Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pernah shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’.
Dalam salah satu riwayat Muslim, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara jamak di kota Madinah padahal tidak ada ketakutan, tidak pula sedang bepergian”.
Abu az Zubair mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat demikian. Kata Sa’id, “Hal itu sudah kutanyakan kepada Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin untuk tidak menyusahkan satupun dari umatnya’.
Dalam riwayat Muslim yang lain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ di Madinah padahal tidak ada rasa takut, tidak pula ada hujan” (HR Bukhari no 522 dan Muslim no 705).
Kandungan Hadits
Hadits ini merupakan dasar pokok disyariatkannya shalat jamak bagi bukan musafir. Sejumlah ulama berpendapat dengan makna tekstual hadits tersebut. Oleh karena itu, mereka berpendapat bolehnya menjamak shalat ketika tidak bepergian karena ada kebutuhan apapun bentuk kebutuhan tersebut namun dengan syarat tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Sirin, Rabi’ah, Asyhab, Ibnul Mundzir dan al Qoffal al Kabir. Menurut penjelasan al Khatabi hal ini juga merupakan pendapat sejumlah ulama pakar hadits (Fathul Bari 2/24).
Secara langsung hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di kota Madinah tanpa udzur. Sedangkan secara tidak langsung hadits di atas menunjukkan bahwa rasa takut, hujan dan bepergian merupakan faktor-faktor yang membolehkan untuk menjamak shalat.
Tidak terdapat penjelasan valid tentang sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat sebagaimana dalam hadits di atas selain penjelasan Ibnu Abbas ‘Nabi ingin untuk tidak menyusahkan satupun dari umatnya’. Kaedah mengatakan bahwa seorang perawi itu lebih tahu tentang maksud hadits yang dia riwayatkan.
Imam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,
” وليس لأحد أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه “
“Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).
An Nawawi mengatakan, “Pendapat ini dikuatkan oleh makna eksplisit dari pernyataan Ibnu Abbas, ‘Nabi ingin agar tidak menyusahkan umatnya’. Ibnu Abbas tidak memberikan alasan karena sakit atau faktor yang lain” (5/219).
Dalam salah satu riwayat Bukhari, Ayub bertanya, “Boleh jadi malam itu turun hujan?”. Gurunya mengatakan, “Boleh jadi”.
Ibnu Hajar mengatakan, “Kemungkinan karena faktor hujan juga dilontarkan oleh Malik setelah meriwayatkan hadits di atas. … Akan tetapi dalam riwayat Muslim dan Ashabus Sunan disebutkan ‘padahal tidak ada rasa takut, tidak pula ada hujan’. Sehingga jelaslah bahwa jamak tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan bukan karena rasa takut, bepergian atau karena hujan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor sakit. Inilah pendapat yang dipilih oleh An Nawawi. Akan tetapi, jika dicermati secara seksama pendapat ini juga tetap kurang tepat. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat karena sakit, berarti para shahabat yang shalat bersama beliau hanya para shahabat yang sedang sakit saja. Padahal secara eksplisit Nabi menjamak shalat dengan semua shahabat sebagaimana penegasan yang disampaikan oleh Ibnu Abbas”.
An Nawawi juga mengatakan, “Ada ulama yang menjelaskan bahwa ketika itu ada mendung lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah mendung hilang misalnya diketahui bahwa waktu Ashar sudah tiba. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lanjutkan dengan shalat Ashar”. Komentar An Nawawi terhadap pendapat ini, “Ini adalah pendapat yang mengada-ada. Meski ada sedikit kemungkinan untuk menerima pendapat ini untuk memahami shalat jamak yang Nabi lakukan untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Namun kemungkinan ini jelas tertolak untuk shalat Maghrib dan Isya” (Fathul Bari 2/30).
Jamak Shuri
Ada ulama yang memahami jamak dalam hadits di atas dengan jamak shuri. Akan tetapi pendapat ini tertolak dengan perkataan perawi, ‘Nabi ingin tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya’.
Ibnu Hajar berkata, “Keinginan Nabi untuk menghilangkan kesusahan dari umatnya adalah bantahan terhadap yang mengatakan bahwa jamak tersebut adalah jamak shuri. Karena jamak shuri itu tidak bisa lepas dari kesulitan” (Fathul Bari 2/31).
Jamak shuri adalah menunda pelaksaan shalat zhuhur -misalnya- sampai di akhir waktunya lalu shalat ashar dikerjakan pada awal waktunya. Nampaknya jamak padahal masing-masing shalat tetap dikerjakan pada waktunya masing-masing.
Jamak karena Sakit
Sakit adalah alasan yang bisa dibenarkan untuk menjamak shalat. Ketika seorang yang sakit kesulitan untuk shalat di waktunya masing-masing maka dibolehkan baginya untuk menjamak shalat.
Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama bersilang pendapat mengenai shalat jamak bagi orang yang sakit baik ketika bepergian ataupun tidak. Sejumlah ulama membolehkan orang sakit untuk menjamak shalat di antaranya adalah Atha’ bin Abi Rabah. Tentang orang sakit Malik mengatakan, “Jika lebih mudah baginya untuk menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar di tengah-tengah waktu Zhuhur maka hal tersebut dibolehkan kecuali jika dia khawatir akan jatuh pingsan sebelum itu maka boleh menjamak setelah zawal/setelah matahari bergeser ke barat. Demikian untuk shalat Maghrib dan Isya’, jamak dilakukan ketika awan merah telah menghilang. Akan tetapi jika si sakit khawatir akan jatuh pingsan maka boleh menjamak shalat sebelum itu. Jamak bagi orang sakit itu hanya dibolehkan bagi orang yang sakit perut atau sakit semisal itu atau orang yang sakitnya parah yang dengan menjamak shalat itu lebih memudahkannya” (Al Ausath 2/434 dan al Istidzkar karya Ibnu Abdil Barr 6/36-37).
Al Laits mengatakan bahwa jamak shalat itu dibolehkan bagi orang yang sakit secara umum dan sakit perut secara khusus. Abu Hanifah mengatakan bahwa orang yang sakit itu dibolehkan untuk menjamak shalat sebagaimana jamak yang dilakukan oleh seorang musafir. Ahmad dan Ishaq juga menegaskan bahwa orang yang sakit itu boleh menjamak shalat (Al Istidzkar 6/37).
Tirmidzi mengatakan, “Sebagian ulama dari kalangan tabi’in membolehkan orang sakit untuk menjamak shalat. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sebagian ulama juga membolehkan menjamak shalat karena hujan. Inilah pendapat Syafii, Ahmad dan Ishaq. Akan tetapi Syafii tidak membolehkan shalat jamak bagi orang yang sakit” (Jami’ Tirmidzi 1/357).
Sakit yang membolehkan untuk menjamak shalat adalah jika si sakit akan kesulitan dan fisik tidak mampu untuk mengerjakan shalat pada waktunya masing-masing. Al Atsram mengatakan bahwa Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad pernah ditanya apakah orang yang sakit dibolehkan untuk menjamak shalat. Jawaban Imam Ahmad, “Aku harap demikian jika fisiknya lemah dan tidak mampu mengerjakan shalat kecuali dengan cara demikian. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi wanita yang mengalami istihadhah, orang yang terkena penyakit beseren dan orang yang keadaannya sebagaimana mereka” (Mughni 3/136).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, maka dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi. Demikian pula dibolehkan untuk menjamak shalat bagi seorang yang tidak memungkinkan untuk melakukan bersuci yang sempurna di masing-masing waktu shalat kecuali dengan kerepotan semisal wanita yang mengalami istihadhah dan kasus-kasus semisal itu” (Majmu’ Fatawa 24/84).
Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang yang menjamak shalat karena safar apakah dia diperbolehkan menjamak secara mutlak ataukah jamak itu hanya khusus bagi musafir. Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua pendapat baik ketika bepergian ataupun tidak bepergian. Oleh karena itu, Imam Ahmad menegaskan bolehnya jamak karena adanya kesibukkan (yang merepotkan untuk shalat pada waktunya masing-masing).
Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ‘Semua alasan yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, angin yang kencang membawa hawa dingin menurut zhahir pendapat Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)” (Majmu Fatawa 24/14).
Assalamu’alaikum ustadz kami, ana ingin tanya :
1. Bolehkan seorang dokter menjamak sholat kerena (misalnya) ia mengerjakan operasi pada waktu sebelum zuhur dan diperkirakan operasinya baru selesai pada waktu ashar (jadi ia tidak sempat shalat zuhur). Nanti setelah operasi baru ia mengerjakan shalat zuhur dengan menjamak dengan shalat ashar (jamak takhir)?
2. Kasus lain : Mungkin pernah terjadi pada sebagian ikhwan yang mengadakan walimahan, yakni karena belum bisa (atau belum mampu) menerapkan walimahan yang syar’i, maka mereka mengadakan walimahan layaknya orang awam, yang biasanya dimulai pada waktu zuhur sampai waktu menjelang maghrib. Nah, biasanya untuk sholat zuhur masih bisa dilaksanakan, tapi untuk shalat ashar, biasanya (terutama bagi akhwat yang “penuh hiasan”) kesulitan buat shalat ashar. Ditempat ana, ada saudara kita yang mengalami kasus tersebut lalu beliau (bersama istrinya), sebelum acara walimahan dimulai, mereka menjamak shalat zuhur dan ashar (yakni jamak taqdim di waktu zuhur). Mohon penjelasan ustadz?
Untuk Wawan
Wa’alaikumussalam
1. Dokter tersebut punya kewajiban untuk mencari waktu yang tidak menabrak waktu shalat misal habis Isya atau pagi. Jika tidak memungkinkan baru dia diperbolehkan untuk menjamak shalat dan sebaiknya jamak yang dipilih adalah jamak taqdim.
2. Hal yang ditanyakan bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk menjamak shalat. Sebagian ulama memiliki kaedah bahwa rukhshah syariat itu tidak berlaku untuk kegiatan maksiat.
Assalammu’alaikum Ustad, mohon penjelasan :
Seorang kerabat dari Malaysia datang sehubungan pekerjaan di Indonesia, ketika bertepatan pada hari jum’at, dia akan ke Airport jam 3 sore untuk mengejar flight jam 5 sore. Ketika ana tanyakan kenapa tidak pergi shalat Jum’at yang pd saat itu bertepatan jam 12 siang kurang, beliau menjawab bahwa dia seorang musafir dan berhak mengambil rukhsah. Pada saat itu beliau memang sedang ada tamu, tetapi menurut ana it is oke jika tamu tsb ditinggal sebentar.
Yang ana tanyakan : apakah boleh meninggalkan shalat Jum’at lalu diganti dengan shalat Zhuhur biasa yang dijamak pada saat ashar di bandara ? atau jika dibandara juga tidak sempat shalat ashar lalu bagaimana ?
JazaKalloh Khair,
D. Valentino – Cimanggis
Untuk Valentino
Wa’alaikumussalam
Saran saya untuk orang tersebut agar shalat zhuhur dijamak dengan ashar dan dikerjakan saat sholat zhuhur alias jamak taqdim
1) shalat jamak, apakah tenggang waktu antara 2 sholat tersebut harus segera langsung mengerjakan sholat berikutnya? ataukah boleh dipisah waktu yg agak lama antar 2 sholat ?
2) saya sbg musafir, saat dzhuhur berjamaah bersama orang mukim. Lalu dilanjutkan dgn shalat Ashar, apakah wajib berjamaah dgn teman2 saya seperjalanan ? atau boleh sendiri2 ? krn posisi kami yg seperjalanan berjauhan, dia di shaf depan dan saya dibelakang, hingga kerepotan menyegerakan utk lanjut shalat ashar.
3. Dalam Dauroh2, saya banyak memperhatikan jamaah dari kota lain menjamak shalat. Setelah shalat dzhuhur, mereka terpecah menjadi bbrp jamaah utk mengerjakan shalat ashar, bahkan ada yg sendirian utk shalat ashar. Apakah ini yg terlarang dalam hal membuat jamaah baru dlm 1 masjid ?
4.) Tentang Shalat Qashar. Sudah menjadi keutamaan bagi musafir utk mengqashar shalat. Dlm perjalanan, saya mendapati orang yg mukim sedang shalat Ashar berjamaah, tetapi saya masbuk hingga dapat di rakaat ke 3. Apakah saya tetap ikut utk menyempurnakan hingga 4 rakaat, atau boleh saya mengqashar shalat ?
Assalamualaikum ustad.
Sy mau tnya. Dlm perjln dri kota A n kota B lama prjalnn 6 jm,brngkt stelh shlt dzuhur jm 2,dn kmi mjamakx dg ashar.Apkh hal i2 dibolehx
Saat tiba wktu mgrib kmi singgh shlt mgrb dmsjid dan mjamk qashar dg isya. Saat mmsuki tempt mukim kmi, azan isya dikumandngx.Apkh qt dhrusx mngulang shlt isya trsebut atau tdk.
Manakh y lebh afdal dlm prjalnn qt mjamk qashr ato tdk mjamkx sm sekali.
Mhon pnjelasnx ustad krn kdng sy dihinggpi kraguan.Mksh sblmx ustad
Untuk Andi
Wa’alaikumussalam
1. Boleh dijamak
2. tidak perli mengulang shalat Isya
3. Dianjurkan jamak jika kesulitan untuk shalat pada waktunya masing-masing.
Untuk HA
1. Boleh meski yang lebih baik adalah segera
2. Lebih baik berjamaah
3. Seharusnya jadi satu saja karena hal itu adalah fenomena perpecahan yang seharusnya dihindari
4. harus menyempurnakan hingga 4 rakaat.
Assalamu’alaikum
Ustadz Aris, ana pernah membaca di salah satu forum diskusi tentang Hadis (forum di malaysia, salah satu moderatornya adalah murid dari murid Syaikh Syu’aib Arnauth) menerangkan dalam salah satu threadnya bahwa Imam Tirmidzi berkata :
“”Segala hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini (maksudnya Jami’ Tirmidzi-ket) adalah hadis-hadis yang kandungannya diamalkan, sebahagian para ahli ilmu telahpun mengambil hadis-hadis ini, kecuali dua hadis iaitu (pertama) hadis Ibn Abbas bahawa sesungguhnya Rasulullah SAW menjama’kan solat Zohor dan Asar, dan juga solat Maghrib dan Isya’ di Madinah bukan kerana takut, atau hujan.”
(Bisa diliat di http://al-fikrah.net/Forums/viewtopic/t=2559.html).
Apakah memang benar demikian ?
Untuk Igun
Wa’alaikumussalam
Benar, demikianlah perkataan Tirmidzi namun pernyataan beliau bahwa tidak ada ulama yang mengamalkan kandungan dua hadits tersebut adalah suatu yang tidak benar.
buktinya adalah penjelasan yang ada di artikel ini. Bisa juga anda lihat di buku Mustholah Hadits karya Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
bismillah, apa hukumnya mengadakan acara syukuran ketika akan pindah rumah? apakah ada tuntunan dari rasulullah seperti yg dinukil dari al-muntaqa jilid 5 no.444
Untuk Abu Royyan
Hukum asal acara walimah (acara makan-makan) adalah mubah karena masalah ‘adah (non ibadah) sebagaimana yang pernah saya baca di Fathul Bari dan Nailul Author.
Adapun adakah tuntunan dari Rasulullah tentang masalah yang ditanyakan maka belum saya mengetahui dan belum membacanya.
assalamu’alaikum ustadz, klu misalnya aktifitas mancing di laut dimana pergi waktu subuh kemudian mendarat sore hari, apakah dibolehkan untuk menjamak sholat dzuhur dg ashar dengan sebab kesulitan/ kerepotan akibat aktifitas mancing tersebut?? (maksud ana sholat jamaknya dilakukan setelah kembali ke darat & dilakukan waku sore /ashar) jazakumulloh khairan katsiraa atas jawabannya
assalamu’alaikum, ustad klu ada orang yang mancing dg kapal ke laut, org ini brangkat subuh dan mendarat ashar, apa boleh bg orang ini menjamak sholat dzuhur dg ashar dengan alasan kesulitan& dikerjakan diwaktu ashar (setelah kapal mendarat)??
jazakumulloh khairan
Untuk Abu Ahmad
Wa’alaikumussalam
Itu bukan alasan yang bisa dibenarkan untuk menjamak shalat.
Bahkan Nabi mengajarkan untuk shalat di atas perahu. Haditsnya bisa dibaca di buku Shifat Shalat Nabi karya Al Albani.
assalamu’alikum.. ustadz melanjutkan pertanyaan sebelumnya, gmn klu orang yang mancing tsb dalam keadaan safar, misalnya dia brangkat dr solo dg tujuan mau mancing di laut semarang ( dalam hal ini kan perjalanan dari solo ke semarang kan safar) ?? apa tetap gak boleh jamak?? jazakumulloh khairan
Untuk Abu Ahmad
Wa’alaikumussalam
Musafir boleh menjamak shalat namun jika musafir tersebut memungkinkan untuk shalat pada waktunya masing-masing, alias tanpa jamak maka itulah yang lebih afdhol selama tidak merepotkan.
ustadz hukum sholat tahiyyatul masjid itu gmn?ada pembahasan yang lengkap dmn?jika dalam perjalanan di kereta sulit kita berwudhu padahal ada air minum disebabkan penuhnya penumpang maka apa yg kita lakukan?kalaupun bisa akan mengganggu kanan dan kiri kita.syukron jaziilan.
Untuk Abu Uwais
a. Tahiyyatul masjid itu sunnah muakkadah sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Untuk buku berbahasa Indonesia saya kurang tahu.
b. Berarti tidak memungkinkan untuk menggunakan air. Solusinya adalah tayamum.
Assalamu’alaikum. Ust Ana tanya, kalau kita musafir, kemudian shalat dzuhur bersama imam mukim 4 rekaat. setelah itu kita mau menjamak shalat ‘asar. berapa rekaatkah shalat ‘asar kita? diqosor menjadi 2 atau sempurna 4 rekaat?
Untuk Abu Abdillahi
Sebaiknya qashar, 2 rakaat.
kalau kitab ulama ttg hukum sholat tahiyyatul masjid yg jadi pegangan ustadz apa judulnmya ust?atau yg menjelaskan pendapat jumhur ulama serta dalil2nya?syukron
Untuk Abu Uwais
Al aqwal al Mardhiyyah fi Shalah al Tahiyyah terbitan Maktabah al Ilmi Jedah KSA
Assalamualaikum…
bolehkah kita menjam’a shalat ketika kita sudah sampai tempat tujuan?
Untuk Dede
Wa’alaikumussalam
Jika masih berstatus musafir dan perlu jamak maka boleh jamak.
Jika kita ingin jamak takhir (zuhur dan ashar misalnya,,) mana yang harus didahulukan, sholat ashar atau zuhur dulu? Jika kebetulan di masjid sedang ada sholat ashar,, sholat apa yang harus di dahulukan?
ana pernah membaca artikel sebagai berikut,,
Akan tetapi, jika seseorang lupa atau tidak tahu, ia ingin melakukan jama’ takhir. Ketika ada yang mengerjakan shalat ‘Isya’, ia pun berniat shalat ‘Isya’ di belakang imam tersebut. Baru setelah menunaikan shalat ‘Isya, ia menunaikan shalat maghrib yang belum ia tunaikan. Apakah shalat seperti ini sah karena tidak berurutan?
Para pakar fiqih mengatakan, “Shalatnya tidak sah. Shalat ‘Isya yang ia lakukan tidak sah. Dia harus tetap melakukan shalat ‘Isya lagi setelah melakukan shalat maghrib.”
(rumaysho.com)
Apakah artinya sholat Isya yang berjamaah di masjid harus kita tinggalkan, untuk mengerjakan maghrib terlebih dahulu??
Mohon penjeasannya ustadz..
Untuk Abu
Coba anda tanyakan ke rumaysho.com biar jelas apa yang dimaksudkan oleh penulis artikel.
terkait dengan pertanyaan di atas, apakah kalau kita shalat jamak takhir, diwajibkan untuk mendahulukan shalat yang sebelumnya? Jadi, misalnya sholat Zuhur dan Ashar diwaktu Ashar, maka wajib sholat zuhur dulu baru sholat Ashar?
Mohon penjelasannya..
Untuk Azhar
Wajib urut, zhuhur dulu baru ashar.
Assalamualaikum .
saya seorang siswi SMA .
saya mengikuti kegiatan bimbingan belajar dari jam 3 sore – jam 7 malam . nah, d bimbingan belajar tsb tdak dberikan waktu utk istirahat ataupun waktu shalat.
oleh krna itu saya ingin bertanya : bolehkah saya menjamak (jamak taqdim) shalat dzuhur n ashar ??
trimakasih sblumny . assalamualaikum
utk anggi
Wa’alaikumussalam
Anda tidak boleh menjamak. Anda wajib keluar dari ruangan untuk melaksanakan shalat Ashar.
kalau pulang dari safar tiba di rumah dlm keadaan sangat lelah (di waktu maghrib), apa bisa saya jamak dengan isya’ ? krn ingin langsung tidur utk istirahat.
Dlm hal ini saya tidak melakukan qasar krn sudah bukan musafir.
untuk abang
Boleh jika memang demikian.
Assalamualikum,
Mau bertanya. Saya bermukim di Malaysia tetapi dihantar berkerja ke Indonesia tanpa mengetahui kapan akan kembali semula ke Malaysia. Soalannya, apa bisa saya berterusan mengerjakan solat Qasar & Jamak? Jika bisa mau penjelasan dalilnya. Terima Kasih
#nazree
Sebaiknya anda tidak qashar
pak ustadz, kalo menjamak takhir (zhuhur dan ashar di waktu ashar) tapi takut waktu asharnya kelewat (krn sdh hampir lewat ashar) bolehkah kita mengerjakan ashar dulu baru kmd zhuhur?
Assalamu ‘alaikum.
ustadz, saya sering bepergian dari Bandung ke Jakarta dengan menggunakan kereta api. Berangkat dari Bandung jam 4.42 sore dan tiba di Jakarta jam 7.41.
Manakah yang lebih rajih, tetap melaksanakan sholat maghrib di kereta atau boleh menjamaknya di waktu isya?
Jazakallahu khairan.
#gan
Dijamak saja
ass,pak ustad sya ingin brtnanya?ada kwan sya yng mnjamakkan shlat magri ke shlt isya,tpi klw ditengook2 alasan klw seanadainya dia sakit.sdankgkan dia pergi imlek dan jlan2,klw dlm perjlanan kn ada msjd2 di setiap jaln,tlong dijelasjkan ustad..
Assalamualaikum,,,,
Ustad,,
Saya mau tanya..
boleh tidak menjama’ sholat meski pun saya sedang tidak dalam perjalanan , karena saya tidak bisa melaksanakan sholat ashar pada waktunya karena urusan saya membantu pekerjaan orang tua saya ,mohon dijawabsebelumnya terima kasihassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh…
#nur fitri
membantu ortu bukan alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat.
Ustadz, bagaimana seandainya seseorang tertidur di sore hari sebelum waktu sholat maghrib, kemudian ia bangun setelah masuk sholat isya. Apa yang seharusnya ia lakukan? Apakah mengqodho sholat maghrib ataukah boleh jamak ta’khir?
jazakallah
#imam
Yang jelas, hendaknya dia shalat maghrib dulu baru shalat isya.
Assalamu’alaikum
apakah boleh bagi wanita yang istihadho untuk menjamak sholatnya????
Bismillah,
1.Ustadz Ad kawan indonesia yg kerja singapore di tempat kerjany asusah untuk melaksanakan sholat maka dia sering menjamak dzuhur, ashar, magrib dan isya jam 10 malam
Apa hal demikian diperbolehkan ?
kalau tidak apa solusinya.
2. Kawan sy tersebut di pulang jam 6 sore smapai rumah udah isya maka bolehkan dijamak magrib sama isya. ?
#abu adam
Dia wajib berupaya mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
#rifatin
Boleh menjamak shalat.
Assalamualaikum
ustadz saya mau tanya beberapa masalah berkaitan dengan safar yang dikaji di universitas saya, apakah sholat jama’qoshor itu dilaksanakan berdasarkan jarak atau berdasarkan lelah karena berdasarka sejarah nuzulnya rukhsoh ini dikatakan bahwa dahulu safar merupakan pekerjaan berat dan melelahkan sehingga diberikan rukhsoh akan tetapi lihat fenomena sekarang sudah ada pesawat dan masjid sudah tersebar dimana mana sehingga dalam pelaksanaan ibadah sholat ini jadi mudah?
contoh: kita bepergian kejakarta berangkat pukul 12 kemudian turun pukul 2 siang dan perjalanan tidak terasa melelahkan karena ditempuh dengan waktu yang cepat apakah nantinya itu dijama’qoshor?
contoh 2 :kita berada di perbatasan jogja dan solo kemudian kita keliling putar putar lihat lihat kota sehingga prjalanan terasa melelahkan dan mungkin jrk yang ditempuh sdah lebih 80km itu bagaimana apakah dikatakan safar sehingga boleh jama’qoshor atau bagaimana?
terimakasih ustadz
wassalamualikum
Bismillah
ustad, saya bekerja pada malam hari jam 19;30 s/d 07:30, saya tidur jam 10:00 s/d 16:00. Sulit sekali untuk bangun shalat Dzuhur karena ngantuk yg teramat sangat, apakah saya boleh menjamak dgn shalat Ashar?