Tegar Di Atas Sunnah
No Result
View All Result
  • Home
  • Kajian
    • Kajian Kitab
    • Kajian Umum
  • Jadwal Kajian Rutin
  • Tanya Ustadz
  • About
SUBSCRIBE
  • Home
  • Kajian
    • Kajian Kitab
    • Kajian Umum
  • Jadwal Kajian Rutin
  • Tanya Ustadz
  • About
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Adab

Jangan ada Dusta di antara Kita

19 July 2013
Reading Time: 3 mins read
10
611
SHARES
3.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah secara umum menunjukkan bahwa berdusta itu hukumnya haram. Dusta adalah dosa dan 'aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram.

Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ».

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah” (HR Bukhari no 2682 dan Muslim no 220).

Yang dimaksud dengan dusta adalah menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan secara sengaja.

Berdasarkan definisi tersebut maka fiksi bukanlah dusta karena syarat supaya disebut dusta adanya kenyataan yang diselisihi. Sedangkan dalam fiksi tidak terdapat kenyataan yang diselisihi. Hal ini tentu berlaku selama fiksi tersebut tidak dikesankan sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.

Demikian pula berita yang keliru tanpa sengaja bukanlah termasuk dusta karena dusta adalah dusta jika dilakukan dengan sengaja.

Akan tetapi tidak semua dusta itu terlarang. Ada beberapa dusta yang diizinkan oleh syariat. Di antaranya adalah:

عن حُمَيْد بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

Dari Humaid bin 'Abdurrahman bin Auf, sesungguhnya ibunya yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aid, Ummu KUtsum ini adalah salah seorang wanita yang pertama kali berhijrah dan berbai'at kepada Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda, “Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan orang yang berselisih dengan bertutur kata yang baik dan menanamkan kebaikan di antara orang yang berselisih”.

Ibnu Syihab az Zuhri, seorang tabi'in, berkata, “Aku belum pernah mendengar adanya dusta yang diperbolehkan kecuali dalam tiga hal yaitu ketika perang, untuk mendamaikan orang yang berselisih dan ucapan suami untuk menyenangkan istrinya atau sebaliknya.” (HR Muslim no 6799).

Hadits ini secara gamblang menunjukkan adanya beberapa jenis dusta yang diperbolehkan karena pertimbangan tertentu. Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan Abu Hamid Al Ghazali.

Beliau berkata, “Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan suatu maksud. Setiap maksud yang bisa disampaikan dengan kalimat dusta ataupun kalimat yang jujur maka berdusta dalam hal ini hukumnya adalah haram karena tidak ada kebutuhan yang mendorong untuk berdusta. Jika maksud yang hendak disampaikan hanya bisa terwujud dengan dusta dan tidak bisa terwujud jika berkata apa adanya maka berdusta dalam kondisi ini diperbolehkan selama maksud yang dituju adalah perkara mubah. Bahkan dusta bisa menjadi sebuah kewajiban jika maksud yang dituju adalah perkara yang wajib”.

Seorang muslim yang bersembunyi dari kejaran penjahat, kemudian penjahat itu bertanya kepada kita tentang di manakah keberadaan orang tersebut maka berdusta dalam kondisi semisal ini hukumnya adalah wajib demi menyelamatkannya.

Demikian pula jika kita mendapatkan titipan barang dari seseorang lalu ada seorang penjahat yang menanyakan keberadaan barang tersebut dengan tujuan untuk merampasnya maka berdusta dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib demi menyelamatkan barang tersebut.

Andai kita diminta untuk bersumpah dalam kasus-kasus semisal di atas maka hendaknya kita menggunakan tauriyah dalam sumpah.

Ini semua dilakukan jika memang suatu tujuan tidaklah mungkin dicapai kecuali dengan berdusta. Upaya hati-hati dalam hal ini adalah menggunakan tauriyah.

Tauriyah adalah memilih kata-kata tertentu dengan maksud yang benar dan kata-kata tersebut bukanlah kebohongan jika ditinjau dari niat pembicara. Walau secara eksplisit kata-kata tadi dinilai sebagai sebuah kebohongan.

Dalam kondisi seperti di atas jika kita tidak menggunakan tauriyah namun memilih untuk berbohong maka perbuatan seperti itu tidaklah diharamkan.

Andai kita berdusta dengan tujuan yang benar, baik itu merupakan tujuan pribadi maupun untuk kepentingan orang lain maka kedustaan dalam keadaan semacam ini dibolehkan. Misal ada seorang penjahat yang menarik baju kita lalu menanyakan harta kita untuk dirampas maka seharusnya kita tidak menuruti keinginan penjahat tersebut. Contoh lain adalah andai kita ditanya tentang rahasia orang lain maka seharusnya kita tidak memberitahukannya.

Kita seharusnya menimbang antara ekses negative akibat berdusta dengan sesuatu yang mungkin timbul jika kita berkata jujur. Seandainya dampak positif yang ditimbulkan dengan berkata jujur maka dalam kondisi seperti ini berdusta tidak diperbolehkan. Jika kasusnya sebaliknya atau kita ragu dengan dampak positif perkataan dusta maka berdusta hukumnya haram.

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kata-kata kiasan bisa digunakan orang untuk menggantikan kata-kata dusta”.

Jika ada orang yang bertamu ke rumah Hammad sedangkan beliau tidak berkenan untuk mempersilahkannya masuk maka beliau gigit jarinya dengan gigi geraham kemudian berkata, “Aduh gigiku, gigiku”.

Imam Ahmad ketika ditanya tentang Maruzi padahal Maruzi tengah berada di dalam rumah bersama Imam Ahmad sedangkan Maruzi sendiri enggan untuk menemui orang tersebut maka Imam Ahmad meletakkan salah satu jari tangannya di telapak tangan lalu mengatakan, “Maruzi tidak berada di sini. Untuk apa dia berada di sini?”.

Ketika Rasulullah tengah berjalan bersama para shahabat, tiba-tiba mereka bertemu dengan pasukan kaum musyrikin. Mereka bertanya, ‘Dari manakah kalian?”. Nabi menjawab, “Kami dari ma-in” (ma-in bisa berarti nama kampung dan bisa berarti air). Orang-orang musyrik saling memandang lalu mengatakan, “Kampung-kampung di Yaman itu sangat banyak. Memang salah satu mereka berasal dari satu perkampungan di Yaman”. Orang-orang musyrik tersebut akhirnya berlalu.

Padahal yang Nabi maksudkan adalah ‘air’ sebagaimana dalam firman Allah di surat Ath Thariq ayat ke-6.

خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ

“Manusia itu diciptakan dari air yang dipancarkan”.

Tags: dusta
Next Post

Yang Dimaksud Mempelajari Ilmu Agama

Related Posts

minum dari tutup botol
Adab

Hukum Minum dari Mulut Botol

13 February 2015
Ulama dan Waktu Pagi
Adab

Ulama dan Waktu Pagi

2 September 2014
hukum menyingkat shalawat
Adab

Bolehnya Menyingkat Shalawat

11 September 2013
tidur siang
Adab

Tidur Siang

17 October 2013
ramadhan bulan quran
Adab

Ramadhan Bulan al Quran

30 July 2013
Next Post

Yang Dimaksud Mempelajari Ilmu Agama

Tanya Jawab: Apa Hukum Talqin?

Comments 10

  1. Ibnu Shalih says:
    14 years ago

    Assalaamu’alaykum.semoga Alloh menambah ilmu Kita. Mau tanya, definisi dusta diatas apakah definisi berdasarkan bahasa atau syariat? jika dari syariat, apa dalil yang menunjukan pada definisi tersebut?

  2. ustadzaris says:
    14 years ago

    Untuk Ibnu Shalih
    Wa’alaikumussalam
    Definisi tersebut adalah definisi secara bahasa.

  3. yugo says:
    13 years ago

    Assalaamu’alaikum,
    Ustadz, ada blog tertentu yang mengambil artikel ini untuk dijadikan hujjah tidak terlarangnya teater drama. Bagaimana persoalan yang sebenarnya tentang hal ini. Afwan, artikel di atas sebaiknya dicantumkan beberapa fatwa ulama agar lebih bagus. Syukran

  4. ustadzaris says:
    13 years ago

    Untuk Yugo
    Wa’alaikumussalam
    Ada bahasan panjang tentang hukum teater. Ulama ahli sunnah zaman ini berselisih tentang hukumnya. kewajiban kita adalah memilih pendapat yang paling mendekati kebenaran, bukan pendapat yang paling menyenangkan diri kita.

  5. hamba Allah says:
    13 years ago

    ustadz,,bila kita ditanya oleh dosen penguji pendadaran dgn pertanyaan “mengapa anda tidak melakukan hal ini dan itu,dst..? namun saya menjawab “saya tidak melakukan hal itu karena demikian dan demikian” padahal alasan sebenarnya saya tidak melakukan sesuatu tersebut bukanlah seperti yang telah saya jelaskan kepada dosen penguji,,apakah hal ini termasuk berdusta?

  6. ustadzaris says:
    13 years ago

    Untuk hamba
    Tanyakan kepada hati anda, apakah itu bohong ataukah bukan.

  7. yugo says:
    13 years ago

    Ini yang saya maksud ustadz:
    “Berdasarkan definisi tersebut maka fiksi bukanlah dusta karena syarat supaya disebut dusta adanya kenyataan yang diselisihi. Sedangkan dalam fiksi tidak terdapat kenyataan yang diselisihi. Hal ini tentu berlaku selama fiksi tersebut tidak dikesankan sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.”
    apa berarti dibolehkan kita membuat film, novel dan teater atau semacamnya yang based on fiksi story?

  8. ustadzaris says:
    13 years ago

    #yugo
    Baca di sini:
    https://ustadzaris.com/haramkah-cerita-fiksi
    https://ustadzaris.com/hukum-cerita-fiksi-2-penjelasan-syeikh-ibnu-jibrin

  9. aji says:
    11 years ago

    afwan ana mau tanya mengenai dusta / menipu pada kasus berikut
    kalau ada seorang ayah membeli sebuah rumah kepada penjual untuk anaknya
    proses transaksi penjual dan pembeli tidak ada penipuan dan dusta tapi ketika ketika membayar pajak ke pemerintah ada penipuan nilai transaksi agar pajak yang di bayar kecil , penipuan tersebut dilakukan oleh si ayah dan si penjual
    si anak mengetahui penipuan tersebut bahkan sebelum transaksi dilakukan, apakah si anak boleh menerima rumah dari hasil pembelian yang sah oleh bapaknya kepada si penjual tetapi dengan bayar pajak nya ke pemerintah ada penipuan?
     
    jazakallaahu khairan

  10. ustadzaris says:
    11 years ago

    #aji
    Boleh dia terima.
    Dosa menipu tanggungan sang ayah.

Recommended Stories

Manfaat Bagi Mayit, Kiriman Pahala Baca al-Quran

Manfaat Bagi Mayit, Kiriman Pahala Baca al-Quran

19 December 2015
Tidak Jadi Safar Karena Ramalan Cuaca

Tidak Jadi Safar Karena Ramalan Cuaca

13 February 2015
nama setan asyhab

Asyhab, Nama Setan

15 January 2015

Popular Stories

  • acara 17 agustus

    Hukum Acara Agustusan

    1667 shares
    Share 667 Tweet 417
  • Ucapan "Alhamdulillah ‘ala Kulli Hal"

    1464 shares
    Share 586 Tweet 366
  • Bulu Wajah

    1438 shares
    Share 575 Tweet 360
  • Apakah Halaman Masjid Termasuk Masjid?

    1419 shares
    Share 568 Tweet 355
  • Fikih Ciuman …

    1274 shares
    Share 510 Tweet 319
Tegar Di Atas Sunnah

Official website ustadz DR. Aris Munandar, MPi.

Bantu dakwah kami berkembang dengan cara share dengan mencantumkan sumber link. Jazakumullah khairan

Recent Posts

  • Selamat Idul Fitri 1444 H / 2023 M
  • Pernikahan Sebagai Tanda Kekuasaan Allah
  • 60 Amalan Shalih yang Bisa Dilakukan di Bulan Ramadhan

Categories

  • Adab
  • Aqidah
  • Bimbingan Islam
  • Fiqih
  • Info
  • Kajian Audio
  • Keluarga
  • Kisah
  • Konsultasi
  • Manhaj
  • Mu'amalah
  • Nasehat
  • Puasa
  • Ramadhan
Currently Playing

© 2022 Ustadzaris.com - Developed By TIM IT Cyber Dakwah.

No Result
View All Result
  • Home
  • Tanya Ustadz
  • About

© 2022 Ustadzaris.com - Developed By TIM IT Cyber Dakwah.