Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بÙقَوْم٠ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ù…ÙنْهÙمْ
“Barang siapa menyerupai sekelompok orang maka dia adalah bagian dari mereka†(HR Abu Daud no 4031, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).
Jika demikian berbahayanya masalah ini, kapankah seorang muslim dikatakan telah menyerupai orang kafir? Pertanyaan sangatlah penting terutama setelah kita jumpai sebagian orang yang dengan sangat mudah memvonis seseorang telah melakukan tasyabbuh/menyerupai orang kafir tanpa kaedah yang jelas.
Setelah mentelaah beberapa penjelasan ulama dalam hal ini bisa kita simpulkan adanya beberapa pandangan tentang hal ini.
Ada yang berpandangan bahwa suatu kebiasaan orang kafir yang telah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin tidak bisa jadi patokan bahwa hal tersebut tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh pihak yang memiliki kaedah dan pandangan semacam ini.
1. Realita menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut tidaklah tersebar di tengah-tengah orang Islam melainkan melalui orang kafir. Artinya melalui orang kafirlah, kaum muslimin mengenal budaya semacam itu. Di antara buktinya, sebagian hal tersebut masih disebut ‘dandanan ala eropa, model rambut Amerika’ dan semisalnya.
2. Andai kita berpandangan bahwa budaya orang kafir yang telah tersebar merata di tengah-tengah kaum muslimin tidak lagi dinilai mengandung unsur tasyabbuh maka hadits-hadits yang melarang tasyabbuh dengan orang kafir tidak lagi berfungsi. Ini adalah suatu hal yang sangat jelas karena manusia saat ini kecuali yang Allah sayangi telah mengadopsi budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
3. Menyelisihi orang kafir adalah suatu hal yang dituntut oleh syariat karena kesamaan dalam penampilan lahiriah itu akan membuahkan keserupaan dengan orang kafir dari sisi batinnya. Seorang muslim harus tampil beda dengan orang kafir dalam penampilannya. Oleh karena khulafaur rasyidin mengharuskan orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin agar tampil beda dan tidak serupa dengan orang Islam.
4. Yang jadi tolak ukur bukanlah semua kaum muslimin namun orang-orang shalih, berilmu dan faham sunnah dari kaum muslimin. Orang Islam yang hobi maksiat tidak bisa jadi tolak ukur dalam masalah semisal ini. [Lihat Majmu Fatawa al Adab karya Nashir bin Hamd al Fahd]
Sedangkan pandangan yang lain menilai bahwa sesuatu yang telah tersebar luas di kalangan kaum muslimin tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir meski pada awal hal tersebut menjadi cirri khas orang kafir. Di antara yang berpandangan semisal ini adalah Imam Malik. Demikian pula Ibnu Hajar al Asqalani. Sedangkan di antara ulama kontemporer adalah Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau pernah mendapatkan pertanyaan, “Apa yang menjadi tolak ukur dalam permasalahan menyerupai orang kafir?â€.
Jawaban beliau, “Menyerupai orang kafir bisa terjadi pada penampilan, pakaian, cara makan dan sebagainya karena tasyabbuh/menyerupai adalah kata yang maknanya luas. Yang dimaksud menyerupai orang kafir adalah melakukan hal yang menjadi ciri khas orang kafir sehingga siapa saja yang melihatnya akan mengira bahwa orang yang dilihat adalah orang kafir. Inilah parameternya.
Adapun sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang Islam dan orang kafir maka melakukannya itu diperbolehkan meski pada asalnya budaya tersebut berasal dari orang kafir tentu dengan syarat hal tersebut bukanlah terlarang secara khusus dalam syariat semisal pakaian sutra†(Majmu Durus wa Fatawa al Haram Makki 3/367, lihat Fatawa Ulama al Balad al Haram hal 601).
Dalam kesempatan yang lain, beliau mengatakan, “Tolak ukur tasyabbuh adalah melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas pihak yang diserupai. Sehingga yang dimaksud menyerupai orang kafir adalah adanya seorang muslim yang melakukan salah satu dari ciri khas orang kafir.
Sedangkan sesuatu yang telah tersebar di kalangan kaum muslimin dan tidak lagi menjadi ciri khas orang kafir maka tidak lagi mengandung unsur menyerupai orang kafir. Sehingga hal tersebut tidak lagi diharamkan karena alasan menyerupai orang kafir kecuali jika hal tersebut haram karena faktor lain. Yang kami katakan ini merupakan konsekuensi dari istilah tasyabbuh/menyerupai. Hal ini telah ditegaskan oleh penulis Fathul Bari 10/272, “Sebagian ulama salaf melarang memakai burnus (jubah yang ada tutup kepalanya) dengan alasan pakaian tersebut adalah pakaian para pendeta. Namun Imam Malik pernah ditanya tentang hukum memakai burnus, jawaban beliau, “Tidak mengapaâ€. Ada yang menyanggah, “Bukankah itu pakaian para pendeta?†Jawaban beliau, “Pakaian tersebut dikenakan oleh kaum muslimin di siniâ€â€¦.
Dalam Fathul Bari 1/307, Ibnu Hajar mengatakan, “Andai kita katakan bahwa larangan memakai al mayatsir al Urjuwan (sejenis pakaian) adalah karena menyerupai orang ajam (non Arab yang kafir) maka berarti larangan tersebut karena faktor agama. Akan tetapi pakaian tersebut merupakan simbol orang mereka ketika mereka adalah orang-orang kafir. Kemudian tatkala sekarang hal tersebut tidak lagi menjadi simbol orang kafir maka alasan untuk melarang memakai pakaian tersebut sudah tidak ada lagi. Sehingga hukum makruh untuk itu sudah tidak ada lagi†(Fatawa al Aqidah hal 245, lihat Fatawa Ulama al Balad al Haram hal 602).
Beliau juga mengatakan, “Apakah misalnya ada satu model pakaian yang asalnya adalah pakaian orang ajam dan orang kafir tersebar luas baik di kalangan orang kafir maupun orang Islam, masihkah kita katakan bahwa memakai model pakaian ini tetap terlarang? Ataukah kita katakan bahwa status pakaian tersebut telah berubah menjadi pakaian netral, tidak lagi pakaian khas orang kafir? Jawaban yang tepat adalah pernyataan yang kedua. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Malik dan yang lainnya.
Contohnya adalah pantalon. Di berbagai negeri Islam pantalon adalah pakaian keseharian kaum muslimin. Oleh karena itu pada saat ini tidaklah kita katakan bahwa pantalon adalah pakaian Majusi, musyrik atau pakaian orang kafir. Hal ini dikarenakan pantalon sekarang berstatus sebagai pakaian yang netral. Namun jika ada orang yang mengenakan pantolan di suatu daerah yang penduduknya tidak terbiasa mengenakannya maka orang tersebut telah melakukan hal terlarang yang lain yaitu memakai pakaian syuhrah (pakaian yang menyebabkan popularitas). Maka orang tersebut dilarang karena pakaian popularitas bukan karena tasyabbuh†(Iqtidha’ karya Ibnu Taimiyyah dengan komentar dari Ibnu Utsaimin hal 177, Darul Aqidah Mesir).
Setelah ditelaah lebih lanjut, nampaknya pendapat yang kedualah yang lebih tepat kecuali jika yang tersebar di tengah kaum muslimin tersebut adalah simbol-simbol keagamaan milik orang kafir. Misal mengenakan kalung salib tersebar merata di suatu komunitas muslim maka tetap kita katakan bahwa mereka adalah orang-orang yang menyerupai orang kafir. Jadi kaedah di atas hanya berlaku untuk produk-produk budaya orang kafir dan tidak berlaku untuk simbol-simbol keagamaan.
jazakalloh khoiron.
ada beberapa hal yg saya agak bingung.
saat ini marak sekali shalat menggunakan pantalon sekaligus sarung. padahal, kebiasaan seperti itu terlihat aneh di negeri ini. demikian juga dlu, gamis adalah hal yg asing. menyelisihi adat negeri ini. bagaimana tentang 2 hal tersebut ustadz?
Assalamu’alaykum
Ust, ana memakai khimar tebal, tdk menarik perhatian, dan panjang, model nya pashmina. Kalau org awam memang banyak yg menggunakan pashmina, namun multazimah seperti ana mungkin jarang karna mereka biasa pakai khimar yg instant/langsungan. Apa khimar ana ini trmsuk pakaian syuhroh?
Uhibbukum fillah… Apa tulisan Ustadz Aris yg ini prnah ditampilkan sebelumnya di majalah Swara Qur’an setahun yg lalu,ya? Alhamdulillah,tulisan Ustadz ini dulunya prnh menyadarkan bbrapa teman kami yg trgesa2 dlm vonis, mnganggap ssuatu ini&itu adl tasyabbuh hny brdasarkan perasaan,Ustadz. Akhrnya,teman2 kami mnyadari bhw tindakanny slama ini adl keliru. Smoga stiap usaha antum dlm menyebarkan ilmu&kebaikan slalu dbri ganjaran yg brlipat oleh Alloh subhanahu wa ta’ala…
Assalamu’alaikum…
Tambahan : ana baca dalam artikel Bahtera Dakwah Salafiyah, oleh Ustadz M. Arifin Badri, beliau ada sedikit menyinggung masalah tasyabbuh ini dengan berkata : “tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid’ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :
1.Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2.Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
3.Adanya niat meniru, berdasarkan hadits (Innal a’malu binniyaati / sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat…).
Barakallohu fikum…
Untuk Wawan
Wa’alaikumussalam
Berkaitan dengan penjelasan Ustadz Arifin Badri, kriteria ketiga yang beliau sampaikan patut untuk ditelaah ulang.
Nabi melarang kita shalat sunnah mutlak saat matahari terbit dan saat matahari tenggelam meski kita tidak memiliki niatan untuk menyerupai penyembah matahari yang menyembah matahari pada waktu-waktu itu. Ini menunjukkan bahwa larangan tasyabbuh terhadap orang kafir itu tidak berkaiatan dengan ‘adanya niat meniru’.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Utsaimin dalam banyak tempat di Syarh Mumti’.
Untuk Budi
Benar, tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Swara Qur’an.
Untuk Ummu Hindun
Wa’alaikumussalam
Jika model tersebut menjadi sebab ‘buah bibir’ di antara para muslimah multazimah maka saya sarankan untuk dihindari.
Untuk Dream
1. Itu tidak aneh asalkan celana dan sarungnya tidak ‘balapan’
2. Di daerah yang pakaian gamis itu belum familiar maka memakainya termasuk pakaian syuhroh yang terlarang. Sedangkan di daerah yang pakaian gamis itu sudah tidak lagi asing maka tidak mengapa memakainya.
‘buah bibir’ tu yg spt apa yg sbaiknya dihindari?
Kalau buah bibirxa spt ‘owh.. Ummu hindun ia ana kenal, yg pake khimar pashmina tu kan?’
Seperti itu kira2 bgaimana?
Ustadz, mudah2an saat ini ana bukan termasuk org yang terburu-buru dalam memahami hadist ini selama ini. Yang terang ana masih dalam kebingungan..
Apakah ada hubungan antara hal ini dengan hadist al ghuroba dan kaum muslimin akan mengikuti umat yahudi dan nashoro sedikit demi sedikit ? mohon penjelasannya. Jazakallahu khoiron
Untuk Ummu Hindun
Buah bibir yang tidak baik di kalangan orang-orang shalih itu sebaiknya dihindari.
Jika kalimat tersebut tujuan adalah untuk ta’rif maka itu adalah kalimat yang bersifat netral.
Untuk Abu Yazid
Bentuk mengikuti Yahudi dan Nasrani yang tercela adalah dengan tasyabbuh.
Ustadz Aris yang mudah-mudahan Alloh selalu menjaga antum,bagaimana sikap kita bila diundang oleh saudara,teman atau tetangga yang non muslim untuk menghadiri pernikahan mereka?
Untuk Abu Ashma
Baca komentar saya untuk Rachmat pada artikel mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan satu tangan.
Ustadz tny, di daerah yg blm familiar dg cadar, misalkan akhowat memakai burqoh di lingkungan tersebut apkh trmasuk syuhroh? Dgñ org2 jd tmbah srg melihat n membicarakanñ.
Lalu, apkh “poni” itu trmsk tasyabbuh? Org2 cina kan srgñ berponi? Jazakalloh khoyr
Untuk Ummu Abdillah
1. hal itu tidak termasuk libas syuhroh
2. poni bagi wanita diperbolehkan dan bukan termasuk tasyabbuh.
Alhamdulillaah, situs ini membawa pencerahan.
Untuk yang masalah syuhroh tolong diperjelas lagi. Karena di satu sisi ustad mengatakan syuhroh bagi orang yang bergamis. quote{ust.aris said: … Di daerah yang pakaian gamis itu belum familiar maka memakainya termasuk pakaian syuhroh yang terlarang. Sedangkan di daerah yang pakaian gamis itu sudah tidak lagi asing maka tidak mengapa memakainya.}
Namun di sisi lain jilbab bercadar dikatakan bukan syuhroh. padahal kasusnya mirip. mohon penjelasannya. terima kasih
Untuk Yugo
Larangan pakaian syuhroh berlaku untuk dua jenis model pakaian yang sama-sama mubah. Yang satu membuat terkenal sedangkan yang lain tidak demikian. Memakai jenis model yang pertamalah yang tidak diperbolehkan.
maaf ustadz, saya masih belum mengerti atas jawabannya. Saya masih bingung kenapa memakai gamis dikatakan syuhroh (pada kondisi di masyarakat tersebut tidak ada yang memakai gamis). Namun kenapa untuk cadar tidak dikatakan syuhroh padahal cadar juga tidak lazim di masyarakat kita. maaf ustadz, kalo saya masih belum mengerti. saya benar-benar ingin belajar agama ini. terima kasih
Untuk Yugo
Karena memakai gamis hukumnya mubah. Sedangkan bercadar hukumnya minimal dianjurkan.
Ustadz.. lalu bagaimanakah dengan tradisi merayakan hari kelahiran, yang awalnya adalah berasal dari orang kafir. Namun saat ini di negeri kita, tidak bisa dibedakan lagi apakah orang yang merayakan hari kelahiran tadi adalah muslim atau bukan. Sedangkan salah satu poin dalam kaidah tasyabuh adalah “sehingga siapa saja yang melihatnya akan mengira bahwa orang yang dilihat adalah orang kafir”. Apakah dengan demikian perayaan semacam itu bukan termasuk dalam perkara tasyabuh? Mohon penjelasan ustadz… Jazakallohu khoiron…
Untuk Abdullah
Ada kaedah khusus untuk masalah ied. Ied yang berasal dari orang kafir tidak boleh kita lakukan meski sudah tersebar.
Terima kasih ustadz atas jawabannya. Berarti kaedahnya dalam hal syuhrah adalah pada permasalahan mubah, sedangkan yang hukumnya dianjurkan/disunnahkan atau bahkan wajib tidak dianggap syuhroh meskipun di masyarakat tidak lazim.
Ustadz untuk jawaban akh abdulloh tentang ied..mohon diperjelas lagi ustadz. Karena di masyarakat kita perayaan ulang tahun sudah dianggap biasa dan tidak ditujukan kepada kafir saja. dan tidak menjadi icon orang kafir. Mohon sekiranya ada pembahasan ilmiah lebih dalam tentang hal ini. Jazakallahu
Untuk Yugo
Ulang tahun itu terhitung ied, hari raya yang berulang setiap tahunnya. Semoga Alloh mudahkan.
Assalaamu ‘alaykum, Ustadz Aris.
Saya termasuk yang menggunakan gamis, tetapi yang versi Pakistan (hanya sampai sedikit di bawah lutut). Tujuan saya hanya agar menutup aurot dengan sempurna. Dan pakaian ini tidak umum dipakai di kantor. Apakah ini yang dimaksud syuhroh?
Padahal saya tidak bisa memakai pakaian lain yang benar-benar bisa menutup aurot selain gamis. Kalau saya hanya memakai baju koko, jelas celana yang saya pakai akan menampakkan bentuk aurot. Kalau saya memakai celana yang sangat longgar, itu justeru lebih aneh dibandingkan memakai gamis. Tambahan lagi, tetap sangat sulit mengontrol diri agar bentuk aurot tidak nampak saat kita beraktifitas. Sedangkan kalau memakai koko + sarung, menurut saya justeru lebih “aneh” dibandingkan memakai gamis, dan juga lebih merepotkan dibanding gamis.
Bagaimana solusinya?
wassalam.
Alhamdulillaah, jawabannya sederhana tapi insya Allah faham ustadz. Saya juga sempat baca di http://rumaysho.wordpress.com/2009/07/01/di-balik-bulan-rajab/
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, â€Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ’ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ’ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ’ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ’ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).†(Latho-if Al Ma’arif, 213)
Namun pertanyaan seputar hari ied ini sepertinya keluar dari bahasan pada artikel ini. Namun saya berterima kash atas jawaban ustadz.
Untuk Hidayat
Wa’alaikumussalam
Pakaian yang antum nampaknya termasuk pakaian syuhroh.
Pakailah hem atau baju koko dan celana panjang yang longgar.
Tolak ukur longgar dan tidak adalah dalam posisi berdiri, demikian menurut urf yang ada.
Nampaknya bentuk anggota badan semisal pantat dalam posisi sujud atau ruku tidaklah masalah.
Dalam posisi sujud, orang yang memakai koko dan sarung sekalipun bentuk pantat dan pahanya juga nampak.
ust,,,,gmn klo bisnis musiman.,.,???
yaitu orang ngambil dlu barangnya trz bayar’x pas lg panen.,?? tapi dgn catatan harganya berbeda klo bli cash.,.,?? mf klo lain dr tema.,.!!!!!!
Untuk Utsman
Hukum jual beli tidak tunai itu boleh menurut pendapat yang paling kuat meski harganya berbeda dengan harga tunai.
Bagaimana dgn hukum orang2 sekarang yang lagi gandrung kepada olahraga reiki padahal menurut yang ana tahu olahraga itu berasal dan ditemukan oleh pendeta budha
Mereka berdalih bahwa dalam mereka bermeditasi mereka wiridz dengan melafadzkan asma asma Allah dan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah
Mohon penjelasannya Ustadz
Untuk Abu Syaef
1. Islam tidak pernah mengajarkan meditasi sebagai sarana beribadah kepada Allah. Sehingga siapa yang melakukannya maka dia telah terjerumus ke dalam bid’ah.
2. Hakekar reiki adalah ilmu sihir dan kerja sama dengan jin. Tolong baca buku-buku karya Perdana Ahmad tentang reiki.
Syukran ustadz atas nasihatnya
Afwan ustadz bukan ana banyak permintaan atau terkesan cuma pengen ngetes ustadz tapi alangkah baiknya bila ustadz membahas masalah reiki ini dalam tulisan terpisah agar lebih gampang ana menunjukan artikel tersebut kepada teman ana karena dia selalu bilang tahu apa kamu baru belajar agama kemaren sore aja
Dan juga karena kemampuan ana untuk membeli buku karya
Perdana Ahmad masih belum bisa sekarang . Dan juga ketidakmampuan ana dalam menghadirkan pendapat dari ulama ulama salafy
Afwan ustadz dan semoga ustadz berkenan
Jazakallaahu khairan katsiran
Untuk Abu Syaef
Segala sesuatu kita serahkan kepada ahlinya. Tidak layak orang yang tidak menguasai suatu permasalahan untuk membahas permasalahan tersebut.
assalamu’alaikum
pa ustadz apakah berhijab dengan warna hitam hitam termasuk syuhroh?mengingat bahwa dengan memamakai warna tersebut membuat orang2 jadi memperhatikan kita karena kita terlihat berbeda dengan yang lainnya
terima kasih
Untuk Rahma
Wa’alaikumussalam
Insya Allah, tidak.
Ustadz, salah satu komentar antum di atas:
>>>Di daerah yang pakaian gamis itu belum familiar maka memakainya termasuk pakaian syuhroh yang terlarang. Sedangkan di daerah yang pakaian gamis itu sudah tidak lagi asing maka tidak mengapa memakainya.<<<
Pertanyaan:
1) Jika jika mendatangai suatu daerah, apakah kita harus mengikuti jenis pakaian warga daerah tersebut?
2) Contoh kasus, jika para syaikh kita di negara-negara Arab datang ke Indonesia yang secara umum berpakaian koko dan pantalon, apakah para syaikh tersebut harus berpakaian koko dan pantalon?
Untuk Abdurrahman
Memakai libas syuhroh itu hukumnya makruh sebagaimana judul bab yang dibuat oleh an Nawawi dalam Riyadhus Shalihih.
bismillah,,, terkait dengan fatwa syaikh muhammad bin sholih bin utsaimin,,,
“Adapun sesuatu yang telah tersebar luas di tengah-tengah orang Islam dan orang kafir maka melakukannya itu diperbolehkan meski pada asalnya budaya tersebut berasal dari orang kafir tentu dengan syarat hal tersebut bukanlah terlarang secara khusus dalam syariat semisal pakaian sutra”
ada teman ana yang menanyakan bagaimana dengan hukum memberikan ucapan selamat ulang tahun, yang pada awalnya berasal dari orang kafir, karena saat ini hal tersebut tersebar luas di kalangan pemuda muslim indonesia dan juga orang kafir sehingga ia beranggapan hal tsb bukan bentuk tasyabbuh… ana bingung menjelaskannya ustadz…
jazakallah khoyron
untuk ibnu
Coba baca di sini:
http://kangaswad.wordpress.com/2009/07/16/sikap-yang-islami-menghadapi-hari-ulang-tahun/
Assalamu’alaikum, kalau untuk menulis huruf t yg sprt salib bgm Ust? Apakah ada perbedaan Ulama di dalam masalah hukum hal itu?
Assalamu’alaikum, ustadz saya saat ini sedang kuliah jurusan pendidikan bahasa inggris semester5,tetapi merasa ada kekhawatiran dari diri saya jika menjadi guru bahasa inggris adalah seperti menyerupai bahkan mengajarkan orang untuk menyerupai orang kafir dalam hal bahasa, bagaimana menurut anda ustadz, mohon penjelasannya apakah saya harus keluar kuliah apakah tidak atau bagaimana?, terimakasih atas jawaban nya yang sangat penting sekali buat saya khususnya, jazakillahu khairan kathira
@indra
Bahasa inggris saat ini adalah bahasa ilmu pengetahuan. Memanfaatkan bahasa Inggris untuk mendukung dakwah terhadap orang yang berbahasa Inggris tentu termasuk amal shalih.
Ustad, kalau akhwat memakai pakaian sejenis hanbok (pakaian tradisional korea) apakah dibolehkan atau termasuk menyerupai suatu kaum? Hanbok itu longgar dan menutup aurat. Ada teman saya bertanya tentang ini. Mohon jawabannya ustad.
# Ani
Jika di Indonesia, tidak boleh karena menyerupai orang kafir.
Ustadz, bolehkah wanita memotong sebagian pendek rambut yg lainnya dan membiarkan yg lainnya panjang? Tidak sampai dibotak, hanya saja utk merawat rambut yg sudah sangat rontok