Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
فَإِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْيَدَيْنِ تَغْسِلُ إحْدَاهُمَا الْأُخْرَى . وَقَدْ لَا يَنْقَلِعُ الْوَسَخُ إلَّا بِنَوْعِ مِنْ الْخُشُونَةِ ؛ لَكِنَّ ذَلِكَ يُوجِبُ مِنْ النَّظَافَةِ وَالنُّعُومَةِ مَا نَحْمَدُ مَعَهُ ذَلِكَ التَّخْشِينَ .
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin yang lain itu bagaikan dua buah telapak tangan manusia. Telapak tangan yang satu itu membasuh telapak tangan yang lain. Terkadang kotoran itu tidaklah hilang kecuali dengan gosokan yang cukup keras akan tetapi dengan hal tersebut tangan bisa bersih dan segar. Karena itu, kita nilai gosokan yang keras tersebut sebagai suatu tindakan yang terpuji” (Majmu Fatawa 28/53-54).
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain” (HR Bukhari no 6551 dan Muslim no 2580 dari Ibnu Umar).
Di antara hak persaudaraan adalah kasih sayang sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS al Fath:29).
Tentang ayat ini, Qotadah berkata, “Allah letakkan sifat kasih sayang antara satu dengan yang lain dalam hati mereka” (Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan, al Tafsir al Mukhtashar al Shahih hal 546).
Dalam Tafsir Jalalain (Hasyiah al Shawi 4/134) termaktub, “Mereka saling mendukung dan saling mencintai bagaikan kasih sayang orang tua dengan anaknya”.
Ibnu Katsir berkata, “Inilah sifat orang-orang yang beriman. Mereka keras dan tegas dengan orang kafir namun kasih sayang dan suka berbuat baik dengan manusia-manusia pilihan (baca: orang yang beriman). Wajah mereka penuh dengan amarah dan masam di hadapan orang-orang kafir akan tetapi penuh dengan senyuman dan ceria di hadapan saudaranya sesama orang yang beriman” (Tafsir al Qur’an al Azhim 4/260, cetakan Dar as Salam Riyadh).
Dari an Nu’man bin Basyir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Gambaran untuk saling mencintai, kasih sayang dan saling menolong di antara orang-orang yang beriman adalah bagaikan satu badan. Jika ada anggota badan yang sakit maka yang lain juga turut merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur di waktu malam” (HR Bukhari no 5665 dan Muslim no 2586).
Tapi tidak sedikit orang yang salah faham dengan hakekat kasih sayang di antara orang-orang yang beriman ini. Menurut mereka karena sayang maka kita biarkan semua yang dilakukan dan dikatakan oleh seorang muslim. Jangan dikritik karena itu menyakitkan hati, demikian kata mereka. Dengan alasan kasih sayang dan persaudaraan sebagian orang menutup rapat-rapat pintu kritik. Kritik terhadap organisasi, kelompok dakwah dan dai tertentu yang langkahnya dinilai kurang tepat dianggap menghilangkan ikatan persaudaraan diantara orang-orang yang beriman.
Bukankah terkadang seorang ayah atau seorang ibu memberikan hukuman kepada anaknya karena dorongan kasih sayang? Bahkan bisa kita katakan bahwa ortu yang selalu menuruti kemauan anak tanpa terkecuali bukanlah seorang yang benar-benar sayang dengan anaknya. Tidak salah jika kita katakan bahwa orang tua tersebut malah menjerumuskan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa bukti kasih sayang itu terkadang ditunjukkan dengan tindakan yang menyakiti fisik dan hati orang yang disayangi.
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah bahwa seorang dengan mukmin yang lain itu bagaikan dua telapak tangan. Terkadang satu tangan memijat tangan yang lain. Di lain kesempatan ketika tangan kiri kotor misalnya maka tangan kanan akan menggosok kuat-kuat tangan kiri bahkan sampai-sampai tangan kiri terasa panas. Ini dilakukan agar tangan kiri jadi bersih.
Demikian pula kasih sayang seorang muslim. Terkadang dalam bentuk bantuan finansial, tenaga dan pikiran. Di lain waktu, kasih sayang diekspresikan dengan kritik pedas karena kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim. Bukan karena hasad dan benci namun karena kita kasihan saudara kita terjerumus dalam dosa yang bisa mengantarkannya ke dalam neraka dan murka Allah. Karena kewajiban orang yang mengkritik untuk meluruskan niat. Motivasi yang benar dalam kritik adalah kasih sayang. Tentu akan nampak berbeda cara mengkritik karena motivasi kasih sayang dengan cara mengkritik karena motivasi hasad dan permusuhan.
nasihat yang berfaidah ustadz…
barokallahu fikum wa ahlikum
Assalamu’alaykum ustadz.
Boleh gak mendatangi pernikahan saudara sepupu yg beragama nasaroh?
Jazakalloh khoir
Untuk Muhammad
Jika dengan tujuan ta’lif qulub (mengambil hatinya) agar tertarik dengan Islam maka boleh.
Jika sekedar datang maka tidak boleh.
assalamu ‘alaikum,
permasalahanya siapa yg bisa menentukan pihak mana yang boleh menggosok dan pihak mana yg digosok…kalau dalam QS 103:3 yg terjadi diantara orang iman itu “tawashou bil HAQ wa bis SHOBR” dan dlm QS 90:17 “bil marhamah”…. dan apakah ada perumpamaan dari Nabi yg mengatakan bahwa orang mukmin satu dg yg lain itu seperti “Orang tua dan anak”…
wassalamu ‘alaikum
ijin share ustadz…
jazakumullahu khoiro
Yg ta’liful qulub itu contoh konkretnya gmn ustadz???? Apa dalil yg tidak mbolehkan jika sekdar datang k pernikahan orang non muslim? Saya pernah dengar ada ustadz yg mnyatakan boleh datang k pernikahan orang non muslim asal bukan di tempat ibadah mereka seperti gereja. Apa betul fatwa itu ustadz? Jazakallahu khoiron
Untuk Abu Iyas
Silahkan
Untuk Rachmad
1. Baca QS al Mujadilah:22
2. Contoh konkretnya, kita datang di acara tersebut dengan tujuan untuk menunjukkan keindahan akhlak seorang muslim atau menjadikan hal ini sebagai batu loncatan agar bisa mendakwahkan dan mendiskusikan Islam dengannya. Syarat yang lain adalah jangan datang di gereja atau pada saat acara ritual keagamaannya.
Untuk Ahmad
Wa’alaikumussalam
1. Yang menggosok adalah yang melihat saudaranya melakukan kesalahan.
2. Itu adalah perkataan Mujahid, seorang tabiin ketika menjelaskan QS al Maidah:54.
ustadz saya pernah denger ada orang yang melarang datang ke pernikahan orang nasrani, dengan alasan pernikahan mereka adalah perzinahan karena tidak sesuai dengan syari’at islam. Apa betul alasan itu ustadz?
Untuk Jarwo
Yang jelas, jika ada sepasang suami istri yang beragama nasrani masuk Islam secara bersamaan maka mereka berdua tidak perlu mengulang akad nikah. Sehingga akad nikah mereka dulu…?
Assalaamu’alaykum. yaa ustadzunaa, ana ingin bertanya: berkaitan dengan ayat QS al Fath:29. dan tafsir Al-Imam Abul Fida’ “Inilah sifat orang-orang yang beriman. Mereka keras dan tegas dengan orang kafir namun kasih sayang dan suka berbuat baik dengan manusia-manusia pilihan (baca: orang yang beriman). Wajah mereka penuh dengan amarah dan masam di hadapan orang-orang kafir akan tetapi penuh dengan senyuman dan ceria di hadapan saudaranya sesama orang yang beriman”. Kapankah saat yang tepat bagi seorang muslim untuk bermuka masam dengan wajah penuh amarah di depan orang kafir? qadarulloh, beberapa teman ana di kampus adalah kafir, bagaimana menyikapi mereka? apakah ana harus memasang muka masam? lalu kalau demi alasan ta’liful qulub, maka kapan ana bisa mengamalkan ayat ini?. ana belum paham. Jazaakalloh khoiron.
Untuk Ibnu Sholih
Wa’alaikumussalam
Ketika situasi menuntut untuk bermuka masam misal ketika perang, dia menghina Islam dst.
ustadz,,saya kan sedang penelitian lantas dan meminjam alat di kampus saya,,namun aturannya bila terjadi kerusakan dalam peminjaman maka si peminjam harus bertanggung jawab,,lantas bila ketika alat yg saya pinjam itu dirusakkan oleh org lain namun saya tidak mengetahui siapa yg merusaknya,,apakah saya berdosa jika tidak bertanggung jawab karena yg merusak bukan saya?
Untuk Manusia
Karena barang tersebut dalam tanggung jawab anda maka anda telah ceroboh tidak menjaga barang tersebut dari pengrusakan orang yang merusak sehingga anda wajib bertanggung jawab.