Syaikh Shalih Alu Syaikh -hafizhohullah- mengatakan, “Perbedaan pendapat dalam berbagai masalah itu terbagi menjadi dua macam.
Pertama, perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah yang tidak ada dalilnya.
Perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini diperbolehkan. Akan tetapi jika mayoritas ulama sepakat dengan suatu pendapat maka hendaknya kita ekstra hati-hati untuk mengambil pendapat yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama dalam kondisi semisal ini. Orang yang memiliki pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama boleh beramal dengan apa yang menjadi pendapatnya atau keyakinannya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi mengingat ada pendapat mayoritas ulama dalam ijtihadiyah semacam ini maka seyogyanya tidak menyelisihi pendapat mayoritas ulama. Umumnya dalam masalah ijtihadiyah yang tidak ada dalil di dalamnya pendapat yang menyelisihi mayoritas ulama adalah pendapat yang tidak benar.
Kedua, perbedaan pendapat dalam masalah yang ada dalil tentang hal tersebut. Akan tetapi ulama bersilang pendapat dalam menyikapi dalil tersebut. Ada yang tidak mengambil dalil tersebut namun memakai dalil yang lain semisal qiyas.
Perbedaan pendapat jenis ini bisa kita petakan menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Perbedaan pendapat yang lemah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil. Misal ada ulama yang memakai qiyas padahal dalil yang ada sangat jelas. Artinya dalam suatu permasalahan terdapat dalil yang maknanya sangat gamblang namun ada sejumlah ulama yang menyelisihi pendapat yang sejalan dengan dalil dalam kondisi ini tidaklah diragukan bahwa perselisihan pendapat yang terjadi adalah perselisihan yang lemah.
Sedangkan perbedaan pendapat yang kuat adalah ketika dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ulama A menguatkan dalil ini sedangkan ulama B menguatkan dalil itu. Jika perbedaan pendapat yang ada perbedaan pendapat yang kuat maka tidak boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan pendapat yang kuat. Lain halnya jika perbedaan pendapat yang ada adalah perbedaan pendapat yang lemah. Boleh ada ingkarul mungkar dalam masalah yang perbedaan pendapat di dalamnya adalah perbedaan yang lemah.
Sebagian orang mengatakan,
“Tidak ada ingkarul mungkar dalam masalah khilafiyyah”.
Ungkapan semacam ini kurang tepat karena dalam masalah yang diperselisihkan sebagian shahabat mengingkari sebagian yang lain. Demikian pula para tabiin.
Yang tepat masalah khilafiyyah itu perlu dirinci sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Jika tidak ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka inilah yang disebut dengan masalah ijtihhadiyyah. Adanya beda pendapat dalam hal ini diperbolehkan.
Sedangkan jika ada dalil dalam masalah yang diperselisihkan maka masih dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu perbedaan pendapat yang kuat dan perbedaan pendapat yang lemah.
Contoh perbedaan pendapat yang kuat adalah adakah kewajiban zakat untuk perhiasan. Dalil-dalil yang ada dalam masalah ini nampak bertentangan. Para ulama pun berselisih pandangan dalam memahami dalil-dalil tersebut sehingga perbedaan pendapat dalam hal ini adalah kuat. Oleh karena itu tidak ingkarul mungkar dalam hal ini. Siapa yang menzakati perhiasan maka dia telah mengikuti sebagian ulama dan siapa yang tidak menzakati maka dia juga mengikuti sebagian ulama. Ada toleransi dalam hal ini sehingga tidak boleh saling menyalahkan.
Contoh yang lain adalah apakah makmum memiliki kewajiban membaca al fatihah dalam shalat jahriah. Perbedaan pendapat dalam hal ini kuat. Dalil-dalil yang ada nampak bertentangan. Ada ulama yang berpendapat ini, ada juga yang memilih itu. Meski pendapat mayoritas shahabat dan tabiin serta para ulama peneliti semisal Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahkan Imam Ahmad, Ibnul Qoyyim adalah dalam hal ini imam shalatlah yang menanggung. Karena perbedaan pendapat dalam hal ini cukup kuat maka tidak boleh ada saling menyalahkan dalam hal ini” (Syarh Kasyfu Syubuhat).
Jadi teringat waktu awal-awal ngaji beberapa tahun yang lalu. Karena hanya belajar 1 pendapat jadinya kaku, kaku, dan kaku dalam masalah khilafiyah. Alhamdulillah, dengan bertambahnya ilmu sekarang jadi lebih bijak dalam menyikapi masalah khilafiyah (terkadang jadi malu sendiri kalau ingat betapa kakunya ana waktu itu). Ana pernah baca tulisan ulama yang mengatakan : “Adalah termasuk musibah jika tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan ulama, karena bisa jadi ia meyakini pendapat yang sebenarnya pendapat tersebut paling lemah” (Afwan ana lupa siapa ulama yang menulis tersebut, cuma ingat pernah baca dalam mukadimmah buku Shahih Fikih Sunnah- tolong koreksi ya Ustadz kalo ada yang salah..)
Untuk Abu Yasmin. Sebagaimana dalam artikel tersebut, tidak semua masalah khilafiyyah itu dihormati. yang wajib kita hormati adalah orang yang berbeda pandangan dengan kita dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Tidak ada kewajiban untuk saling memaklumi dalam masalah khilafiyyah yang bukan ijtihadiyyah semisal masalah khilafiyyah antara ahli sunnah dengan syiah atau dengan khawarij atau dengan asy’ariyyah.
assalaamu’alaikum syukron artikelnya ustadz…
mau tanya, kalau terjun ke dalam demokrasi termasuk perbedaan pendapat yang mana? syukron sebelumnya atas jawabnnya
Untuk Adam. Wa’alaikumusalam.
Coba antum baca artikel tentang hukum pemilu di http://www.rumaysho.com
Assalaamu’alaikum
jazakalloh khoiron artikelnya, saya ingin menanyakan perbedaan pendapat/khilafiyyah antara ahlussunnah/salafi dengan asy’ariyyah, dgn pertanyaan sbb :
apakah konsekuensi status hukumnya, bagi yg bermazhab asy’ariyyah ? bid’ah?fasik?syirik?murtad?berdosa? atau status hukum yg lainnya?
terima kasih sebelumnya atas penjelasannya…
Untuk Abu Nailah
Wa’alaikumussalam
Jika dia bermazhab asy’ari dalam masalah akidah karena mengimani manhaj asy’ari dalam beragama maka dia adalah ahli bid’ah dengan bid’ah yang menyebabkan dia berstatus sebagai orang yang fasik dan pendosa.
Lain halnya jika dia terjerumus dalam beberapa pendapat asy’ari karena ijtihad.
ustadz,saya pernah mendapatkan pendapat dari syeikh bin baz yakni segala sesuatu yang haram tetap haram meski jumlahnya sedikit,sedangkan untuk syeikh utsaimin berpendapat bahwa asal tidak sampai memabukkan tidak apa2,,lalu bgmn hukumnya dgn makan durian dan tape yg notabene mengandung alkohol?
Untuk Manu-sia
a. Beda pendapat diantara para ulama itu sangat wajar.
b. Boleh dan halal.
ustadz,menanggapi makanan jawaban ustadz atas manusia…rhum kn hukumnya haram dimakan termasuk yang tercampur dalam roti, lalu bgmn dengan air minum galon yg menggunakan tisu pembersih dari alkohol,mungkin saja kn bisa tercampur..bgmn hukumnya ustadz?
Untuk Hidup
Kalo menguap tentu tidak tercampur.
ustadz,,sebenarnya boleh g sih makan hewan yang hidup di 2 alam?,,soalnya ana pernah baca madzab syafi’i katanya boleh kecuali kodok
Untuk Manusia
Boleh. Kodok tidak boleh dimakan karena Nabi larang untuk dibunuh, bukan karena hidup di dua alam.
Alhamdulillah,ana dpt ilmu dari artikel ustadz Aris,semoga ilmu ustadz tambah,dan diridhoi-Nya.