ÙØ¶Ø§Ø¦Ø الباطنية – (ص 180)
الرابعة الذكورية Ùلا تنعقد الإمامة لامرأة وان Ø§ØªØµÙØª بجميع خلال الكمال ÙˆØµÙØ§Øª الاستقلال ÙˆÙƒÙŠÙ ØªØªØ±Ø´Ø Ø§Ù…Ø±Ø£Ø© لمنصب الامامة وليس لها منصب القضاء ولا منصب الشهادة ÙÙŠ اكثر الØÙƒÙˆÙ…ات
Abu Hamid al Ghazali as Syafii dalam bukunya Fadhaih al Bathiniah hal 180 mengatakan “Diantara syarat penguasa adalah berjenis kelamin laki laki sehingga tidaklah sah kepemimpinan wanita meski dia memiliki semua sifat utama dan kemandirian. Bagaimana mungkin seorang wanita dicalonkan sebagai penguasa padahal wanita itu tidak boleh menjadi hakim di pengadilan atau pun sekedar menjadi saksi dalam mayoritas kasus peradilan”.
Ø§Ù„ÙØµÙ„ ÙÙŠ الملل والأهواء والنØÙ„ – (1 / 467)
ÙØµÙ„ قال أبو Ù…ØÙ…د: وجميع ÙØ±Ù‚ أهل القبلة ليس منهم Ø£ØØ¯ يجيز إمامة امرأة
Ibnu Hazm mengatakan, “Semua aliran dalam Islam tidak ada satu pun diantara mereka yang membolehkan wanita menjadi penguasa” [al Fashl fi al Milal wal Ahwa wan Nihal 1/467].
قال البغوي: “اتÙقوا على أن المرأة لا ØªØµÙ„Ø Ø£Ù† تكون إمامًا ولا قاضيًا لأن الإمام ÙŠØØªØ§Ø¬ إلى الخروج لإقامة أمر الجهاد والقيام بأمور المسلمين والقاضي ÙŠØØªØ§Ø¬ إلى البروز Ù„ÙØµÙ„ الخصومات والمرأة عورة لا ØªØµÙ„Ø Ù„Ù„Ø¨Ø±ÙˆØ² وتعجز لضعÙها عند القيام بأكثر الأمور، ولأن المرأة ناقصة والإمامة والقضاء من كمال الولايات Ùلا ÙŠØµÙ„Ø Ù„Ù‡Ø§ إلا الكامل من الرجال”
al Baghawi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa wanita itu tidak boleh menjadi penguasa, tidak pula menjadi hakim di pengadilan karena penguasa itu perlu keluar rumah untuk menegakkan jihad dan mengurusi urusan kaum muslimin. Seorang hakim juga perlu menampakkan diri untuk memutuskan sengketa padahal wanita itu aurat sehingga tidak seharusnya suka keluar rumah. Demikian pula wanita itu tidak akan mampu memimpin dengan baik karena kelemahannya untuk mengurusi banyak urusan. Demikian pula menimbang bahwa wanita itu tidak sempurna akalnya. Menjadi penguasa dan hakim adalah pekerjaan yang sangat berat sehingga tidak layak dipegang kecuali oleh laki laki yang sempurna sebagai seorang laki-laki” [Syarh Sunnah al Baghawi 10/77].
قال القرطبي: “وأجمعوا على أن المرأة لا يجوز أن تكون إماما”
Abu Abdillah al Qurthubi al Maliki mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa wanita itu tidak boleh menjadi penguasa” [Tafsir al Qurthubi 1/270].
قال الشنقيطي: “الثاني: من شروط الإمام الأعظم : كونه ذكراً ولا خلا٠ÙÙŠ ذلك بين العلماء ØŒ ويدل له ما ثبت ÙÙŠ صØÙŠØ البخاري وغيره من ØØ¯ÙŠØ« أبي بكرة رضي الله عنه ØŒ أن النَّبي صلى الله عليه وسلم: لما بلغه أن ÙØ§Ø±Ø³Ø§Ù‹ ملكوا ابنة كسرى قال : « لن ÙŠÙÙ„Ø Ù‚ÙˆÙ… ولوا أمرهم امرأة »
Syaikh Muhammad Amin as Syunqithi al Maliki mengatakan, “Diantara syarat kepala negara adalah berjenis kelamin laki laki dan hal ini tidaklah diperselisihkan oleh para ulama. Dalil ijma dalam hal ini adalah hadits yang terdapat dalam Shahih al Bukhari dan selainnya, dari Abu Bakrah tatkala Nabi mendengar orang orang Persia mengangkat putri Kisra [gelar raja Persia] sebelumnya sebagai ratu beliau bersabda, “Tidak akan beruntung sekelompok orang yang menyerahkan pengaturan urusan mereka kepada wanita” [Adh-waul Bayan 1/27].
مآثر Ø§Ù„Ø¥Ù†Ø§ÙØ© ÙÙŠ معالم Ø§Ù„Ø®Ù„Ø§ÙØ© – (1 / 17)
الأول الذكورة Ùلا تنعقد إمامة المرأة….
والمعنى ÙÙŠ ذلك أن الإمام لا يستغني عن الإختلاط بالرجال والمشاورة معهم ÙÙŠ الأمور والمرأة ممنوعة من ذلك ولأن المرأة ناقصة ÙÙŠ أمر Ù†ÙØ³Ù‡Ø§ ØØªÙ‰ لا تملك Ø§Ù„Ù†ÙƒØ§Ø Ùلا تجعل إليها الولاية على غيرها
Ketika menjelaskan syarat sah pengangkatan penguasa Al Qalqasyandi menyebutkan bahwa syarat pertama adalah berjenis kelamin laki laki, “Tidak sah jika wanita menjadi penguasa…. Hal itu dikarenakan penguasa itu harus berbaur dengan banyak laki laki dan bermusyawarah bersama mereka dalam banyak urusan sedangkan wanita terlarang seperti itu. Alasan yang lain, wanita itu tidak dipercaya oleh syariat untuk mengurus dirinya sendiri sehingga dia tidak boleh menikahkan dirinya sendiri sehingga tidak mungkin dia malah diberi kekuasaan untuk mengatur yang lain”[Ma-atsir al Inafah fi Maalim al Khilafah 1/17].
المغني – (22 / 453)
( 8221 ) مَسْأَلَةٌ :…. وَلَا ØªÙŽØµÙ’Ù„ÙØÙ Ù„ÙلْإÙÙ…ÙŽØ§Ù…ÙŽØ©Ù Ø§Ù„Ù’Ø¹ÙØ¸Ù’Ù…ÙŽÙ‰ ØŒ وَلَا Ù„ÙØªÙŽÙˆÙ’Ù„Ùيَة٠الْبÙلْدَان٠؛ ÙˆÙŽÙ„Ùهَذَا لَمْ ÙŠÙÙˆÙŽÙ„ÙÙ‘ النَّبÙÙŠÙÙ‘ صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ وَلَا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ Ù…Ùنْ Ø®ÙÙ„ÙŽÙَائÙÙ‡Ù ØŒ وَلَا مَنْ بَعْدَهÙمْ ØŒ امْرَأَةً قَضَاءً وَلَا ÙˆÙلَايَةَ بَلَد٠، ÙÙيمَا بَلَغَنَا ØŒ وَلَوْ جَازَ ذَلÙÙƒÙŽ لَمْ يَخْل٠مÙنْه٠جَمÙÙŠØ¹Ù Ø§Ù„Ø²ÙŽÙ‘Ù…ÙŽØ§Ù†Ù ØºÙŽØ§Ù„ÙØ¨Ù‹Ø§ .
Ibnu Qudamah al Hanbali mengatakan, “Wanita itu tidak boleh menjadi kepala negara, tidak pula kepala daerah. Oleh karena itu Nabi dan empat khulafaur rasyidin dan khalifah setelahnya tidaklah pernah-sepanjang pengetahuan kami-mengangkat wanita sebagai hakim atau pun penguasa daerah. Andai hal tersebut diperbolehkan maka kemungkinan besar hal tersebut pasti pernah terjadi dalam sejarah kaum muslimin” [al Mughni 22/453, Syamilah dalam bahasan masalah no 8221].






assalaamu ‘alaykum wr. wb.
ustadz aris, lalu bagaimanakah dengan kepemimpinan ‘aisyah R.Ah dalam perang jamal??
terima kasih
#ainun
Itulah bahaya kepemimpinan wanita dan aisyah pun sudah menyesali hal ini.
kenapa anda jadikan dalil sesuatu yang aisyah sendiri menyesalinya?!!