Berikut ini adalah kutipan fatwa yang diberikan oleh Syeikh ‘Utsman Khumais, salah seorang ulama ahli sunnah yang berasal dari Kuwait sebagaimana yang terdapat dalam situs resmi beliau.
عنوان الفتوى: اسئلة متنوعة
بيانات الفتوى
التاريخ 02-12-26
عنوان السؤال اسئلة متنوعة
السؤال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
اما بعد فهذه مجموعة من الأسئلة أرجو الأجابة عليها:
1-الاسلام دين يسر كيف يكون ذلك هل بالتساهل في الدين؟هناك مجموعة من الناس من يقول ذلك فبماذا ارد عليهم؟
2-اذا ارادت المراة اخذ العلم في مكان يحصل فيه الاختلاط بين الرجال والنساء فهل يجوز لها ذلك؟اذا كانت الاجابة لا فهل يجوز للرجل ذلك ؟ (اذا كان العلم المراد دراسته هو الطب و الاختلاط امر لابد منه في هذه الكلية) مع ذكر الادلة
3-رجل شعر لحيته يصل الى اسفل عينيه مما يجعله بشع المنظر فهل يجوز له نتفه(تحديد اللحية)؟
سائلين المولى ان ينفع الاسلام بكم.
Judul fatwa: Pertanyaan yang Beraneka Ragam
Data tentang fatwa
Fatwa ini dikeluarkan pada tanggal 26 Desember 2002
Teks pertanyaan:
Assalamu’alaikum wa rahmatullah wa barokatuh
Berikut ini adalah sejumlah pertanyaan yang aku berharap agar mendapatkan jawaban.
1. Islam adalah agama yang mudah. Bagaimanakah realisasinya, apakah dengan bermudah-mudah dalam masalah agama? Ada sejumlah orang yang beranggapan demikian. Bagaimanakah cara aku membantah mereka?
2. Jika seorang perempuan ingin mengambil ilmu di tempat yang di sana terjadi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan. Apakah hal ini diperbolehkan untuk perempuan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, bagaimana dengan laki-laki? Jika ilmu yang dipelajari adalah ilmu kedokteran dan ikhtilat adalah sebuah keharusan. Tolong sebutkan dalil dalam masalah ini.
3. Ada seorang laki-laki yang bulu lihyahnya (jenggotnya) sampai di bawah matanya sehingga penampilannya menjadi jelek. Apakah boleh baginya memangkas bulu tersebut?
Semoga Allah menjadikanmu sebagai orang yang bermanfaat bagi Islam.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على خاتم المرسلين صلى الله وسلم عليه وآله وصحبه أجمعين
أما بعد
1- يسر من حيث التكليف فالله سبحانه وتعالى لا يكلفنا ما لا نستطيع ، وأن المشقة تجلب التيسير.
2- يجوز إذا كان هناك ستر واحتشام وأدب ، والله أعلم .
3- نعم يجوز فالعظم الذي تحت العين – ويقال له الوجنة – ليس من العين فيجوز له أخذ هذا الشعر ، وإنما اللحية ما نبت على اللحى والذقن ، واللحى هو العظم الذي يكون على الفك.
هذا ، والله أعلم
Jawaban fatwa
Bismillahir Rahmanir Rahim
Segala puji itu milik Allah, tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada penutup para rasul, keluarga dan seluruh shahabatnya.
1. Kemudahan Islam adalah dari sisi pembebanan hukum. Allah itu tidak akan membebani kita suatu aturan yang kita tidak mampu memikulnya. Sesungguhnya kesulitan itu mendatangkan kemudahan.
2. Belajar di tempat tersebut diperbolehkan asalkan perempuan tersebut mengenakan pakaian muslimah yang benar, menjaga rasa malu dan memperhatikan adab pergaulan antar lawan jenis.
3. Boleh merapikan bulu tersebut. Tulang yang terletak di bawah pipi atau tulang pipi itu bukan bagian dari mata sehingga boleh memangkasnya. Jenggot adalah rambut yang tumbuh di dagu dan tulang rahang. Wallahu a’lam.
[Sumber: http://almanhaj.net/fatwaa/fatwaa_detail.php?fatwaa_id=138]
Catatan:
1. Fatwa ulama itu tidak bersifat mengikat, beda dengan putusan seorang hakim di sebuah pengadilan. Yang mengikat dalam sebuah fatwa adalah dalil yang dibawakan. Setiap muslim terikat untuk taat dengan Al Qur’an dan sunnah.
2. Seorang itu tidak boleh menerima suatu fatwa sampai dia merasa mantap dengan muatan kebenaran yang ada dalam fatwa tersebut. Selama belum mantap, seorang boleh untuk tidak menerima sebuah fatwa.
3. Boleh jadi ada pendapat lain dalam masalah kuliah di tempat ikhtilat namun demikianlah pendapat yang beliau pilih. Moga kita bisa bersikap proposional dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Uhibbukum fillah..
Ustadz..
Nama Syaikh ‘Utsman Khumais msh asing ditelinga ana. Beliau muridnya siapa ya,Ustadz? muridnya Ibn Baaz atau murid al-Albani kah?
Syukron.
tmn2 kuliah saya yg wanita, pakaiannya…. duh ckckckck. kadang saya di kampus kesannya suka ‘sendiri’ dan gak bergaul, meskipun saya masih bermuamalah dgn mereka yg laki2 dan kalo ada butuh ngobrol dgn yg perempuan, tp lbh banyak mnyendiri. gmn ustadz, sudah tepatkan sikap saya ?
Assalamu’alaikum…
Ustad Aris, ada yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan muslimah yang menuntut ilmu. Apakah di Saudi ada pondok pesantren khusus wanita yang didalamnya santri wanita berbulan-bulan tinggal seperti di Indonesia? Karena ana merasakan “kemusykilan” melihat fenomena pondok pesantren putri di Indonesia, yakni bukankah mereka selama tinggal di pondok berbulan-bulan adalah tanpa mahrom? Mahrom hanya mengantar sampai ke pondok, tidak menemani di pondok. Yang ana baca dari sejarah ulama wanita, mereka belajar dengan mahrom mereka seperti ayah dan suaminya, dan bukan pergi berbulan-bulan ke tempat khusus untuk belajar kesana (afwan kalau keliru), seperti putri Sa’id bin Mussayib dan putri Alauddin as-Samarqandi -pengarang kitab “Tuhfatul Ulama” yang terkenal dan istri dari Al-Kasani pengarang kitab “Bada’i as-Sana’i” yang juga terkenal-. Dulu memang pernah ditanyakan kepada Syaikh Masyhur Salman tetang hukum memasukkan anak perempuan ke pondok, tapi jawabannyanya masih “menyisakan pertanyaan”, beliau menjawab agar tidak terburu-buru memasukkan anak ke pondok perempuan karena ada “pondok” yang lebih baik yakni ayah atau suaminya. Yang ana tangkap dari perkataan beliau -hafidzahullah- adalah beliau kurang “sreg” dengan pondok wanita (afwan kalau salah, ini hanya analisa ana pribadi jadi mungkin subyektif).
Barakallohu fiik ya ustadzkhuna…
Untuk Budi
Maaf, tentang beliau murid siapa saya kurang tahu. Yang saya tahu beliau banyak menulis bantahan untuk syiah.
Untuk Abang
Insya Allah, sikap yang cukup tepat. Namun saran saya, jangan banyak menyendiri namun berinteraksilah dengan sesama laki-laki atau melakukan hal yang manfaat, baca buku di perpus atau yang lainnya.
kalo dgn tmn2 yg laki2 emang saya akrab2 aja. tapi kadang mereka yg laki2 suka nimbrung main ke anak2 perempuan, lah, saya gak enak juga ikut nimbrung, akhirnya ngeluyur ke kantin sendiri ato ke perpus. Bukan dalam artian saya orangnya suka nyendiri he he he
Assalamu’alaykum ustadz…,Ana akhwat SULBAR yang sering bertanya kpd ustadz,pertanyaan terakhir yang ana ajukan via HP adalah tentang kuliah.Tapi afwan ustadz, Apakah Syaikh Utsman termasuk ulama semisal syaikh Bin bazz,dan yang lainnya?Yang kepadanya kita bisa mengambil fatwa.Karena ana khawatir jika ana tidak memiliki hujjah untuk itu.Tapi ana juga sebenarnya mendapatkan jawaban yang sama dari ustadz Firdaus di Jakarta, bahwa ana boleh saja kuliah ditempat suami ana ngajar, selama kewajiban di rumah tidak terbengkalai. Dan ana berfikir seprti ini, misalnya di kedokteran,banyak akhwat yang terkadang harus terpaksa memeriksakan kesehatannya pada dokter laki-laki, apa tidak sebaiknya perempuan juga mengilmui tentang kedokteran?tentunya dg meminimalisir hal-hal yang dilarang, seperti ikhtilat.Jika kita berbicara ikhtilat, ana masih kadang bingung, bagaimana jika saya ingin ke tempat-tempat wisata bersama suami ana, atau berkumpul dengan keluarga, sepupu2,ato ipar2 ana,sementara tidak semua orang mengerti tentang hal ini,ato ke warung,ke tempat-tempat yang disana ada ikhtilat, bagaimana ana harus menyikapinya?Afwan,ana berkata seperti ini semata-mata karena kedangkalan ilmu ana.Tolong diberikan jawabannya.Semoga hati tenteram menjalani semua aktivitas,di atas Al-Qur’an dan Sunnah.Barokallohufik wa jazakallohukhairoljaza’.Oh ya ustadz,ana sekarang dijogja tinggalnya dekat Mirota Kampus,Blimbing sari.Apa dekat situ ada tempat ta’lim?Atau di kampus UGM,ada gak jadwal ta’limnya?Wassalamu ‘alaykum warohmatullah…
Untuk Wawan
Setahu saya, di Saudi tidak ada semacam itu.
Demikianlah pendapat Syeikh Masyhur dalam masalah ini.
Untuk Ummu Zahroh
a. Jika kita yakin ada sisi-sisi kebenaran pada fatwa beliau maka kita boleh beramal dengan fatwa beliau.
b. Tolong baca tentang ikhtilat di dunia kerja di http://abiubaidah.com/menyoal-gaji-pegawai-negeri-pns.html/#more-89
c. Tentang jawab kajian seputar UGM bisa dilihat di https://ustadzaris.com/jadwal-talim-ustadz, muslim.or.id dan muslimah.or.id
Assalamu’alaykum wa rohmatullohi wa barokatuhu…
Ustadz, saya mau tanya, ga ada hubungannya dengan tulisan di atas.
Dulu waktu kelas 3 SMA saya pernah diisi oleh “orang pinter”, disuruh menelan 2 buah gotri (ball bearing). Kayanya itu gotri motor. Mungkin maksudnya untuk jaga diri. Pada awalnya saya menolak, tapi orang tua saya terutama ibu memaksa sekali. Akhirnya saya mau karena saya bodoh sekali waktu itu, gak ngerti agama. Kedua gotri itu sendiri sampai sekarang ga pernah keluar, sepertinya begitu.
Sekarang saya merasa menyesal sekali. Pertanyaannya, apa boleh saya pergi ke “orang pinter” itu atau “orang pinter” lain untuk membuang isi tersebut atau saya biarkan saja???
Jazakallohu khoiron…
Untuk Kurniawan
Wa’alikumussalam warohmatullah wabarokatuh
Tidak boleh menghilangkan sihir dengan sihir.
Banyak-banyaklah mengkaji tauhid, rutinlah membaca dzikir dan petang serta rajinlah membaca al Qur’an.
teman2, silakan download rekaman kajian syaikh Ali dan Syaikh Masyhur di JIC 2009 di
http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/11/03/download-audio-tabligh-akbar-jic-2009-bersama-ulama-besar-timur-tengah-syaikh-ali-hasan-syaikh-masyhur-new/
ikhtilath merupakan perkara yg dilarang , baik di kampus dsb, maka sebaiknya jauhi perkara tersebut, karena akan menimbulkan fitnah. barakallohu fiikum. afwan ustadz mau tanya bagaimana dengan fatwa kibarul ulama tentang masalah ini?
#Bapak pramuka jogja
Hendaknya seorang itu konsekuen dengan pendapatnya sendiri.
Ikhtilath ada di pasar, bis kota, bis umum, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, supermarket bahkan di rumah kita sendiri terutama saat hari raya.
as salamu ‘alaika ya akhuna fillah
al ustadz aris -semoga Allah mengkokohkannya di atas jalan petunjuk dan meluruskan jalannya di atas jaln kebenaran-
sesuatu hal yang terpuji ketika seseorang berusaha untuk memahamkan manusia dalam perkara agamanya, termasuk di dalamnya membawakan fatwa para ulama terutama di dalam perkara nawazil.
namun -ya ustadz- bukan suatu yang bijak ketika antum menampilkan fatwa mengenai ikhtilath yang terdapat di kampus dewasa ini, justru tidak menampilkan fatwa dari ulama kibar seperti al imam muhammad bin abrohim alu syaikh, al imam inbu baz, al imam ibnu ‘utsaimin dan al imam al albani -rohimahumullah-. Suatu yang dimaklumi bahwa pada perkara yang berhubungan dengan umat -apalagi dalam perkara nawazil-, yang jadi rujukan utama tentunya para ulama yang rosikhuna fil ilm’ sajalah yang berhak dan lebih utama untuk didengar fatwa dan arahannya. Sedangkan fatwa sendiri tidaklah diterima kecuali ia mencocoki dalil dari al kitab wa sunnah.
maka seorang awwam seperti saya ini yang -alhamdulillah- dimudahkan untuk mengenal manhaj salaf, mengerti bahwa fatwa yang dibawakan di atas bertentang dengan dalil syariat yang memperingatkan tentang masalah ikhtilat dan tentunya hal ini tidaklah samar bagi seorang yang ia berdakwah kepada manusia seperti ustadz sendiri.
Kemudian sesuatu yang sungguh mengherankan, ketika ada seorang yang mengingatkan tentang masalah bahaya ikhtilat ini -walau tidak menyertakan dalil atau fatwa para ulama- dan mengingatkan pentingnya rujuk kepada kibarul ‘ulama di dalam setiap perkara, berkatalah orang yang berkata “Hendaknya seorang itu konsekuen dengan pendapatnya sendiri. Ikhtilath ada di pasar, bis kota, bis umum, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, supermarket bahkan di rumah kita sendiri terutama saat hari raya.”
ya ustadz…, memang benar di zaman ini sungguh sulit untuk menghindari hal ini di tempat – tempat umum, namun tidaklah menjadikan hal tersebut membuat kita putus asa untuk menghindari perkara ikhtilath tersebut. bukanlah suatu hal yang sulit bagi Allah untuk menjadikan seluruh manusia di muka bumi ini beriman dalam waktu sekejap dan bukanlah hal yang memudhorotkan Allah dengan adanya maksiat para hambaNya, namun justru yang dituntut adalah seberapa besar ketaqwaan dan kejujuran seorang hamba di dalam mengimani dan mengamalkan apa yang datang dari al kitab dan as sunnah.
“Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (ath tholaq :4)
“Dan orang-orang yang bersungguh – sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”(al ankabut:69)
Adapun perkataan “Boleh jadi ada pendapat lain dalam masalah kuliah di tempat ikhtilat namun demikianlah pendapat yang beliau pilih. Moga kita bisa bersikap proposional dalam menyikapi perbedaan pendapat”, maka bukanlah dalam permasalahan seperti ini kita berkata “seharusnya kita berproposional dalam menyikapi perbedaan pendapat”. hal yang bisa kita berbicara seperti ini yaitu pada masalah yang memang terbuka pintu ijtihad di dalamnya, adapun perkara agama yang muhkam dan jelas urusannya -seperti masalah tentang ikhtilath ini-, maka dituntut adanya penjelasan atau pengingkaran yang bersifat mengingatkan kepada orang yang menyalahi hal yang telah jelas tersebut bahwa apa yang ia pahami merupakan suatu kesalahan.
maka sebagai contoh dari sekian fatwa kibarul ulama yang memperingatkan tentang hal ini, maka kami bawakan fatwa al imam muhammad bin ibrohim alu syaikh -beliau adalah mufti umum kerajaan su’udiyyah pada zamannya, guru dari al imam ibnu baz dan selainnya dari para kibarul ulama di zaman ini- pada Fatawa dan Rasa`ilnya (10/35-44), beliau -rohimahullah- menjelaskan bahwa ikhtilath antara laki-laki dengan perempuan ada tiga keadaan:
“Pertama: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki dari kalangan mahram mereka, maka ini jelas dibolehkan.
Kedua: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) untuk tujuan yang rusak, maka hal ini jelas keharamannya.
Ketiga: Ikhtilath para wanita dengan laki-laki ajnabi (non mahram) di tempat pengajaran ilmu, di toko/warung, kantor, rumah sakit, perayaan-perayaan dan semisalnya. Ikhtilath yang seperti ini terkadang disangka tidak akan mengantarkan kepada fitnah di antara lawan jenis, padahal hakikatnya justru sebaliknya. Sehingga bahaya ikhtilath semacam ini perlu diterangkan dengan membawakan dalil-dalil pelarangannya.”
Dalil secara global, kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan laki-laki dalam keadaan punya kecenderungan yang kuat terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita punya kecenderungan kepada lelaki. Bila terjadi ikhtilath tentunya akan menimbulkan dampak yang negatif dan mengantarkan kepada kejelekan. Karena, jiwa cenderung mengajak kepada kejelekan dan hawa nafsu itu dapat membutakan dan membuat tuli. Sementara setan mengajak kepada perbuatan keji dan mungkar.
Dalil secara rinci, kita tahu bahwa wanita merupakan tempat laki-laki menunaikan hasratnya. Penetap syariat pun menutup pintu-pintu yang mengantarkan keterkaitan dan keterpautan sepasang insan yang berlawanan jenis di luar jalan pernikahan yang syar’i. Hal ini tampak dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang akan kita bawakan di bawah ini.
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya kepadanya dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata, ‘Marilah ke sini.’ Yusuf berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.’ Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung. (Yusuf: 23)
Ketika terjadi ikhtilath antara Nabi Yusuf ‘alaihissalam dengan istri Al-Aziz, pembesar Mesir di kala itu, tampaklah dari si wanita apa yang tadinya disembunyikannya. Ia meminta kepada Yusuf untuk menggaulinya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi Yusuf dengan rahmat-Nya sehingga dia terjaga dari perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Rabbnya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Yusuf: 34)
Demikian pula bila lelaki lain ikhtilath dengan wanita ajnabiyah. Masing-masingnya tentunya menginginkan apa yang dicondongi oleh hawa nafsunya. Berikutnya, dicurahkanlah segala upaya untuk mencapainya.
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan lelaki yang beriman untuk menundukkan pandangan dari melihat wanita yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya seperti termaktub dalam firman-Nya:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin dan kaum mukminat untuk menundukkan pandangan mereka. Kita tahu dari kaidah yang ada, perintah terhadap sesuatu menunjukkan wajibnya sesuatu tersebut. Berarti menundukkan pandangan dari melihat yang haram itu hukumnya wajib. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa hal itu lebih bersih dan lebih suci bagi mereka. Penetap syariat tidak membolehkan lelaki memandang wanita yang bukan mahramnya terkecuali pandangan yang tidak disengaja. Itu pun, pandangan tanpa sengaja itu, tidak boleh disusul dengan pandangan berikutnya. Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anahu berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ، فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka beliau memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5609)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna الْفُجَاءَةِ نَظْرِ adalah pandangan seorang lelaki kepada wanita ajnabiyah tanpa sengaja. Maka tidak ada dosa baginya pada awal pandangan tersebut, dan wajib baginya memalingkan pandangannya pada saat itu. Jika segera dipalingkannya, maka tidak ada dosa baginya. Namun bila ia terus memandangi si wanita, ia berdosa berdasarkan hadits ini. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Jarir untuk memalingkan pandangannya. Juga bersamaan dengan adanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah (Ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata…’.” (An-Nur: 30) [Al-Minhaj, 14/364]
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menundukkan pandangan dari lawan jenis, karena melihat wanita yang haram untuk dilihat, adalah zina. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَة، فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُُ، وَالنَّفُسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina2, dia akan mendapatkannya, tidak bisa terhindarkan. Maka zinanya mata dengan memandang (yang haram), dan zinanya lisan dengan berbicara. Sementara jiwa itu berangan-angan dan berkeinginan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657)
Dalam lafadz lain disebutkan:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَى، مُدْرِكُ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperoleh hal itu, tidak bisa terhindarkan. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
Memandang wanita yang haram teranggap zina, karena seorang lelaki merasakan kenikmatan tatkala melihat keindahan si wanita. Hal ini akan menumbuhkan sebuah “rasa” di hati si lelaki, sehingga hatinya pun terpaut dan pada akhirnya mendorongnya untuk melakukan perbuatan keji dengan si wanita. Tentunya kita maklumi adanya saling pandang antara lawan jenis bisa terjadi karena adanya ikhtilath antara lawan jenis. Ikhtilath pun dilarang karena akan berujung kepada kejelekan.
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada.” (Ghafir: 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anahuma berkata, “Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum. Lalu lewatlah seorang wanita. Ia pun mencuri pandang kepada si wanita.” Ibnu Abbas berkata pula, “Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita. Namun bila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya. Bila ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi. Bila teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya. Ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan mata yang mencuri pandang kepada wanita yang tidak halal untuk dipandang sebagai mata yang khianat. Lalu bagaimana lagi dengan ikhtilath? Bila memandang saja dicap berkhianat sebagai suatu cap yang jelek, apalagi berbaur dan saling bersentuhan dengan wanita ajnabiyah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci lagi menjaga kehormatan diri untuk tetap tinggal di rumah mereka. Hukum ini berlaku umum untuk semua wanita yang beriman, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan ayat ini hanya untuk para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka diperintah tetap tinggal di dalam rumah, kecuali bila ada kebutuhan darurat untuk keluar rumah. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa ikhtilath dengan lawan jenis sebagai perkara yang boleh dilakukan, sementara wanita diperintah untuk tidak keluar dari rumahnya?
Adapun dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak dibolehkannya ikhtilath, di antaranya:
1. Ummu Humaid radhiyallahu ‘anaha istri Abu Humaid As-Sa’idi Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ، وَصَلاَتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسجدِ قَومِِكِ، وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِي
“Sungguh aku tahu bahwa engkau senang shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi shalatmu di kamar khususmu lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih utama bagimu daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad 6/371. Al-Haitsami berkata, “Rijal hadits ini rijal shahih kecuali Abdullah bin Suwaid, ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban.” Demikian pula yang dikatakan Al-Hafizh dalam At-Ta’jil. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad, 18/424, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan, “Hadits seperti ini memberi pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata, ‘Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah.’ Maka aku katakan, ‘Sesungguhnya shalatmu di rumahmu lebih utama dan lebih baik.’ Hal itu karena seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath dengan lelaki yang bukan mahramnya, sehingga akan menjauhkannya dari fitnah.” (Majmu’ah Durus Fatawa, 2/274)
Beliau rahimahullahu juga mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara beliau berada di Madinah. Dan kita tahu shalat di Masjid Nabawi memiliki keutamaan dan nilai lebih. Akan tetapi karena shalat seorang wanita di rumahnya lebih tertutup baginya dan lebih jauh dari fitnah (godaan) maka hal itu lebih utama dan lebih baik.” (Al-Fatawa Al-Makkiyyah, hal. 26-27, sebagaimana dinukil dalam Al-Qaulul Mubin fi Ma’rifati ma Yuhammimul Mushallin, hal. 570)
2. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf (jamaah) lelaki adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf (jamaah) lelaki adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (HR. Muslim no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata, “Adapun shaf-shaf lelaki maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal, dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Beda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum lelaki. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jamaah lelaki, tidak bersama dengan lelaki, maka shaf mereka sama dengan lelaki. Yakni, yang terbaik adalah shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi lelaki dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, serta paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjamaah bersama lelaki memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan lelaki dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari berhubungan dengan kaum lelaki dan memikirkan mereka ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari yang telah disebutkan.” (Syarh Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan, “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf. Dan zahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum lelaki atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum lelaki, jauh dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama lelaki. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf lelaki, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Apabila penetap syariat menjaga jangan sampai campur baur dan keterpautan antara lelaki dan wanita terjadi pada tempat ibadah, padahal dalam shalat jelas terpisah antara shaf lelaki dengan shaf wanita dan umumnya mereka yang datang memang ingin menghadap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jauh dari keinginan untuk berbuat jelek, maka tentunya di tempat lain yang terjadi ikhtilath lebih utama lagi pelarangannya.
3. Zainab radhiyallahu ‘anaha istri Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anahu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami:
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيْبًا
“Apabila salah seorang dari kalian menghadiri shalat berjamaah di masjid maka jangan ia menyentuh (memakai) minyak wangi.” (HR. Muslim no. 996)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anahu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari mendatangi masjid- masjid Allah. Akan tetapi hendaklah mereka keluar rumah dalam keadaan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Abu Dawud no. 565. Kata Al-Imam Al Albani rahimahullahu, “Hadits ini hasan shahih.”)
Ibnu Daqiqil Id rahimahullahu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita keluar menuju masjid bila mereka memakai wangi-wangian atau dupa-dupaan, karena akan membuat fitnah bagi lelaki dengan aroma semerbak mereka, sehingga menggerakkan hati dan syahwat lelaki. Tentunya pelarangan memakai wangi-wangian bagi wanita selain keluar menuju ke masjid lebih utama lagi (keluar ke pasar, misalnya, pent.).”
Beliau mengatakan pula, “Termasuk dalam makna wangi-wangian adalah menampakkan perhiasan, pakaian yang bagus, suara gelang kaki, dan perhiasan.” (Al-Ikmal, 2/355)
Keluar rumah memakai wangi-wangian saja dilarang bagi wanita, apalagi bercampur baur dengan lelaki ajnabi.
4. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anahuma menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً بَعْدِيْ هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah (ujian) sepeninggalku yang lebih berbahaya bagi lelaki daripada fitnah wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5096 dan Muslim no. 6880)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas menyatakan wanita sebagai fitnah (ujian/ cobaan) bagi lelaki. Lalu apa persangkaan kita bila yang menjadi fitnah dan yang terfitnah berkumpul pada satu tempat?
5. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَنَاظِرٌ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia ini manis lagi hijau, dan sungguh Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di atasnya, lalu Dia akan melihat bagaimana kalian berbuat. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena awal fitnah yang menimpa Bani Israil dari wanitanya.” (HR. Muslim no. 6883)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan lelaki untuk berhati-hati dari wanita. Lalu bagaimana perintah beliau ini dapat terealisir bila ikhtilath dianggap boleh? Bila demikian keadaannya maka jelaslah keharaman ikhtilath.
6. Abu Usaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anahu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita ketika beliau keluar dari masjid dan mendapati para lelaki bercampur baur dengan mereka di jalan:
اسْتَأْخِرْنَ، فَإِنَّهُ لَيْسَ لَكُنَّ أَنْ تَحْقُقْنَ الطَّرْيْقَ، عَلَيْكُنَّ بِحَافَاتِ الطَّرِيْقِ.- فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَلْصُقُ بِالْجِدَارِ حَتَّى أَنَّ ثَوْبَهَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِدَارِ مِنْ لُصُوقِهَا بِهِ
“Berjalanlah kalian di belakang (jangan mendahului laki-laki). Karena sungguh tidak ada bagi kalian hak untuk lewat di tengah-tengah jalan, tapi bagi kalian hanyalah (boleh lewat/berjalan di) tepi-tepi jalan.”
Maka ada wanita yang berjalan menempel/merapat ke dinding/tembok sampai-sampai pakaiannya melekat dengan tembok karena rapatnya dengan tembok tersebut. (HR. Abu Dawud no. 5272, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 856 dan Al-Misykat no. 4727)
Dalam hadits di atas jelas sekali larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ikhtilath di jalanan karena akan mengantarkan kepada fitnah. Pelarangan ini juga berlaku di tempat lain.
7. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anaha menceritakan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا سَلَّمَ قَامَ النِّسَاءُ حِيْنَ يَقْضِي تَسْلِيْمَهُ، وَيَمْكُثُ هُوَ فِي مَقَامِهِ يَسِيْرًا قَبْلَ أَنْ يَقُوْمَ. قَالَ: نَرَى – وَاللهُ أَعْلَمُ- أَنَّ ذَلِكَ كَانَ لِكَيْ يَنْصَرِفَ النِّسَاءُ قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الرِّجاَلِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah mengucapkan salam sebagai akhir shalatnya, maka para wanita yang ikut hadir dalam shalat berjamaah bersama beliau segera bangkit meninggalkan masjid pulang kembali ke rumah mereka. Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap diam sebentar di tempatnya sebelum beliau bangkit.”
Perawi hadits ini berkata, “Kami memandang –wallahu a’lam– Rasulullah berbuat demikian agar para wanita telah pulang semuanya meninggalkan masjid sebelum ada seorang lelakipun yang mendapati/bertemu dengan mereka” (HR. Al-Bukhari no. 870)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghindarkan terjadinya ikhtilath antara lelaki dan wanita sepulangnya mereka dari menunaikan ibadah shalat di masjid. Ini jelas menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
8. Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anahu berkata dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَـحِلُّ لَهُ
“Ditusuk kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya3.” (HR. Ar-Ruyani dalam Musnadnya 2/227. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits ini sanadnya jayyid.” Lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki bersentuhan dengan wanita yang bukan mahramnya karena bersentuhan dengan lawan jenis memberi dampak yang jelek. Dan saling sentuh ini bisa terjadi karena adanya ikhtilath, maka pantas sekali bila ikhtilath itu dilarang karena akibat buruk yang ditimbulkannya.
Demikian beberapa dalil yang bisa dibawakan untuk menunjukkan terlarangnya ikhtilath.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Untuk Cahyo
Jazakumullahu khoiron atas kritik dan bantahannya.
Untuk cahyo
Benar, ikhtilath dilarang. Saya ingin tahu, apakah antum sekarang hidup di dunia yang SAMA SEKALI tidak ada ikhtilathnya? Jika ya, saya bersedia untuk mengikuti antum.
@Fathimah
Maksudnya gimana, mau mengikuti akh cahyo gimana ?
InsyaAlloh semua kita tahu ikhtilat itu dilarang dalam syariat Islam, dan dalil-dalil yang dibawakan akh Cahyo juga sangat jelas sekali akan haramnya ikhtilat
Terus apa mau mengambil pendapat atau fatwa ulama’ lain yang berseberangan dengan yang dibawakan akh Cahyo ??
Apakah jika ada pendapat ulama yang kira-kira agak “aneh” terus kita bawakan dan kita sampaikan melalui website seperti ini ?
Apakah setiap kita mempunyai ilmu untuk merojihkan setiap pendapat ulama’ ?
Maka, saran saya untuk kita semua janganlah kita menampilkan setiap pendapat ulama’ dalam suatu permasalahan tertentu yang mana pendapat tersebut marjuh (kurang kuat), karena orang yang melihat endapat tersebut belum tentu bisa mengambil pendapat yang kuat ?
Kemudian apa pertimbangan mashlahat dan madharatnya dalam menyampaikan pendapat yang demikian ?
Apakah maksud kita bisa bersikap proporsianal dalam menghadapi khilaf diantara para ulama’ ?
Semoga Alloh berkahi ilmu ustadz
Syukron
Untuk fathimah
Kok komentarnya terkesan sinis sih?
akh Cahyo hanya menyampaikan hukum ikhtilath dengan dalil & penjelasan ulama, alhamdulillah.
Lalu apa salahnya??
#Cahyo, Aji, Aianin
Ilmu itu bukan hanya sekedar informasi, namun mesti diamalkan bukan?
Min fadhlikum, mohon nasihat antumul fudhala terhadap teman-teman kita yang sekarang masih kuliah di universitas?
Ustadz kok jenggot di bawah matanya. Bagaimana kalimat itu adapun jenggot di bawah jakun.
untuk ridho
Itu salah faham penanya yang telah diluruskan oleh Syaikh Utsman.
@Ikhwah semua dan Aswad -semoga Alloh menjaga antum-1. Ya benar ilmu itu harus diamalkan oleh karena ada diantara para ulama ada yg mengarang اقتضاء العلم العمل atau Syaikh Abdurrazaq Al Badr punya risalah ringkas yang sangat bermanfaat ثمرة العلم العمل dan insyaAlloh semua dari kita tahu tentang hal tersebut (bahwa ilmu bukan sekedar informasi tapi juga diamalkan).2. Apakah maksud antum “Ilmu itu bukan hanya sekedar informasi, namun mesti diamalkan bukan? Apakah akh Cahyo, saya dan ikhwah yang “tidak sependapat” dengan fatwa Syaikh Utsman Khumais yang dibawakan ustadz Aris juga harus mengamalkan ilmunya dulu sebelum menukilkan fatwa dari ulama’ yang tidak selaras dengan fatwa Syaikh Utsman Khumais ? atau gimana ?3. Antum katakan “Min fadhlikum, mohon nasihat antumul fudhala terhadap teman-teman kita yang sekarang masih kuliah di universitas?”Maka insyaAlloh dengan dinukilkannya fatwa ulama’ oleh Akh Cahyo itu merupakan nasehat untuk teman-teman yang kuliah di Universitas, apa itu bukan nasehat ??Demikian juga dapat kita lihat fatwa ulama’ yang lain tentang hukum ikhtilat di http://www.saaid.net/female/f8.htm atau fatwa Syaikh Jibrin di http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=11754&parent=31564. Sebenarnya yang sekarang masih jadi pertanyaan saya, untuk ustadz Aris dan Aswad حفظكما اللهApakah setiap ada fatwa ulama’ yang seperti ini harus dipublikasikan dan disebarkan untuk kita semua (bisa dibaca semua orang baik oleh penuntut ilmu maupunorang awam) ??Apakah ada aturan dan kaedah dalam menyebarkan fatwa ulama’ ?Bukankah tidak setiap orang yang mengambil manfaat dari situs ini mampu untuk merojihkan suatu pendapat ulama’ dan memahami catatan yang diberikan Ustadz Aris ??Bahkan boleh jadi menukilkan fatwa yang demikian bisa membuka pintu untuk bermudah-mudahan dalam masalah ikhtilat, Wallohua’lam
Assalamu’alaikum,sekedar sharing sbg eks mahasiswi DO.Fitnah lawan jenis tidak akan bisa dihindari meski sudah berjilbab lebar,kerudung lebar yang polos2(tentu min cadar),padahal sudah batasi pergaulan lawan jenis bahkan teman laki2 1 jurusan pun tidak semuanya kenal.Tapi seperti itulah dampak ikhtilat,benar sekali apa yang dikatakan para ulama rabbani yang melihat ke depan dengan hati.Tidak kuat,DO deh & skrg ilmu yang saya peroleh dulu pun tidak cukup bermanfaat untuk menjalani hidup berumah tangga hingga beranak 4.Manfaat yg di dapat di kampus belum tentu teraih tapi maksiat jalan terus.Bahan renungan bagi yang lain.
Assalammu’alaikum Ustadz,
ana punya adik perempuan
1. ana mau tanya bagaimana kalau pas masa bimbingan skripsi dengan dosen laki laki?
2. kemudian bila nanti ada sks pkl dan hrus pkl yg ada ikhtilatnya bagaimana ustadz?
3. adik ana nanya ke ana bila pindah ke universitas yang khusus akhwat, apakah ustadz memiliki informasi tempat buat pindahan mahasiswi dengan jurusan sastra inggris di daerah bandung?
Mohon saran dan informasi dari ustadz.
Terimakasih.
Wa’alaikumsalam Ustadz
afwan setau saya tulisanny itu ikhtilaTH bkn ikhtilat hehehe