لا تتكلم ÙÙŠ مسألة ليس لك Ùيها إمام
نقل عن الإمام Ø£ØÙ…د أنه قال لتلميذه الميموني : لا تتكلم ÙÙŠ مسألة ليس لك Ùيها إمام”
Dinukil dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata kepada muridnya, al Maimuni, “Janganlah engkau berkata-kata dalam masalah agama dengan suatu perkataan yang engkau tidak memiliki imam [baca: pendahulu] di dalamnya”.
والسؤال هل يطالب بأن يكون لطالب العلم سل٠ÙÙŠ كل مسألة؟
Muncul pertanyaan menyikapi perkataan Imam Ahmad di atas yaitu apakah seorang penuntut ilmu dituntut untuk memiliki salaf atau pendahulu dalam semua masalah agama?
ØÙŠÙ† تأمل هذا الموضوع، Ù†Ù„Ø§ØØ¸ ما يلي:
هناك مسائل علمية القول Ùيها هو النص Ù†ÙØ³Ù‡ من الآية ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ«!
هناك مسائل اجتهادية استنباطية.
Setelah kita telaah lebih lanjut, bisa disimpulkan bahwa permasalahan agama itu ada dua macam:
- Permasalahan agama yang isinya adalah dalil itu sendiri baik dalil dari ayat al Qur'an maupun berupa hadits Nabi.
- Permasalahan yang merupakan ranah ijtihad sehingga pendapat yang ada adalah hasil penggalian dari kandungan dalil.
ÙØ§Ù„نوع الأول لا ÙŠØØªØ§Ø¬ Ùيه أن يكون لطالب العلم سل٠يكÙÙŠ أن يورد الآية أو Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ«ØŒ Ùˆ لا ÙŠØØªØ§Ø¬ إلى أن يورد له سل٠ÙÙŠ المسألة، وإلا كان طلب السل٠من باب التقديم بين يدي الله ورسوله، Ùˆ هذا لا يجوز، بنص الآية التي ÙÙŠ أول سورة Ø§Ù„ØØ¬Ø±Ø§Øª!
Untuk permasalahan agama jenis pertama, seorang penuntut ilmu tidak memerlukan adanya salaf baginya untuk mengamalkan ayat dan hadits, cukup baginya untuk membawakan dan berpegang teguh dengan dalil berupa ayat dan hadits. Tidak mengamalkan dalil tegas karena menunggu adanya salaf dalam hal tersebut adalah termasuk mendahulukan pendapat manusia dari pada Allah dan rasul-Nya dan ini adalah hal yang terlarang berdasarkan ayat pertama dari surat al Hujurat.
أمّا النوع الثاني ÙØ§Ù„ظاهر أنه هو الذي عناه الإمام Ø£ØÙ…د بقوله لا تتكلم ÙÙŠ مسألة ليس لك Ùيها إمام! وعليه ÙØ¥Ù† معنى العبارة: لا تتكلم يا طالب العلم ÙÙŠ مسألة اجتهادية استنباطية دون أن يكون لك Ùيها سل٠وإمام!
Sedangkan untuk permasalahan agama jenis kedua maka nampaknya inilah yang dimaksudkan oleh Imam Ahmad dengan perkataan beliau di atas. Berdasarkan hal ini maka bisa kita katakan bahwa makna perkataan Imam Ahmad di atas adalah 'Janganlah anda wahai para penuntut ilmu berpendapat dalam masalah ijtihadiah tanpa memiliki salaf dalam masalah tersebut'.
وهذا ÙŠÙ„ÙØª النظر إلى قضية: وهي أن هناك مسائل ØØ§Ø¯Ø«Ø© لا يجد طالب العلم له سل٠ÙÙŠ الكلام عليها، لأنها ØØ§Ø¯Ø«Ø© ÙÙŠ أمور لم تكن موجودة بأعيانها Ùيمن قبلنا، Ùماذا يصنع؟
Namun ada permasalahan yang perlu dicermati yaitu ada banyak permasalahan baru yang tidak ditemukan adanya salaf yang membicarakannya karena permasalahan tersebut benar-benar baru tidak ditemukan di masa silam. Apa yang mesti kita lakukan dalam kondisi ini?
والجواب : لا بد لطالب العلم من Ø³Ù„ÙØŒ ولكن السل٠قد يكون ÙÙŠ عين المسألة إذا كانت المسألة واقعة من قديم وللسل٠كلام Ùيها
Jawabannya, dalam kondisi ini seorang penuntut ilmu harus memiliki salaf. Namun adanya salaf dalam hal ini memiliki dua pengertian:
Pertama, jika masalah tersebut sudah ada di masa salaf dan ulama salaf pun telah membicarakannya maka salaf yang membicarakannya itulah salaf kita dalam masalah tersebut.
أمّا إذا كانت المسألة ØØ§Ø¯Ø«Ø© ولا يوجد كلام للسل٠Ùيها Ùهنا يكÙÙŠ أن يكون له سل٠ÙÙŠ طريقة الاستنباط، Ùلا ÙŠØ³ØªØØ¯Ø« طريقة جديدة ÙÙŠ الÙهم، أو يكÙÙŠ أن يكون له سل٠ÙÙŠ الأصل الذي تنبني عليه المسألة Ùلا يخرج عن الأصول التي جرى عليه السل٠Ùيها،
Kedua, jika permasalahan tersebut benar-benar baru dan tidak dijumpai perkataan ulama salaf di dalamnya maka memiliki salaf dalam masalah ini ada dua bentuk:
a. salaf dalam metode istinbath [menyimpulkan hukum dari dalil] dengan pengertian tidak mengada-adakan metode baru dalam memahami dalil
b. memiliki salaf dalam kaedah menyikapi permasalahan tersebut artinya kita tidak keluar dari kaedah yang dipegangi salaf dalam menyikapi permasalahan tersebut.
Ùمثلاً قد يجد Ø§Ù„Ø¨Ø§ØØ« ØµÙØ© من ØµÙØ§Øª الله لا يجد للسل٠Ùيها كلاماً، Ùهنا القاعدة ÙÙŠ باب الأسماء ÙˆØ§Ù„ØµÙØ§Øª Ù…Ø¹Ø±ÙˆÙØ© Ùيطبق القاعدة على Ø§Ù„ØµÙØ© التي وق٠عليها، بأصل الباب وهي إثبات ØµÙØ§Øª الله دون تشبيه أو تكيي٠أو ØªØØ±ÙŠÙ أو تعطيل ليس كمثله شيء وهو السميع البصير!
Misalnya kita menjumpai sifat Allah yang tidak kita jumpai adanya ulama salaf yang membicarakan sifat tersebut. Kita telah mengetahui kaedah yang dipegangi salaf dalam menyikapi nama dan sifat Allah. Kaedah tersebut lantas kita terapkan dalam sifat yang kita jumpai. Itulah kaedah menetapkan sifat bagi Allah tanpa tamtsil, takyif, tahrif dan ta'thil.
هذا ما لدي ÙÙŠ ØªØØ±ÙŠØ± هذه القضية، وقد Ø£Ø³ØªÙØ¯ØªÙ‡ من كلام ÙˆØªØµØ±ÙØ§Øª أهل العلم، ÙØ¥Ù† أصبت ÙØ§Ù„ØÙ…د لله على توÙيقه وإن كانت الأخرى ÙØ§Ø³ØªØºÙر الله ولا ØÙˆÙ„ ولا قوة إلا بالله وإنا لله وأنا إليه راجعون
Ini kesimpulan dalam masalah ini. Kesimpulan ini saya dapatkan dari perkataan dan tindakan para ulama. Jika kesimpulan ini benar maka segala puji hanyalah milik Allah. Jika tidak benar maka aku memohon ampun kepada Allah.
لدي Ø¥Ø¶Ø§ÙØ© على القاعدة السابقة وهي قيد مهم: إذا كانت المسألة ØÙƒÙ…ها هو نص الآية ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ«ØŒ Ùلا Ù†ØØªØ§Ø¬ إلى سل٠لنعمل بالآية ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ« … هذا صØÙŠØ بشرط أن لا نخرج عن Ùهم Ø§Ù„Ø³Ù„ÙØŒ Ùلا Ù†Ùهم الآية ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ« بÙهم ØØ§Ø¯Ø« خارج عن أقوالهم،
Ada tambahan penting yang perlu diperhatikan terkait uraian yang telah disampaikan yaitu jika hukum suatu permasalahan adalah teks ayat atau hadits maka kita tidak memerlukan adanya salaf untuk mengamalkan ayat dan hadits tersebut. Ungkapan ini benar dengan syarat kita tidak keluar dari pemahaman salaf artinya kita tidak memahami ayat atau hadits dengan pemahaman yang keluar dari perkataan mereka, para salaf.
ولذلك نبه أهل العلم إلى قضية عمل Ø§Ù„Ø³Ù„ÙØ› ÙØ¥Ù†Ù‡ مراعى، ولا يخرج عن الصور التالية:
Oleh karena itu para ulama mengingatkan kita bahwa amal salaf untuk suatu dalil perlu diperhatikan dan amal atau praktek salaf untuk suatu dalil tidaklah lepas dari rincian berikut ini:
Ù€ أن يجري العمل على ÙˆÙÙ‚ Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ«ØŒ Ùهنا لا شك ÙÙŠ الأخذ بما جرى عليه السل٠Ùهو ÙˆÙÙ‚ الآية ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ«!
Pertama, praktek salaf sejalan dengan hadits. Tidaklah diragukan untuk berpegang dengan praktek salaf yang sejalan dengan ayat atau hadits.
Ù€ أن يختل٠السل٠ÙÙŠ المسألة، ÙØ¨Ø¹Ø¶Ù‡Ù… يواÙÙ‚ Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ« وبعضهم يخالÙه، وهنا لا شك أن النص يقوي قول من يواÙقه وأخذ به، Ùيعمل به، وعملك به لك Ùيه سلÙ!
Kedua, salaf berselisih pendapat dalam suatu permasalahan.Ada praktek salaf yang sejalan dengan hadits dan ada praktek salaf yang menyelisihi hadits. Tidaklah diragukan dalam kondisi ini bahwa dalil itu menguatkan pendapat salaf yang sejalan dengan dalil sehingga pendapat salaf tersebutlah yang kita ambil lalu kita praktekkan. Tentu saja dalam hal ini kita memiliki salaf.
Ù€ أن يجمع السل٠على ترك العمل بهذا النص، Ùهذا عند أهل العلم علة تمنع العمل Ø¨Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ«! ونبه عليها ابن رجب وغيره من أهل العلم.
Ketiga, salaf sepakat untuk tidak mempraktekkan suatu dalil. Realita ini menurut para ulama adalah faktor yang menghalangi kita untuk mempraktekkan hadits di atas sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dan ulama selainnya.
Ù€ أن لاتعلم هل أخذ السل٠به أو خالÙوه، Ùلا تدري شيئا من عمل السل٠بهذا النص الذي بين يديك، Ùهنا الواجب عملك بالنص وأخذه، ÙØ¥Ù† Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ« ØØ¬Ø© Ø¨Ù†ÙØ³Ù‡!
Keempat, kita tidak mengetahui apakah salaf mengambil hadits tersebut ataukah mereka menyelisihinya. Kita tidak mengetahui sedikit pun tentang praktek salaf terhadap dalil yang jelas-jelas ada di depan mata kita. Dalam kondisi ini kita wajib beramal dengan nash karena 'hadits adalah dalil dengan sendirinya, tanpa perlu bantuan yang lain'.
وبهذا القيد تعلم أن المسائل التي ورد Ùيها نص لا بد Ùيها من سل٠لك ÙÙŠ الÙهم الذي Ùهمته منها!
وهذه قضية مهمة.
Dari rincian di atas kita ketahui bahwa permasalahan yang berdalil harus ada salaf yang kita miliki dalam memahaminya. Ini adalah kaedah yang penting.
واتØÙ إخواني بكلام لابن القيم ÙÙŠ المسألة ØÙŠØ« قال رØÙ…Ù‡ الله ÙÙŠ أعلام الموقعين (4/222): “قال الإمام Ø£ØÙ…د لبعض Ø£ØµØØ§Ø¨Ù‡: إياك أن تتكلم ÙÙŠ مسألة ليس لك Ùيها إمام . والØÙ‚ Ø§Ù„ØªÙØµÙŠÙ„Ø› ÙØ¥Ù† كان ÙÙŠ المسألة نص من كتاب الله أو سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو أثر عن Ø§Ù„ØµØØ§Ø¨Ø© لم يكره الكلام Ùيها.
Berikut ini adalah kutipan perkataan Ibnul Qoyyim dalam I'lam al Muwaqqi'in 4/222 mengomentari perkataan Imam Ahmad di atas. Beliau mengatakan, “Imam Ahmad berkata kepada salah seorang muridnya, 'Janganlah engkau berkata-kata dalam suatu permasalahan yang engkau tidak memiliki imam di dalamnya'. Yang benar, hal ini perlu mendapatkan rincian. Jika dalam permasalahan tersebut terdapat dalil dari al Qur'an, hadits atau atsar shahabat maka berbicara dalam masalah tersebut tidaklah terlarang.
وإن لم يكن Ùيها نص Ùˆ لا أثر ÙØ¥Ù† كانت بعيدة الوقوع أو مقدرة لا تقع لم ÙŠØ³ØªØØ¨ له الكلام Ùيها.
Jika tidak ada dalil ataupun atsar di dalamnya maka jika permasalahan tersebut hanya kemungkinan kecil terjadi di alam nyata atau permasalahan tersebut hanyalah pengandaian yang tidak ada di alam nyata maka kita tidak dianjurkan untuk berbicara tentangnya.
وإن كان وقوعها غير نادر ولا مستبعد وغرض السائل Ø§Ù„Ø¥ØØ§Ø·Ø© بعلمها ليكون منها على بصيرة إذا وقعت Ø§Ø³ØªØØ¨ له الجواب بما يعلم.
لا سيما إن كان السائل يتÙقه بذلك ويعتبر بها نظائرها، ÙˆÙŠÙØ±Ø¹ عليها ÙØÙŠØ« كانت Ù…ØµÙ„ØØ© الجواب Ø±Ø§Ø¬ØØ© كان هو الأولى”اهـ
Jika permasalahan tersebut tidaklah langka terjadi tidak pula mustahil dan tujuan penanya adalah ingin tahu sehingga punya ilmu jika sewaktu-waktu terjadi maka dianjurkan untuk memberikan jawaban sebatas ilmu yang dimiliki oleh orang yang ditanyai. Terlebih lagi jika penanya adalah orang yang mencari kepahaman dengan jawaban yang disampaikan dan dia bisa mengembangkannya dalam kasus-kasus lain yang semisal artinya manfaat menjawab itu lebih besar maka menjawab adalah hal yang lebih baik”.
Uraian Syaikh Dr Muhammad Umar Bazmul di atas bisa dibaca di sini:
http://uqu.edu.sa/page/ar/101008
Subhanallah..
Artikel ini sangat berfaidah sekali. Baarakallahu fiikum ustadz…Â
Afwan, Ustadz. Sepertinya ada 2 salah ketik di atas (pada kutipan perkataan Ibnul Qoyyim):
1. Jangan benar >> mungkin yang ingin diketik adalah “yang benar”
2. berbaca >> mungkin yang ingin diketik adalah “berbicara”
#ummu
Terimakasih atas koreksiannya.
ustadz, mau bertanya tentang kalimat:
bgaimana dgn hadits
  لاَ ÙŠÙŽØ¬Ù’ØªÙŽÙ…ÙØ¹Ù مَلأٌ ÙَيَدْعÙوْ بَعْضÙÙ‡Ùمْ ÙˆÙŽÙŠÙØ¤ÙŽÙ…Ù‘Ùن٠البَعْض٠إÙلاَّ أَجَابَهÙم٠اللهÙ
لاَ ÙŠÙŽØ¬Ù’ØªÙŽÙ…ÙØ¹Ù مَلأٌ ÙَيَدْعÙوْ بَعْضÙÙ‡Ùمْ ÙˆÙŽÙŠÙØ¤ÙŽÙ…Ù‘Ùن٠البَعْض٠إÙلاَّ أَجَابَهÙم٠اللهÙ
“Tidak berkumpul sesebuah kaum, sebahagian dari mereka berdoa dan sebahagian yang lain mengaminkan, kecuali Allah akan memustajabkan doa mereka.” (Diriwayatkan dari Habib Ibn Maslama al-Fihri oleh At-Tabarani dlm Al-Kabir, Al-Hakim dlm Al-Mustadrak meletakkan ia sebagai sahih dan Ad-Daraqutni)
apakah dalil dari sunnah qouliyah tsb sudah cukup untuk kita melazimkan mengamalkan doa bersama?
(walaupun misalkan tdk didapati ada salaf yg melazimkannya)
jazaakallahukhoyr..
(semoga Allah memberkahi ilmu antum)
#abu
Simak di sini:
http://yufid.tv/zikir-berjamaah-setelah-shalat/
#abu_ilyasÂ
Tidak benar dikatakan Al Hakim menshahihkannya, justru beliau mendiamkan hadits ini (tidak memberi komentar) . Demikian juga Adz Dzahabi. Ini mengindikasikan adanya kelemahan.
Yang tepat, hadits tersebut dhaif karena munqathi’ sebagaimana dijelaskan syaikh al albani dalam silsilah adh dha’ifah.Â
ustadz, saya sudah buka rekamannya,
alhamdulillah cukup tercerahkan.
tp afwan ustadz, saya msh agak bingung.
dikatakan bahwa status haditsnya hasan (artinya bs dijadikan hujjah),
namun Imam Ahmad berpendapat, bahwa hal tersebut (doa berjama’ah) diperbolehkan sepanjang tdk dijadikan kebiasaan.
lalu apa yg membatasi (untuk membiasakan diri mengamalkan) keumuman dari makna hadits qouliyah td tadz?
apakah alasan dari pendapat Imam Ahmad tsb, krn tdk diketahui adanya pendahulu dari kaum salafushsholih yg melazimkannya?
dan skalian saya mau bertanya jg tadz (dr dulu saya bingung mau tanya ke mana),
apakah ‘amalan tahnik ada atsarnya dari para shahabat?
bahwa mereka tetap biasa melakukannya (mentahnik bayi2 mereka) sepeninggal Rosulullah,
dan jika misalkan ternyata atsar tsb tidak ada,
apakah sunnah untuk melakukannya tetaplah berlaku bagi kita tadz?
afwan jika pertanyaannya kebanyakan.
jazaakumullahukhoyr
ustadz Aswad,
kalo yg saya dapatkan dari rekaman ustadz aris tadi,
sebagian ‘ulama menghasankan hadits ini.
apakah saya bisa minta tolong untuk diberikan takhrij dari hadits tsb tadz?
baarokallahufiikum..