Malik bin Anas mengatakan,
لا يؤخذ العلم عن أربعة ، سفيه معلن السفه وصاحب هوى يدعو الناس إليه ، ورجل معروف بالكذب في أحاديث الناس وإن كان لا يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ورجل له فضل وصلاح لا يعرف ما يحدث به
“Ilmu agama tidak boleh diambil dari empat jenis manusia. Pertama, orang bodoh yang jelas kebodohannya. Kedua, pengikut hawa nafsu (baca:ahli bid’ah) yang mendakwahkan kebid’ahannya. Ketiga, seorang yang diketahui suka berdusta dalam pembicaraan keseharian dengan sesama manusia meski belum pernah terbukti membuat hadits palsu. Keempat, orang yang shalih dan bagus agamanya namun dia tidak mengetahui apa yang dia sampaikan” (Jami’ Bayan al Ilmi karya Ibnu Abdil Barr, 3/35, Maktabah Syamilah).
Terkait dengan ilmu ada dua prinsip penting yang harus diketahui dan dibedakan oleh seorang muslim.
Yang pertama, seorang muslim tidaklah menolak kebenaran dari mana pun asalnya. Bahkan perkataan Iblis sekalipun wajib kita terima ketika kita tahu bahwa perkataannya itu benar. Kebencian kita kepadanya tidak boleh menghalangi kita untuk menerima pendapat dan perkataannya yang benar.
Yang kedua, seorang muslim tidak boleh mencari kebenaran dan menimba ilmu dari sembarang orang karena tidak semua orang layak kita jadikan guru. Meski demikian ketika orang yang tidak layak dijadikan guru itu memiliki perkataan dan pendapat yang benar wajib kita akui sebagai sebuah kebenaran dan ilmu yang manfaat.
Dua prinsip ini harus kita bedakan dengan baik. Ketika kita telah mengetahui prinsip pertama dengan baik bukan berarti kita sembarangan memilih orang yang hendak kita jadikan sebagai tempat menimba ilmu.
Dalam kutipan di atas Imam Malik, seorang imam mazhab yang terkenal menasehati kita untuk tidak berguru kepada empat jenis manusia.
Yang pertama, orang yang bodoh yaitu orang yang tidak berakal sempurna karena keterbatasan ilmu yang dia miliki. Aneh tapi nyata, banyak orang ketika menghadapi suatu masalah terkait dengan agama merasa cukup dengan bertanya kepada teman, tetangga dan saudaranya yang tidak lebih pintar dibandingkan dirinya dalam masalah agama. Dia paham dengan baik bahwa orang yang dia tanyai bukanlah seorang yang menekuni belajar agama. Tentu jawaban dari orang semisal ini sangat rentan untuk keliru.
Yang kedua, orang yang memiliki pemahaman yang menyimpang dan dia mendakwahkan penyimpangannya. Belajar kepada orang semisal ini menyebabkan kita tidak merasa nyaman. Tidak menutup kemungkinan kebenaran yang dia sampaikan disisipi pemahaman menyimpang yang dia miliki. Karena kita sedang dalam proses belajar, tentu kita tidak bisa menyadari hal ini dengan baik bahkan boleh jadi pemahaman menyimpang yang dia miliki kita anggap sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
Yang ketiga, orang yang suka berdusta. Kualitas keilmiahan orang semisal ini sangat meragukan. Boleh jadi dia menyatakan ini adalah pendapat ulama A, padahal ulama yang bersangkutan tidak berpendapat demikian. Mungkin pula dia katakan hal ini ada di buku B, namun ternyata sedikitpun hal tersebut tidak ada di sana. Ini semua dia lakukan untuk mendukung pendapat yang dia yakini kebenarannya, padahal pendapat tersebut sama sekali tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena dia dikenal sebagai seorang yang suka berdusta bahkan perbuatannya menunjukkan kalau dia menghalalkan dusta.
Yang keempat, orang shalih namun tidak berilmu. Banyak orang beranggapan bahwa jika seorang itu rajin ke masjid dan gemar dengan berbagai amal yang dianjurkan maka berarti dia adalah seorang yang berilmu. Padahal seorang ahli ibadah itu belum tentu adalah seorang yang berilmu. Bahkan tidak sedikit orang yang nampak gemar dengan berbagai amal shalih adalah seorang yang jauh dari ilmu agama.
assalamualaikum
ustadz, bagaimana dengan berguru dengan ustadz yang kadang – kadang bermaksiat dan kurang wara` atau orang berilmu yang belum mengamalkan ilmunya ?
Untuk Rizki
Wa’alaikumussalam
Boleh saja meski yang lebih baik adalah belajar kepada yang lebih baik jika ada dan memungkinkan.
bagaimana dgn LIPIA di jakarta ? sebagian kalangan ahlussunnah meragukan kredibiltasnya sbg t4 menuntut ilmu…. apakah LIPIA dibangun atas asas ajaran ahlussunnah ataukah ikhwani ?
Untuk Asrof
LIPIA jakarta adalah cabang dari Universitas Ibnu Suud Riyadh yang dibangun oleh para ulama ahli sunnah untuk menebarkan dakwah salafiyyah. Jadi kurikulumnya adalah kurikulum yang sejalan dengan jalan ahli sunnah.
Tentang pengajar, maka di Universitas Madinah sekalipun dijumpai pengajar yang tidak komit dengan jalan ahli sunnah.
‘ala kulli hal, kami sarankan pada orang-orang yang belajar di LIPIA agar di luar jam kuliah rajin-rajin ngaji dengan para dai ahli sunnah dan jangan mencukupkan diri dengan pelajaran di kuliah.
afwan ust..apa yang antum maksud dengan: “Tentang pengajar, maka di Universitas Madinah sekalipun dijumpai pengajar yang tidak komit dengan jalan ahli sunnah”? apakah dosen-dosen ikhwani? jzakumullah
Untuk Yahya
Untuk ragam pengajar di sana baiknya antum tanyakan langsung pada para ustadz yang lagi belajar di sana.
“Bahkan perkataan Iblis sekalipun wajib kita terima ketika kita tahu bahwa perkataannya itu benar.” pernyataan antum ini menunjukan sekali bahwa akidah antum sangat diragukan, apalagi untuk mengakui sebagai ustd ahlusunnah.
wallahu musta’an
#Hasan
Mengambil kebenaran walau dari syaithon, terdapat dalam hadits shahih:
– وَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِى آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَصَّ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . وَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ » . طرفاه 2311 ، 3275 – تحفة 14482
Allahu yahdik..
Untuk akhi Hasan,
Pernahkah mendengar riwayat Abu Hurairah dan setan yg menyamar sbg seorg lelaki yg mengajarkan ayat Kursi? Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang saat itu sedang menjaga harta langsung menangkap sang lelaki itu. Lelaki itu berkata: “lepaskan saya, jika anda melepaskanku niscaya kuajarkan beberapa kata yang sangat berguna bagi anda”. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bertanya: “kata-kata apakah itu?” sang lelaki menjawab: “setiap hendak tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai, jika anda melakukannya niscaya anda senantiasa didampingi seorang malaikat yang menjaga, dan tak ada seekor syetan pun yang bisa mendekati anda hingga pagi hari”. Lalu Abu Hurairah melepaskannya.
Keesokan harinya ia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan menceritakan peristiwa yang baru saja ia alami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Ketahuilah wahai Abu Hurairah! Orang ini telah berkata jujur padamu, padahal ia adalah ahli dusta, tahukah kamu siapakah lelaki yang berbicara denganmu selama tiga malam ini?” Abu Hurairah menjawab: “Tidak wahai Rasulullah!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjawab: “lelaki itu adalah syetan.” (HR. Al-Bukhari: 4/487)
Silahkan ditadabburi riwayat ini untuk menanggapi komen antum. Jgn bisanya hanya mengklaim aqidah ustadz Aris meragukan.
hasan.
justru antum yg ana ragukan,krn ini sdh ma’ruf(diketahui)…
menerima kebenaran itu dr siapa saja akh…
dalilny sdh disbtkan akh tommy…
kalo menuntut ilmu..
baru harus selektiv….
kayfa yaa hasan?
semoga Allah membaguskan akhlakmu sbgmn nama mu…
#hasan
ana nasehatkan kepada antum untuk mempelajari agama ini, baarokallohu fiyk..
Bismillah
abu ubaidah, antum kalau gitu tidak usah pilih2 guru ngaji ya… siapa saja samber habisss!. judulnya artikel ini tidak cocok, gak nyambung!. seharusnya berguru dengan iblis atau syetan gak masalah asal benerrr!.
Abu husen : apa perlu tulisan di atas ana bacakan ulang agar antum paham? Baca dan pahamilah dengan pikiran yang jernih.. Menerima kebenaran dan menuntut ilmu adalah sifat ahlussunnah.. Allahu yahdik..
bismillah…
ustadz, terkait jenis manusia yg pertama, yaitu orang bodoh. terkadang kami ditanyai seputar hukum syari baik dari keluarga atau teman. kami sendiri bukan orang yang berilmu. kami mengetahui hukum2 syari dari menghadiri dan mendengarkan kajian2 dan membaca buku2. saat ditanya dan sekiranya kami mengetahui jawabannya, kami menjawabnya sebatas ilmu yg kami miliki. jika ada khilaf, kami pun menjelaskannya. semisal kami ditanyai tentang halal/haram (pertanyaan2 seperti bolehkah? bagaimana hukumnya?), itupun berdasar dari apa yang kami dengar dan baca. berdosakah apa yg kami lakukan? syukron.
#ummu
sarankan penanya untuk bertanya kepada ustadz yang memiliki ilmu yang mempuni.
ijin share ustadz.. syukron