Manusia Kanibal! Itulah orang yang suka memakan daging saudaranya sesama muslim dengan ghibah atau menggunjingnya.
“Seluruh ulama bersepakat bahwa ghibah itu haram dilakukan oleh siapa pun untuk membicarakan siapa pun dari kaum muslimin. Hal ini dikarenakan terdapat larangan ghibah secara tegas dalam al Qur’an dan sunnah.
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS al Hujurat:12).
Dalam ayat ini terdapat larangan ghibah. Ghibah adalah membicarakan keburukan yang benar-benar ada pada orang lain. Jika keburukan tersebut tidak ada pada orang yang dibicarakan maka itulah yang disebut dengan buhtan.
Larangan ghibah dalam ayat di atas diiringi dengan penggambaran yang membuat kita semakin merasa ngeri dan menganggap ghibah sebagai hal yang sangat-sangat menjijikan. Hal ini dikarenakan bahaya besar yang terdapat dalam ghibah.
Memakan daging manusia adalah suatu hal yang sangat menjijikkan bagi manusia yang masih normal meski daging tersebut adalah daging orang kafir dan musuh yang sangat dibenci. Bagaimana lagi jika daging tersebut adalah bangkai saudara kita sendiri seagama?! Tentu kita akan sangat jijik dan tidak suka.
Bagaimana lagi jika daging manusia tersebut adalah daging yang sudah menjadi bangkai. Wong daging yang enak dan halal saja akan menjadi sangat menjijikkan jika daging tersebut berupa bangkai.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat di atas mengandung unsur hiperbola yang sangat luar biasa untuk melarang ghibah setelah terdapat larangan ghibah secara tegas di awal ayat.
Di antara kandungan ayat di atas, bahwa pengertian ghibah adalah membicarakan kekurangan orang lain tanpa sepengetahuannya. Oleh karena itu, objek ghibah diserupakan dengan bangkai karena dia tidak bisa membela diri atau mencegah terjadinya hal tersebut pada dirinya. Sisi kesamaan yang kedua antara objek ghibah dengan bangkai adalah orang yang sudah mati tidak tahu kalau dagingnya dimakan orang. Demikian pula objek ghibah tidak mengetahui adanya orang yang menggunjingnya” (Bahjah an Nazhirin Syarh Riyadh Shalihin karya Salim al Hilali 3/6).
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa kehormatan seseorang bagaikan daging dan darahnya sendiri karena hati seseorang itu akan merasa tersakiti jika kehormatannya dinodai sebagaimana badan seseorang itu merasa sakit jika dagingnya dipotong-potong. Jika tidak pantas bagi orang yang berakal untuk memakan daging orang maka menodai kehormatan seseorang tentu lebih tidak pantas lagi (Hasyiah Showi ala al Jalalain 4/145, cetakan Dar al Fikr).
Tentang ayat di atas Ibnu Abbas mengatakan, “Allah mengharamkan seorang mukmin menggunjing mukmin yang lain sebagaimana Allah mengharamkan memakan bangkai”(Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).
Qotadah berkata, “Sebagaimana engkau ketika menjumpai bangkai yang dipenuhi banyak belatung engkau tidak suka memakannya maka demikian pula hendaknya engkau tidak suka untuk menggunjingnya ketika dia masih hidup” (Diriwayatkan oleh Thabari, hasan. Lihat at Tafsir al Muhtashar al Shahih hal 550, cetakan Dar al Ma-atsir).
Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata, “Kita semua berkewajiban untuk tidak membicarakan keburukan orang lain, baik keburukan itu benar-benar ada pada dirinya atau pun tidak. Hendaknya kita camkan bahwa jika kita sebarkan keburukan saudara kita, sesama muslim maka pasti Allah akan mengirimkan orang yang akan menyebarkan keburukan kita, sebagai balasan yang setimpal. Jangan kita kira Allah lalai dengan perbuatan orang-orang yang zalim.
Akan tetapi bila ghibah tersebut dilakukan karena suatu kebutuhan, maka tidak mengapa dan tidak dosa. Oleh sebab itu ketika Fathimah binti Qois menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta saran beliau terkait dengan tiga orang laki-laki yang melamarnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas menjelaskan kekurangan orang yang dirasa memiliki kekurangan. Fathimah binti Qois dilamar oleh tiga orang, Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Jahm bin Harits dan Usamah bin Zaid. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Muawiyah itu orang yang tidak punya apa-apa. Sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang suka memukul istrinya. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid” (HR Muslim). Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebutkan kekurangan dua orang tersebut karena menginginkan kebaikan bagi Fathimah binti Qois dan menjelasan keadaan yang ada sebagaimana apa adanya.
Demikian pula bila tujuan ghibah yang dilakukan adalah mengadukan tindakan orang yang menzhalimi kita. Ghibah semacam ini hukumnya boleh. Misalnya ada orang yang menzalimi kita lalu kita laporankan kejadian tersebut kepada orang yang bisa membantu kita. Kita sampaikan kepadanya, “A merampas uangku” atau “B mengingkari bahwa dia memiliki hutang denganku”. Kalimat semacam itu diperbolehkan. Dalilnya adalah Hindun binti Utbah datang menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melaporkan suaminya, Abu Sufyan. Hindun mengatakan bahwa Abu Sufyan adalah orang yang pelit sehingga tidak memberi uang nafkah yang cukup baginya dan anak-anaknya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu secukupnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hal ini Hindun menyebutkan sifat suaminya yang Abu Sufyan tidak suka jika dicerita-ceritakan. Akan tetapi ini dibolehkan dalam rangka mengadukan kezaliman.
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Yang artinya, “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS an Nisa:148).
Artinya orang yang dizalimi diperbolehkan untuk mengucapkan ucapan buruk dengan suara keras agar bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya.
Namun apa ucapan semacam ini diperbolehkan jika maksud seseorang adalah mengiringkan kejengkelan hatinya terhadap orang yang menzaliminya? Dia ceritakan apa yang terjadi kepada temannya dan orang tersebut tahu bahwa temannya itu tidak bisa menghilangkan kezaliman yang menimpanya namun hatinya bisa terasa plong karenanya.
Pendapat yang paling kuat, hal tersebut dibolehkan mengingat ayat di atas, QS an Nisa:48, bersifat umum. Hal ini juga sering kita jumpai.
Sering kali ketika orang tersakiti karena hartanya dirampas orang atau mengingari haknya maka dia bercerita kepada temannya dengan tujuan meringankan kejengkelan hatinya. Demikian pula dia ceritakan masalahnya kepada anak-anaknya, istri, keluarga dan lainnya. Tindakan ini hukumnya tidaklah mengapa. Karena bagi orang yang terzalimi, orang yang menzaliminya itu tidaklah memiliki kehormatan” (Tafsir Surat al Hujurat sampai al Hadid hal 52-54, cetakan Dar Tsuraya).
assalamu’alaikum
pa ustadz bagaimana bila kita bermaksud meringankan kejengkelan hati kita krn dianiaya secara batin,tapi orang yang dipercayai untuk mendengarkan keluhan tersebut malah menyebar2kannya sehingga akhirnya yang mengeluh dianggap dengki dan berghibah
terima kasih,semoga Allah membalas dengan kebaikan
Untuk Rahma
Wa’alaikumussalam
Oleh karena ke depan harus lebih hati-hati. Curhat hanya ditujukan kepada orang yang benar-benar amanah.
Assalaamu’alaykum.. Ustadz Aris.
1. Apakah ghibah kpd non muslim juga diharamkan, Ustadz?
Krn Saya mdptkan sumber dr Internet,bhw ghibah hny trlarang utk sesama muslim tp tdk untuk non muslim. Benarkah pendapat yg dmikian ini?
2. Jika ada seorang muslim mlakukan ghibah thp sesama muslim lainnya,bgmn wujud taubatnya? Apakah cukup dgn istighfar kpd Alloh saja atau jg meminta maaf kpd org yg tlh digunjingnya?
Mohon penjelasannya. Jazakumulloh khoyron.
Untuk Budi
Wa’alaikumussalam
1. Ghibah yang haram hanya untuk sesama muslim. Meng-ghibah orang kafir hukumnya boleh.
2. a. Jika ghibah telah sampai ke telinga orang yang dighibah maka harus minta maaf kepada orang tersebut.
b. Jika belum sampai maka cara bertaubatnya 1)menyesali dan bertekad kuat tidak akan mengulangi 2) memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang dighibah 3)memuji orang tersebut di tempat-tempat yang pernah kita gunakan untuk menggunjingnya.
ustadz sbgmn yg ditanyakan rahma di atas apakah status kita berdosa karena akhirnya kita dimusuhi org yg menzalimi kita (karena kita yang menyebabkan rusaknya persaudaraan). Bagaimana jika orang yang menzalimi itu tidak sadar atau tidak tahu kalo dia telah menzalimi kita?
Contohnya begini :
Ada seorang tamu yang datang ke rumah saya, berhubung di rumah tidak ada makanan yang bisa disuguhkan akhirnya saya tidak menyuguhinya tanpa saya memberi tahu kepada tamu saya. Nah, tamu saya ngomong ke orang-orang kalo saya orangnya pelit. Dalam rangka menghilangkan kejengkelan hatinya karena waktu dia bertamu gak disuguh. Bolehkah dia melakukan demikian?
Contoh lain, saya memberi hutangan ke teman saya dan akan membayar dalam tempo yang sudah disepakati. Tempo yang sdh ditentukan telah lewat jauh, akan tetapi dia tidak kunjung melunasi hutangnya sampai sekarang. Usut punya usut ternyata dia banyak hutang sehingga sulit utk mengembalikan uang yang saya pinjamkan. Akhirnya saya menyebutkan kesalahannya ke orang-orang karena saya merasa terzalimi. bolehkah saya melakukan demikian??
Terimakasih
Untuk Rachmad
1. a. Kewajiban tuan rumah untuk meminta maaf kepada tamunya dengan mengataka, “Maaf, di rumah saya tidak ada apa-apa yang bisa disuguhkan” atau kalimat-kalimat semisal.
b. Kewajiban tamu untuk berbaik sangka. Kok, tidak ada suguhan ya. Ah, mungkin memang kebetulan sedang tidak ada yang bisa disuguhkan.
2. Boleh menceritakan keburukan A dalam masalah hutang kepada orang yang belum tahu dalam rangka tahdzir/mengingatkan orang lain agar hati-hati untuk bermuamalah finansial dengan orang tersebut.
Ustadz bolehkah ghibah kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kemaksiatannya, kefasikannya atau kebid’ahannya.
Contoh : org yg terang2an berjudi, minum2an keras, mengadakan tahlilan dll
Apa dalilnya ustadz ?
Terimakasih
ustadz,menyambung pertanyaan ukhti rahma
adakah batasan-batasan dalam “curhat”? bagaimana dengan larangan membuka aib sendiri? (karena dalam curhat kadang kita menceritakan kejelekan kita?
Untuk Laksmana
Membuka aib sendiri yang terlarang adalah dengan tujuan kebanggaan atau semisalnya.
Untuk Rachmad
Boleh, silahkan baca Riyadhus Shalihin bab ghibah
Jazaakallah khairan.
Ustadz,kalau tdk kberatan tlg sebutkan dalil utk jawaban antum terhadap akh budi pd komentr no.4…atau ini hanya ijtihad ‘ulama yg tdk ada dalil tgas dlm mslh (cara mnta maaf) ini?
Untuk Ibnu
Penjelasannya ada di al Wabil al Shayyib karya Ibnul Qoyyim.
assalamu’alaikum warrahmatullah,
Semoga ustadz Aris selalu dalam lindungan dan maghfirah Allah Ta’ala.
Yg ingin saya tanyakan, apa termasuk ghibah ketika dalam ilmu jarh wa ta’dil kita membicarakan tentang keburukan seorang perawi?
Terima kasih atas jawaban yg ustadz berikan.
wassalamu’alaikum warrahmatullah.
Untuk Tommi
Wa’alaikumussalam Warahmatullah
Termasuk ghibah yang halal.
assalamualaikum ustad ..
saya bingung, saya ada di tengah” org yg lg bertengkar . Kalau saya lagi d B, si B crita ttg kekesalan’a trhadap si A kepada saya . Dan jika saya lg bersama si A, si A menjelek”an si B ..
saya bingung ustad, saya ingin netral aja, ga mau berpihak kemana mana .. Tp saya tkt d blg bermuka 2 . Kalau saya lg bersama si A saya ngga enak sama si B dan begitu sebalik’a ..
Sebelum’a trimakasih ya utsd..
Untuk Jully
Wa’alaikumussalam
Ketika di tempat A dan A sedang menjelek-jelekkan B anda wajib pergi meninggalkan tempat tersebut. Demikian pula sebaliknya.