Para ulama berselisih pendapat tentang hadits ini [yaitu hadits yang mengatakan bahwa salah satu ciri orang yang masuk surga tanpa hisab adalah orang yang tidak minta diruqyah, pent.].
Sebagian ulama berpendapat sebagaimana dalam berbagai buku syarah atau penjelasan hadits, bahwa makna hadits tersebut sebagaimana makna zhahirnya. Sehingga seorang itu meminta orang lain untuk meruqyahnya maka dia tidak akan termasuk ke dalam hadits di atas.
Sedangkan sebagian ulama yang lain dan mereka adalah a-immah muhaqqiqun [para ulama yang teliti dan jeli] berpendapat bahwa maksud pokok hadits hadits adalah bagian akhirnya yaitu mereka adalah orang orang yang hanya bertawakkal kepada Allah.
Sehingga seorang itu benar benar bertawakkal alias menggantungkan hatinya kepada Allah maka tidaklah masalah berbagai usaha yang dia lakukan asalkan dia tidak bertawakal [menggantungkan hatinya] dengan usaha yang dia lakukan.
Oleh karena itu jika seorang yang sakit itu meminta kepada orang lain untuk meruqyah dirinya dan dia sendiri benar benar tawakkal kepada Allah maka itu mengapa.
Ciri orang yang masuk surga tanpa hisab dalam hadits di atas bisa kita kategorikan menjadi dua bagian:
Pertama, perkara yang terlarang dalam syariat. Itulah perasaan perasaan sial. Orang yang memiliki perasaan sial itu telah menjadikan sebagian sebab seakan akan sarana tercegahnya nikmat atau terjadinya marabahaya. Oleh karena orang jahiliah manakala melihat burung terbang ke arah timur maka dia berprasangka akan timbulnya marabahaya. Namun jika dia jumpai burung terbang ke arah barat maka yang muncul adalah perasaan yang lain.
Allah ingin menjelaskan bahwa sebab yang diyakini oleh sebagian orang sebagai sebab padahal syariat atau hukum kausalitas tidak menetapkannya sebagai sebab maka menggantungkan hati padanya atau melakukannya adalah syirik besar jika dia menyakini bahwa sebab tersebut memberi manfaat atau bahaya dengan sendirinya. Jika tanpa keyakinan tersebut sehingga yang terjadi hanyalah menyakini sebab yang bukan sebab secara syariat atau pun hukum kausalitas yang ada di alam semesta maka itu terhitung syirik kecil yang disebut oleh para ulama dengan sebutan kufrun duna kufrin atau kekafiran yang kecil.
Kedua, perkara yang mengurangi kadar tawakkal seseorang. Itulah minta diobati dengan cara kay dan minta untuk diruqyah.
Berdasarkan uraian di atas maka orang yang memang perlu diruqyah lantas dia meminta kepada orang lain untuk meruqyah dirinya dalam keadaan dia yakin bahwa yang menyembuhkan adalah Allah sedangkan ruqyah hanyalah usaha atau lantaran sehingga tentu saja dia tidak berkeyakinan bahwasanya kesembuhan itu di tangan fulan si peruqyah maka hukum hal tersebut adalah tidak mengapa.
Para ulama mengatakan bahwa diantara bukti yang menunjukkan benarnya pendapat yang kedua adalah seorang itu secara umum diperintahkan untuk berobat.
Kita semua tahu bahwa boleh jadi kesembuhan si sakit sebabnya adalah dokter namun pada kenyataannya hal ini tidaklah terlarang. Tidaklah menutup kemungkinan, pengobatan dokter -dikarenakan lemahnya tawakkal- itu lebih berkesan dalam hati dari pada kesan yang timbul karena ruqyah.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa yang jadi pokok masalah adalah tawakal kepada Allah dengan sebenar benarnya.
Namun tidaklah diragukan bahwa meminta diruqyah atau diobati dengan cara kay atau semisalnya menyebabkan melemahnya tawakal seseorang kecuali jika tawakalnya benar benar terjaga. Jika tawakkal benar benar terjaga maka meminta ruqyah itu tidaklah mengapa.
Demikian penjelasan Syaikh Dr Abdullah bin Nashir al Sulmi mengenai permasalahan ini.
Penjelasan beliau bisa disimak pada menit 02:45 sampai 05:37 dalam kajian yang bisa dijumpai pada link berikut
http://www.safeshare.tv/w/uHrxBaSpNG
Alhamdulillah, penjelasan di atas menghilangkan pertanyaan yg selama ini ada, antara hukum minta diruqyah dan berobat. Jazakallahu khairan…
intinya apakah yg minta ruqyah akan kehilangan kistimewaan masuk surga tanpa hisab ust?
#murid
Tidak, tetap dapat peluang. sebagaimana berobat juga tidak menghilangkan peluang tsb.
Ass, pak ustadz. Saya ingin bertanya, sebelumnya saya ingin sampaikan bahwa ilmu agama saya ini minim sekali, betul-betul minim, maka dari itu mohon dimaklum jika saya kurang begitu jelas dan sangat berhati-hati mengenai hal ruqyah dan tawakal ini. Saya ini memiliki masalah dengan emosi dan kejiwaan, sempat pula berkonsultasi dengan psikiater, namun obat-obat yang diberi tidak saya minum karena alasan2 tertentu, tujuan saya ke psikiater adalah bukan untuk berobat tapi untuk mendapatkan alasan masuk akal mengenai hal-hal yang ada pada saya. Lalu kemudian atas dasar analisa saya terhadap diri saya sendiri, dan setelah berdialog dengan orang tua saya, kami memiliki dugaan bahwa mungkin saya dipengaruhi hal “buruk”, lalu setelah itu kami berencana untuk saya melakukan ruqyah ke ruqyah center. namun setelah membaca ini saya jadi sangat ragu mengenai boleh atau tidak nya saya di ruqyah, mengingat saya sendiri yang berkeinginan untuk diruqyah lalu kemudian orang tua saya pun setuju, namun semata dan dengan niat saya ingin “sembuh” atau lebih baik atau lebih “sehat”, dan tentu saja dengan pikiran “hanya karena Allah”. namun saya jadi ragu, mengenai “hanya karena Allah” dan tawakal ini, karena mengingat saya ini minim agama dan sakit secara hati, jiwa dan pikiran berarti saya ini kurang iman. Maka dari itu mohon ustadz kiranya dapat memberi masukan kepada saya, apakah baik saya melakukan ruqyah itu atau tidak. terimakasih banyak,