuk terkadang qunut shubuh ketika dia bermakmum di belakang imam yang suka melakukan qunut shubuh dan dia tidaklah dinilai telah melakukan bid’ah.
Untuk Zia firnanda, tolong baca jawaban saya untuk mas Erwin. Moga, sedikit mencerahkan.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
apakah hadits berikut ini layak dijadikan pedoman atau tidak?
Bulan (sya’ban) ini banyak dilalaikan manusia padahal pada bulan itu amalan-amalan seorang hamba diangkat kepada ALLOH dan aku ingin amalanku diangkat dan aku berpuasa.
{HR.an-Nasa’i}
apakah hadits ini bertentangan dengan makna amalan manusia yang dijelaskan didalam surah al-mutaffifin?
Untuk Dedy, Wa’alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasai dari shahabat Usamah bin Zaid. AlAlbani mengatakan bahwa sanadnya berkualitas hasan. Hadits ini ada di Silsilah Shahihah 4/522 no hadits 1898 [Keterangan ini saya dapatkan di buku al Bida’ al Hauliyyah hal 210 terbitan Darl al Fadhilah, Riyadh cetakan pertama tahum 2000].
jadi hadits di atas bisa dijadikan sebagai pedoman.
Ustadz mengenai persoalan ranah rajih marjuhnya bisa dijelaskan ??
menurut sepemahaman yang saya baca bahwa ust Abdullah Zein tidak menemukan ulama hanafiyah yang membid’ahkan. Akan tetapi dalam kitab fiqh ibadah ala madzhab hanafi -kl g salah download saya download di saaid.net,tapi pas saya cari dah ga ad..-(begitu juga imam ash-shan’ani dalam subulussalam ttg qunut subuhnya) bahwa qunut subuh itu bid’ah dan qunut witir itu wajib …
Untuk Iman
1. Yang belum ditemukan oleh Ustadz Abdullah Zaen adalah riwayat dari Imam Ahmad yang membid’ahkan qunut shubuh berbeda dengan penjelasan Ibnu Utsaimin yang menegaskan bahwa pendapat Imam Ahmad adalah membid’ahkan qunut shubuh. Coba baca ulang buku 14 Contoh Hikmah dalam Dakwah.
2.Perbedaan diantara ulama itu ada dua macam, khilaf yang kuat (sulit untuk diketahui manakah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini) dan khilaf yang lemah (mudah diketahui manakah pendapat yang lebih kuat).
Jika ada suatu masalah, sebagian ulama menilai masalah tersebut hukumnya bid’ah. sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa hal itu bukan bid’ah. Maka jika alasan pendapat kedua itu sangat lemah karena hanya sekedar pendapat tanpa dalil misalnya maka kita katakan bahwa hukum masalah tersebut adalah bid’ah yang terlarang meski ada ulama yang membolehkannya.
Sebaliknya jika alasan pendapat kedua itu cukup berdasar maka kita katakan bahwa status pendapat kedua adalah pendapat yang marjuh atau tidak kuat. sehingga orang yang melakukan hal tersebut tidak kita katakan melakukan bid’ah meski ada ulama yang membid’ahkannya. Contohnya, ada ulama yang mengatakan bahwa shalat dhuha itu bid’ah. ada juga yang mengatakan bahwa membaca bismillah dengan sirr dalam shalat jahriah itu bid’ah. Pendapat-pendapat ini kurang tepat. Oleh karena itu orang yang melakukan shalat dhuha atau sirr dalam basmalah tidak kita katakan melakukan bid’ah meski ada ulama yang menilai bahwa dua hal tersebut hukumnya bid’ah.
assalamu`alaikum,
a. dari poin 5. “…
TERKADANG qunut shubuh ketika dia bermakmum di belakang imam yang suka melakukan qunut shubuh dan dia tidaklah dinilai telah melakukan bid’ah. ”
karena di sekitaran tempat tinggal saya imamnya selalu qunut shubuh, apakah hal ini dilakukan secara acak saja (seminggu 3x = hari qunut, besok tdk qunut, begitu seterusnya). apakah hal ini dibolehkan yang ustadz maksudkan (TERKADANG)
apakah salah jika saya mengikuti qunut shubuh secara ratib dengan alasan menjaga persatuan, padahal saya sendiri lebih memilih untuk tidak qunut.
b. Bagaimana pandangan islam, jika kita mengambil kemudahan dari sebagian imam ahmad, imam syafii. apakah hal ini dibolehkan atau kita harus menentukan madzhab tertentu dalam melakukan ibadah.
Jazakallah katsir atas pencerahannya, mohon maaf karena saya kurang begitu jelas dari penjelasannya.
Untuk Ahmad
1. Tolak ukur kadang-kadang adalah ‘urf. Jika menurut penilaian masyarakat itu sudah dinilai kadang-kadang maka itulah kadang-kadang.
2. Boleh mengikuti qunut shubuh dengan ratib dengan alasan menjaga persatuan sebagaimana pendapat Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibnu Utsaimin meski orang tersebut sebenarnya lebih memilih untuk tidak qunut.
3. Allah dan rasukNya tidak mewajibkan kita untuk mengikuti mazhab tertentu dalam malakukan ibadah. Jika ulama berselisih pendapat dan kita mampu melakukan tarjih maka hendaknya kita melakukan tarjih. Jika kita adalah orang awam dalam masalah tersebut maka hendaknya kita bertanya kepada ustadz yang kita akui keilmuannya untuk memilihkan kita pendapat yang paling kuat dalam hal itu.
Assalaamu’alayk..Ustadz, diakhir Ramadhan ini,ditempat kami ada imam yg mlakukan QUNUT witir tp sang Imam hny membca do’a Qunut witir saja tnp mengangkat tangannya. Lalu bgmn dgn sikap ma’mum? Ikut gerakan Imam yakni tdk mengangkat tangan atau mengangkat tangan walau sang Imam tdk mlakukannya? Mohon penjelasannya. Jazaakallah khayr.
Untuk Budi
Wa’alaikumussalam
Sebaiknya makmum tetap mengangkat tangan meski imam tidak melakukannya.
Dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut shubuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat). (HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarai, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139)
Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafaznya dari Rabi’ bin Anas: Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya: “Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?” Anas pun memberikan peringatakan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.” Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183) Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.
Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346) Itulah nama-nama yang meyetujui qunut subuh pada rakaat kedua.
dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:
قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar:
وقال الثوري وابن حزم : كل من الفعل والترك حسن
“Berkata Ats Tsauri dan Ibnu Hazm: “Siapa saja yang yang melakukannya dan meninggalkannya, adalah baik.” (Nailul Authar, 2/346)
Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah. Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits. Katanya:
فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن
“Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini. Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya. Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya telah berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” (Ibid, 1/274-275)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)
dari Said bin Jubair, dia berkata aku bersaksi bahwa aku mendengar, dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” (HR. Ad Daruquthni No. 1723)
Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang dhaiful hadits (hadits darinya dhaif). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)
Terima kasih kami ucapkan untuk Katro. Moga jerih payah untuk membuka berbagai referensi yang antum cantumkan dalam tulisan di atas Alloh beri balasan yang berlimpah.
Ustadz,di masjid kami imamnya beda-beda orang sehingga kadang qunut kadang tidak.Jama’ah yang menganggap qunut tidak disyariatkan pas solat dengan imam yang qunut mereka tidak qunut.Jama’ah ini lumayan banyaknya,sebanding dengan jama’ah yang ikut qunut.Bagaiman sikap saya dalam masalah ini,mengingat yang tidak qunut lumayan banyak orangnya?jazakallah khoiron katsiroo.
Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Senantiasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqunut pada shalat Shubuh sehingga beliau berpisah dari dunia (wafat).”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh: Imam Ahmad[1], ‘Abdurrazzaq[2], Ibnu Abi Syaibah[3], secara ringkas, ath-Thahawi[4], ad-Daruquthni[5], al-Hakim, dalam kitab al-Arba’iin, al-Baihaqi[6], al-Baghawi[7], Ibnul Jauzi[8].
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari jalan Abu Ja’far ar-Razi (yang telah menerima hadits ini) dari Rubaiyyi’ bin Anas, ia berkata: ‘Aku pernah duduk di sisi Anas bin Malik, lalu ada (seseorang) yang bertanya: ‘Apakah sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pernah qunut selama sebulan?’ Kemudian Anas bin Malik menjawab: “…(Seperti lafazh hadits di atas).”
Keterangan:
Walaupun sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan hadits di atas. Akan tetapi yang benar adalah bahwa hadits ini derajatnya dha’if (lemah), hadits ini telah dilemahkan oleh ulama para Ahli Hadits:
Imam Ibnu Turkamani yang memberikan ta’liq (ko-mentar) atas Sunan Baihaqi membantah pernyataan al-Baihaqi yang mengatakan hadits itu shahih. Ia berkata: “Bagaimana mungkin sanadnya shahih? Sedang perawi yang meriwayatkan dari Rubaiyyi’, yaitu ABU JA’FAR ‘ISA BIN MAHAN AR-RAZI masih dalam pembicaraan (para Ahli Hadits):
[1]. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam an-Nasa-i ber-kata: ‘Ia bukan orang yang kuat riwayatnya.’
[2]. Imam Abu Zur’ah berkata: ‘Ia banyak salah.’
[3]. Imam al-Fallas berkata: ‘Ia buruk hafalannya.’
[4]. Imam Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia sering mem-bawakan hadits-hadits munkar dari orang-orang yang masyhur.”
[Lihat Sunan al-Baihaqi (I/202) dan periksa Mizaanul I’tidal III/319.] [9]
[5]. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Abu Ja’far ini telah dilemahkan oleh Imam Ahmad dan imam-imam yang lain… Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku, ‘Sanad hadits ini (hadits qunut Shubuh) sama dengan sanad hadits (yang ada dalam Mustadrak al-Hakim (II/ 323-324): Tentang ma-salah Ruh yang diambil perjanjian dalam surat 7 ayat 172, (yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala):
“Artinya : Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan (keturunan anak-anak Adam) dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Allah).’”[Al-A’raaf: 172]
(Yakni) hadits Ubay bin Ka’ab yang panjang yang di-sebutkan di dalamnya: Dan ruh Isa ‘alaihis salam termasuk dari (kumpulan) ruh-ruh yang diambil kesaksiannya pada zaman Adam, maka (Dia) kirimkan ruh tersebut kepada Maryam ‘alaihas salam ketika ia pergi ke arah Timur, maka Allah kirimkan dengan rupa seorang laki-laki yang tampan, maka dia pun hamil dengan orang yang mengajarkan bi-cara, maka masuklah (ruh tersebut) ke dalam mulutnya. Jadi, yang dimaksud adalah Isa dan yang mengajak bicara ibunya adalah ‘Isa, bukan Malaikat, padahal menurut ayat yang mengajak bicara adalah Malaikat, dalam surat Mar-yam ayat 19, Allah berfirman:
“Artinya : Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.” [Maryam: 19]
Yang mengajak bicara bukan ‘Isa, sebab hal ini mus-tahil dan hal ini merupakan kesalahan yang jelas.
[Periksa: Zaadul Ma’aad (I/276), tahqiq: Syaikh Syu’aib al-Arnauth, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H]
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Maksud dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah: Bahwa Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan ar-Razi adalah orang yang sering memba-wakan hadits-hadits munkar. Yang tidak ada seorang pun dari Ahli Hadits yang berhujjah dengannya ketika dia menyendiri (dalam periwayatannya).”
Saya katakan: “Dan di antara hadits-hadits itu ialah hadits qunut Shubuh terus-menerus.”
[6]. Al-Hafizh Ibnu Katsir ad-Damsyqiy asy-Syafi’i dalam kitab tafsirnya juga menyatakan bahwa riwayat Abu Ja’far ar-Razi itu mungkar.
[7]. Al-Hafizh az-Zaila’i dalam kitabnya Nashbur Raayah (II/132) sesudah membawakan hadits Anas di atas, ia berkata: “Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya at-Tahqiq dan al-’Ilalul Muta-nahiyah, ia berkata: Hadits ini tidak sah, karena se-sungguhnya Abu Ja’far ar-Razi, namanya adalah Isa bin Mahan, dinyatakan oleh Ibnul Madini: ‘Ia sering keliru.’”
[8]. Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany rahimahullah, seorang Ahli Hadits zaman ini berkata: “Hadits Anas munkar.” [10]
Kemudian al-Hafizh al-Baihaqi telah membawakan beberapa syawahid (penguat) bagi hadits Anas, sebagai-mana yang dikatakan oleh al-Hafizh al-Baihaqi sendiri dalam kitab Sunanul Kubra dan Imam an-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzdzab. Dan riwayat-riwayatnya adalah sebagai berikut:
HADITS KEDUA
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut, begitu juga Abu bakar, Umar, Utsman sampai meninggal dunia.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh: ad-Daruquthni[11], dan al-Baihaqi[12], kemudian ia berkata: “Kami tidak dapat berhujjah dengan Isma’il al-Makki dan ‘Amr bin Ubaid.”
Keduanya telah meriwayatkan hadits yang kedua ini dari jalan Isma’il bin Muslim al-Makki dan Ibnu Ubaid (yang keduanya telah terima hadits ini ) dari al-Hasan al-Bashri (yang telah terima hadits ini) dari Anas (bin Malik).
PENJELASAN PARA AHLIS HADITS TENTANG PARA PERAWI HADITS KEDUA DIATAS
[1]. Isma’il bin Muslim al-Makki, ia adalah seorang yang lemah haditsnya, berikut ini keterangan para ulama jarh wat ta’dil tentangnya:
a. Abu Zur’ah berkata: “Ia adalah seorang perawi yang lemah.”
b. Imam Ahmad dan yang lainnya berkata: “Ia adalah seorang munkarul hadits.”
c. Imam an-Nasa-i dan yang lainnya berkata: “Ia se-orang perawi yang matruk (seorang perawi yang ditinggalkan atau tidak dipakai, karena tertuduh dusta).”
d. Imam Ibnul Madini berkata: “Tidak boleh ditulis haditsnya …”.
[Periksa Mizanul I’tidal I/248 no. 945, Taqribut Tahdzib I/99 no. 485]
[2]. Amr bin Ubaid bin Bab (Abu ‘Utsman al-Bashri), adalah seorang Mu’tazilah yang selalu mengajak manusia untuk berbuat bid’ah.
1. Imam Ibnu Ma’in berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya.”
2. Imam an-Nasa-i berkata: “Ia matrukul hadits.”
[Periksa Miaznul I’tidal III/273 no. 6404, Taqribut Tahdzib I/740 no. 5087]
[3]. Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri, namanya yang sudah masyhur adalah Hasan al-Bashri.
1. Al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan seorang yang mempunyai keutamaan, akan tetapi ia banyak me-mursal-kan hadits dan sering melakukan tadlis. Dan dalam hadits di atas, ia memakai sighat ‘an.”
[Periksa Mizaanul I’tidal (I/527), Tahdziibut Tahdzib (II/ 231), Taqriibut Tahdziib (I/202 no. 1231), cet. Daarul Kutub al-’Ilmiyyah]
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hadits yang kedua di atas itu derajatnya dha’ifun jiddan (sangat lemah).
Sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan penguat (syahid) bagi hadits Anas yang pertama di atas. Dan seka-ligus tidak dapat juga untuk dijadikan sebagai hujjah.
Seandainya saja sanad hadits itu sah sampai kepada Hasan al-Bashri, itupun belum bisa dipakai hadits terse-but, apalagi telah meriwayatkan darinya dua orang perawi yang matruk!?
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
Untuk Abu Ashma
Jika imam shalat qunut maka sebagai makmum yang baik hendaknya kita ikut qunut.
Ustadz :
1.Dalam qunut,seorang imam biasanya tidak menjahrkan semua bacaan do’anya,tapi setelah sampai waqini syarroma qodhoit imam diam(bacaan sirr)samapi beberapa saat doanya selesai.Bagaimana sikap makmum?apakah diam saja atau meneruskan bacaan imam secara sirr juga atau mengaminkan atau bagaimana?
2. Bolehkah menggabungkan beberapa bacaan rukuk atau sujud yang ada dalam hadits dalam satu rukuk atau sujud atau dalam satu solat?
3.Bagaimana jika kita batal pada saat tahiyat akhir pada solat jumat atau solat ied?
4. Bila kita sebagai masbuk ,apakah langsung takbir mengikuti imam yang sedang sujud atau takbirotul ihrom dulu baru takbir ke sujud?
Afwan ustadz pertanyaannya banyak.Jazakallohu khoiron katsiiroo.Mudah-mudahan bisa jumpa darat dengan ustadz.
Untuk Abu Ashma
1. cukup diam, yang diaminkan adalah yang dibaca dengan jahr
2. Untuk bacaan ruku’ tidak boleh, yang tepat adalah dibaca selang seling. Untuk sujud, dianjurkan untuk banyak berdoa.
3. Untuk shalat jumat, orang tersebut menggantinya dengan sholat zhuhur
Untuk shalat ied, tidak ada qodho shalat ied menurut pendapat yang paling kuat.
4. harus takbir ihram dalam posisi berdiri terlebih dahulu. Jika tidak dilakukan, maka shalat tidak sah.
Subhanallah. Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan petunjuk-Nya kepada kita. dan meridhai setiap amal kita.
Ustadz, apakah boleh kita pilih masjid sedikit jauh dari rumah (jarak 250m) yang setiap hari tidak qunut shubuh daripada masjid dekat rumah (jarak 75m) yang qunut shubuh terus menerus.
Jazakallahu khoir.
Untuk Abu Taufiq
Boleh jika tidak menimbulkan kesan-kesan yang negatif.
Ustadz ana tanya lagi…dan jazakallohu khoiron atas jawaban-jawaban sebelumnya.Jika kita sedang safar jauh sehingga pas tiba waktu solat subuh kendaraan yang kita tumpangi(bis,kereta)tidak berhenti sampai lewat waktu subuh.Bagaimana dengan solat subuh kita dan tata caranya?Karena saya pernah dapat info kalau solat wajib itu tidak boleh dikerjakan di atas kendaraan.Baarokallohu fiik.
Untuk Abu Ashma
Tidak boleh sholat di atas kendaraan kecuali terpaksa. Karena itu dalam kondisi yang ditanyakan, kita tetap sholat shubuh pada waktunya di bis atau kereta dengan tata cara semaksimal yang bisa dilakukan.
Katro “ Dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut shubuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat). (HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarai, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139”
Namun menurut ustadz Imam Ahmad membid’ahkannya. Padahal hadits di atas riwayat imam ahmad. Mohon dijelaskan ustadz, saya masih belum mengerti. Jazakallahu
Untuk Yugo
Imam Ahmad tidak mempersyaratkan bahwa semua hadits yang beliau cantumkan dalam kitabnya almusnad adalah hadits-hadits yang shahih.
SIKAP MAKMUM, BILA IMAM QUNUT SUBUH
Dikutib dari Tulisan Abu Abdillah
[Disalin dari Majalah As-Sunnah 01/Th VI/1423H/hal.4-5]
Alhamdulillah, Shalat di belakang imam yang sesuai dengan sunnah adalah lebih
baik, walau harus berjalan cukup jauh dari rumah kita, akan tetapi mungkin di
beberapa tempat atau daerah hal seperti itu sulit untuk mendapatkannya,
sehingga terpaksa shalat berjama’ah di belakang imam yang terus menerus
melakukan qunut shubuh.
Dalam mensikapi masalah ini, akan saya salinkan penjelasan secara ringkas
mengenai sikap makmum terhadap imam yang melaksanakan qunut subuh, yang saya
salin dari majalah As-Sunnah.
Para ulama berbeda pendapat tentang qunut subuh terus menerus. Syafi’iyah
menyatakan qunut tersebut disyari’atkan, sedangkan mayoritas ulama yang lain
menyatakan tidak disyari’atkan.
Pendapat yang kuat dan benar adalah pendapat mayoritas ulama karena
hadits-hadits tentang qunut subuh terus menerus semuanya dha’if. Demikian juga
hal itu telah dinyatakan sebagai perbuatan bid’ah oleh para ulama semenjak
zaman sahabat.
Adapun tentang sikap seseorang yang shalat di belakang imam yang berqunut, para
ulama juga berbeda pendapat.
Al-Imam Al-Wazir Ibnu Hubairah menyatakan: “(Imam) Abu Hanifah dan (Imam) Ahmad
berbeda pendapat tentang orang yang shalat di belakang imam yang berqunut waktu
subuh: Apakah makmum tersebut mengikuti imam atau tidak ?” (Imam) Abu Hanifah
berkata: “Dia tidak mengikuti imam”, (Imam) Ahmad berkata: “Dia mengikuti
imam”. [Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah 1/324].
DR Muhammad Ya’qub Thalib ‘Ubaidi menjelaskan alasan masing-masing pendapat di
atas dengan menyatakan: “Abu Hanifah menjelaskan alasan makmun tidak mengikuti
imam, yaitu bahwa qunut subuh itu adalah hukum mansukh (yang telah dihapuskan),
sebagaimana takbir ke lima pada shalat jenazah. Walaupun Abu Yusuf berpendapat
makmum mengikuti imam. sebagaimana pendapat Imam Ahmad, tetapi pendapat yang
dipilih pada madzhab Hanafiyah adalah makmum berdiri diam saja. Dan Imam Ahmad
menjelaskan alasan makmum mengikuti imam, yaitu agar makmum tidak menyelisihi
imamnya, dan karena para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka terus
menerus bermakmum kepada sebagian yang lain, padahal ada perselisihan di antara
mereka dalam masalah furu'(cabang) [Foote Note Kitab Al-Ifshah Libni Hubairah
1/324].
Pendapat yang rajih -wallahu a’lam- adalah pendapat Hanafiyah, yaitu makmum
tidak mengikuti imam, karena qunut tersebut tidak disyari’atkan di dalam shalat.
Hal itu sebagaimana ketika para sahabat mengikuti perbuatan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melepaskan sandal ketika shalat, yang
kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya. Sebagaimana riwayat
di bawah ini.
“Artinya : Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dia berkata: “Tatkala Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat dengan para sahabat beliau,
tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandal beliau lalu meletakkan kedua sandal
tersebut pada sebelah kiri beliau. Ketika para sahabat melihat hal itu, mereka
melepaskan sandal mereka.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya,
beliau bertanya: “Apakah yang menyebabkan kamu melepaskan sandal kamu?. Mereka
menjawab: “Kami melihat anda melepaskan kedua sandal anda, maka kamipun
melepaskan sandal kami”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ersabda:
“Sesungguhnya Jibril ‘Alaihi Shallallahu wa sallam mendatangiku dan
memberitahukan kepadaku bahwa pada kedua sandal (ku) itu ada kotoran” [Hadits
Riwayat Abu Dawud, Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Abi Dawud No. 650]
Tetapi walaupun demikian, perbedaan pendapat dalam sikap makmum ini tidak boleh
menjadikan kaum muslimin berpecah belah dan saling membenci karenanya.
Wallahu a’lam.
[ Abu Nafisah ]
syukran jiddan ustadz, ‘afwan mau tanya syarat2 bencana yang mensyariatkan unk do’a qunut nazilah itu apa saja? jazakallah khoir,
Untuk Tina
Bencana yang menimpa banyak kaum muslimin.
ustadz,di masjid kampung saya bacaan imam sholat jamaahnya lahn jali dan klo diberi tahu kesalahannya diperkirakan imam itu akan menolak…selain itu ada masjid lain yg bacaan imamnya sempurna namun jaraknya cukup jauh, nah apakah boleh klo saya kadang sholat di rumah n kadang sholat di masjid? berhubung masjid satunya jaraknya cukup jauh
Untuk Hamba
Tidak ada salahnya mencoba untuk mengingatkan terlebih dahulu. Ingat, tentu dengan cara-cara yang bijak.
Boleh jika memang jauh.
ustadz, maksud bacaan Imam lahn jali itu apa ?
Untuk Abang
Kesalahan baca yang parah sehingga kesalahan tersebut bisa diketahui bukan hanya oleh pakar tajwid, yang tidak pakar tajwid juga bisa mengetahuinya.
berarti Imam masjid t4 saya juga….
apakah mengikuti imam juga termasuk dalam semua ikhtilaf yang kuat seperti duduk tasyahud, bangkit dari sujud dengan mengepalkan tangan atau tidak atau menggerak2kan jari saat tasyahud atau tidak?atau juga sunnah2nya seperti bangkit sujud dengan duduk istirahat atau tidak dsb?syukron.
Untuk Abu Uwais
Jawabannya bisa anda baca di link berikut ini:
http://tanyajawabagamaislam.blogspot.com/2009/10/mengikuti-imam-dalam-masalah.html
allhamdulillah, terima kasih ustadz atas pembahasannya.
aha sudah baca ust tapi ketika pada kesimpulan terakhir ana bingung
Adapun perkara-perkara yang tidak nampak atau tidak terdengar oleh semua makmum seperti niat , tata cara I’tidal (sedekap atau tidak), tata cara bertasyahhud (menggerakkan jari atau tidak) maka tidak wajib mengikutinya, dan kita beramal sesuai dengan pendapat yang kita kuatkan.
Kesimpulan ini ddapat dari mana?apa sebuah tarjih atau gmn?
Untuk Abu Uwais
Dari penjelasan an Nawawi dan Ibnu Taimiyyah yang telah disebutkan oleh penulis.
kalo jadi makmum, kadang angkat tangan waktu qunut, kadang ngga, gimana ustadz ? apa in termasuk plin plan ?
Untuk Toko Online
Tidak karena yang bid;ah menurut ulama yang membid’ahkan adalah jika dilakukan terus menerus.
assalamu’alaikum
kalau menurut saya, orang yang memperebutkan antara qunut subuh dan tidak qunut semuanya itu memperebutkan sesuatu yang dhaif. karena ada sebuah hadits yang shahih dari shahih muslim :
وَحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْفَجْرِ وَالْمَغْرِبِ. (صحيح مسلم)
di dalam hadits ini dikatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan qunut di dalam shalat subuh dan magrib.
Untuk Arie
Wa’alaikumussalam
Jadi menurut anda, dianjurkan untuk doa qunut ketika shalat shubuh dan magrib, tidak hanya shubuh saja?
Assalamualaikum
Ustadz,ana dikuwait dulu pernah ngkutin dauroh antum,dan antum tanya tentang salah satu ni’mat qubur bagi org mu’min (afwan sekedar memorial aja). Ana mau nanya,apa yg hrs kita lakukan bila ditunjuk jadi imam subuh yg notabene masjid tsb sll menngunakan qunut? Apa kita juga qunut/tdk..?? karena ana khawatir jika tdk qunut akan tjd perpecahan dll
Jazakalloh (salam dari ust.faruk dan ikhwan dikuwait)
Wa’alaikumussalam
Saya sarankan agar jadi makmum saja dan jangan mau jadi imam.
Wa’alaika wa ‘alaihimissalam.
Assalamu’alaikum,
Ana coba pahami semua, kesimpulannya ” luar biasa agama kita ini”
Assalamu’alaikum,ustatd yang baik budi saya yang awan ini ingin bertanya yang dimaksud sholat dengan membaca doa qunut bila terjadi BENCANA bagi kaum muslimin,bencana apa saja ?dan kaum muslimin tersebar disetiap belahan dunia, apakah muslimin contohnya dipalestina yang terus teraniyaya juga merupakan bencana kemanusian dan sudah syaratkah menggunakan doa qunut?,dan juga bencana moral dimana kaum muslimin banyak yang meninggalkan kewajibanya juga termasuk sudah syarat doa qunut..?terima kasih atas jawabannya
Untuk Adji
Wa’alaikumussalam
Pembantaian kaum muslimin termasuk ‘nazilah’ atau bencana yang menyebabkan disyariatkannya qunut nazilah.
Banyaknya maksiat tidak termasuk nazilah.
Assalamu`alaikum
Ustadz,ana mau tanya apabila kita menguatkan pendapat duduk iftirasy untuk tasyahud akhir saat shalat shubuh padahal imam menguatkan duduk tawarruk apakah kita harus tetap duduk iftirasy atau mengikuti imam shalat? Jazakallah. Mohon penjelasan Ustadz Aris Munandar,
untuk fahrul
Wa’alaikumussalam
Hendaknya anda melakukan apa yang anda yakini sebagai pendapat yang benar.