Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertakwa dan berakhlak mulia meski dia seorang yang buruk rupa. Benarkah anggapan ini?
Marilah kita cermati perkataan Khalifah Umar bin al Khattab berikut ini:
قال عمر رضى الله عنه: لا تزوجوا بناتكم من الرجل الدميم فانه يعجبهن منهم ما يعجبهم منهن
Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Janganlah kalian nikahkan anak gadis kalian dengan laki-laki yang bertampang jelek karena wanita itu menyukai laki-laki yang ganteng sebagaimana laki-laki itu menyukai perempuan yang cantik” [Takmilah al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab karya jilid 17 hal 214 karya Muhammad Najib al Muthi’i, terbitan Maktabah al Irsyad, Jeddah KSA]
Jadi boleh saja seorang wanita muslimah shalihah atau walinya menolak keinginan seorang laki-laki shalih sejati dan tidak ada alasan untuk menolak laki-laki tersebut melainkan karena dia adalah seorang yang buruk rupa.
Namun ingat, yang namanya boleh itu tidak mesti wajib.
Artikel www.ustadzaris.com
cinta itu akan hadir pada pasangannya yg sdh nikah ataupun blom dngan berbagai sebab salah satu nya yg ustad uraikan, pertanyaan adlah bagaimna mencari pasangan cantik ataupun tampan yg kona’ah…..
ada fenomena baru lg ya ustadz? :)
Jadi ingat kisah istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang minta cerai khulu’ kepada Rasulullah, bukan karena beliau tidak shaleh (bahkan beliau adalah khatibur Rasul dan termasuk orang yang dijanjikan masuk surga) akan tetapi karena si istri takut “durhaka” kepada suaminya yang memiliki kekurangan di wajahnya. (faidah dari ust. Zainal Abidin beberapa tahun silam).
Walaupun saya mengerti maksud tulisan di atas – yaitu bolehnya menolak lamaran seseorang dengan alasan buruk rupa – , namun,….. ketika di awal paragraf ditulis :
Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertakwa dan berakhlak mulia meski dia seorang yang buruk rupa. Benarkah anggapan ini?
akan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Salah satu konsekuensi yang dipahami Pembaca dari perkataan tersebut adalah : “Bukan termasuk katagori wanita shalihah yang memilih pasangannya dengan pertimbangan agama saja”. Bahkan, jika ada seorang wanita yang memilih pasangannya hanya pertimbangan agamanya saja, meskipun pasangannya tersebut kurang tampan misalnya, maka ia adalah wanita shalihah. Ini konsekuensi pemahaman dari sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِيْنَهُ فَزَوِّجُوْهُ . إِلَّا تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِيْ الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila datang seorang laki-laki yang melamar anak yang engkau ridlai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang merata di muka bumi” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Majah; dinyatakan valid oleh Syaikh Al-Albaniy].
dan ada beberapa riwayat yang semisal dengan ini.
Intinya, bukan perkataan yang keliru jika disimpulkan secara dhahir bahwa seorang wanita yang memilih pasangannya dengan pertimbangan agamanya semata tanpa melihat dari faktor fisik adalah seorang wanita shalihah.
Adapun jika ia (si wanita) menolak lamaran – atau bahkan mengajukan khulu’ – dengan pertimbangan kekurangan fisik seorang laki-laki; menurut saya adalah perkara lain. Dan ini memang tidak ada hubungannya dengan tingkat keshalihahan sorang wanita. Ini adalah perkara hak yang dimilikinya yang diakui oleh syari’at. Bisa dipergunakan, bisa juga diletakkan.
Tidak ada yang keliru secara kontent – menurut saya – , karena sebagian ikhwan memang beranggapan demikian, yaitu memakai mafhum mukhalafah dari kalimat yang ustadz sebutkan. Jika dikatakan : Wanita yang memilih pasangan hidupnya dengan pertimbangan agamanya semata adalah jenis wanita shahilalh dengan mengesampingkan tampang, maka mafhum mukhalafah-nya, jika wanita tersebut menolak dengan pertimbangan tampang – walau lak-laki tersebut baik agamanya – , maka ia
bukan wanita shalihah. Ini keliru, dan tulisan ustadz telah cukup bagus menjelaskannya.
Apa yang ditulis ini hanya sekedar penangkapan dari Pembaca – dan saya termasuk salah satu di antaranya – . Jika kalimat ustadz di atas sedikit dimodifikasi dengan tujuan meminimalisasi kesalahpahaman dan buruk sangka, saya pikir itu jauh lebih baik.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Ganteng boleh tapi ndak perlu muluk-muluk.
Afwan, kok sekarang tampilan web via hp jadi lebar ya? Jadi sulit ngebacanya.
#adi
Coba komplain ke email admin blog ini:
#abdul
Kesimpulan dari sebuah tulisan adalah kesimpulan dari semua paragraf yang ada di tulisan tersebut, bukan hanya paragraf awal dari tulisan. orang yang sudah mengeluarkan penilaian padahal baru membaca paragraf awal saja adalah orang yang punya hobi “tergesa-gesa” dalam menilai.
Dalam masalah menilai ucapan manusia terdapat kaedah penting yaitu lazim al qoul laisa bil qoul
memang benar kaidah yang antum sebutkan. syaikh ibnu ‘utsaimin dan juga ulama yang lain pernah menjelaskan hal itu.
Bukan masalah itu sebenarnya yang ingin saya tekankan, akan tetapi tentang paragraf pertama yang antum tuliskan. Jika ada seseorang yang bertanya : “Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertaqwa dan berakhlak mulia meski ia buruk rupa. Benarkah anggapan ini ?“.
Perkataan : benarkah anggapan ini ? ; seakan-akan menyimpulkan perkataan tersebut keliru. Padahal, jika dijawab : benar, maka itu pun tidak keliru. Sebab, satu sifat seperti itu jika disandarkan kepada seorang wanita, maka secara dhahir ia seorang wanita shalihah. Walau, jika tidak memiliki sifat ini pun (yaitu, tetap mempertimbangkan faktor fisik), tidak harus berkonsekuensi bukan wanita shalihah.
apa yang saya sumbangkan di atas hanyalah sekedar saran saja. meminimalisir kesalahpahaman – jika memang itu bisa dilakukan – mengapa tidak ?. baarakallaahu fiik.
@ Abdullah
Saya kira justru kalimat dalam artikel di atas sudah tepat. Dari situ, pembaca pun tahu bahwa maksud penulis adalah mengoreksi sebagian anggapan bahwa:
wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertakwa dan berakhlak mulia meski dia seorang yang buruk rupa
SAya baca tulisan Anda di atas justru terkesan “muter-muter”.
Saya yakin, pembaca lain akan muter-muter juga baca komentar Anda.
Pembaca akademis yang mempelajari kohesi dan koherensi kalimat ilmiah, insya Allah akan “muter-muter” juga baca saran Anda.
Insya Allah, pembaca awam sekalipun akan menyimpulkan bahwa maksud penulis adalah:
“Bukan salah bagi wanita muslimah memilih laki-laki muslim yang tampan wajahnya…
“Bukan salah pula bagi wanita muslimah menolak pinangan laki-laki muslim yang baik agamanya, tetapi buruk wajahnya…”
Bukankah kecocokan fisik juga hal yang dipertimbangkan dalam pernikahan? Tidakkah kita ingat bagaimana Tsabit bin Qois ditolak mantan istrinya karena buruk wajahnya?
Memang, wanita yang shalihah adalah yang mengutamakan kebagusan dalam agama. Tidak terbantahkan lagi.
Hadits yang Anda bawakan juga benar.
Namun, bukankah ketika kita ingin mengamalkan hadits, hendaknya kita juga membaca dan memperhatikan hadits lain, serta amalan para shahabat?
Oleh karena itu, hadits yang Anda bawakan tidak bertentangan sama sekali dengan atsar shahabat yang menerankan bahwa “wajah yang baik” juga merupakan hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan wanita.
Artinya:
Tidak salah bukan jika wanita muslimah menolak pinangan laki-laki yang agamanya baik, tetapi buruk rupa, Kemudian ia memilih laki-laki yang ganteng dan baik agamanya?
Kalau bisa dapat tampan dan baik agamanya, mengapa harus pilih yang jelek rupa dan baik agamanya?
================
@ Ustadz Aris
Sudah mau buat draft artikel ini di blog, sudah kedahuluan antum..
baarakallah fiik…
@adi: kalau tampilan di hape memang tidak sama dengan di komputer. Tapi dari dulu kami memakai theme yang sama utk hape. Jadi tidak kami lebarkan.
@ginandjar
akhi, kayaknya anda tidak paham yg dimaksudkan oleh saudara abdullah di atas.
Cermati lagi perkataan abdullah berikut:
Pernyataan: Sebagian orang beranggapan bahwa ciri wanita shalihah adalah wanita yang tidak pilih-pilih wajah lelaki yang penting baik agamanya alias bertaqwa dan berakhlak mulia meski ia buruk rupa. Benarkah anggapan ini ?“.
Komentar Abdullah Perkataan : benarkah anggapan ini ? ; seakan-akan menyimpulkan perkataan tersebut keliru. Padahal, jika dijawab : benar, maka itu pun tidak keliru. Sebab, satu sifat seperti itu jika disandarkan kepada seorang wanita, maka secara dhahir ia seorang wanita shalihah. Walau, jika tidak memiliki sifat ini pun (yaitu, tetap mempertimbangkan faktor fisik), tidak harus berkonsekuensi bukan wanita shalihah.
Cermati dengan baik komentar abdullah di atas. Syukron.
@ Abdullah 2
Paham kok…
Cuma, mungkin dari sisi kaidah bahasa terlalu rumit. Sebagai contoh, ada salah satu kalimat yang Anda gunakan di dalamnya mengandung tiga tanda negasi sekaligus. Padahal, insya Allah Anda tahu bahwa dalam dunia akademis, banyaknya penggunakan tanda negasi dalam satu kalimat justru bisa berpotensi membuat kalimat menjadi tidak efektif dan ambigu.
Secara substansi, saya tidak menolak maksud Anda lho…
Saya cuma mengomentari bagian linguistiknya saja.
==========
Namun, kalau <b>disyarah</b> terlalu panjang, sebagaimana maksud Anda, tujuan utama penulis blog justru tidak tercapai. <i>Yaitu, mengoreksi anggapan keliru bahwa tolak ukur wanita shalihah adalah yang tidak memerhatikan ketampanan wajah.</i>
Terkadang, kalimat yang ringkas, justru lebih memahamkan pembaca dan lebih sesuai maksud penutur daripada kalimat yang panjang.
Menurut ana kenapa susah2 sih wong tiap lihat wanita adalah fisiknya(cantiknya) klo terlalu letter legh yaitu agama apa pada mau nikahi nenek ana ayo?
Assalamualaikum,
Ya sudah kalo gitu cari akhwat yang baik agamanya & akhlaknya & cantiknya & masih virgin baik fisik maupun pemikirannya. da ga?
Segala pujian bagi Allah,yg telah membimbing hambanya ke jalan yg di ridhoiNya melalui artikel ustad Aris Munandar ini.Seandainya kaum muslimin wal muslimat,tua muda membaca artikel Ustadz Aris ini,saya yakin kaum muslimin dan muslimat, Insya Allah,tersadarkan akan kelalaian,dosa dan maksiat dan segera bertobat di jalan yg diridhai-Nya.
@akh abdullah,
Adapun jika ia (si wanita) menolak lamaran – atau bahkan mengajukan khulu’ – dengan pertimbangan kekurangan fisik seorang laki-laki; menurut saya adalah perkara lain. Dan ini memang tidak ada hubungannya dengan tingkat keshalihahan sorang wanita. Ini adalah perkara hak yang dimilikinya yang diakui oleh syari’at. Bisa dipergunakan, bisa juga diletakkan.
jazakumullah khairan atas paragraf ini.