Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ .
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang menyelisihi al Qur’an dan as Sunnah atau menyelisihi kesepakatan ulama salaf baik berupa keyakinan ataupun ibadah.” (Majmu' Al Fatawa, 18/346).
Untuk mengetahui sesuatu dengan baik kita perlu bertitik tolak dari definisi yang tepat tentang hal tersebut.
Dalam definisi di atas terkandung beberapa point penting sekitar bid’ah.
1. Bid’ah itu tidak hanya terdapat dalam praktik ritual ibadah. Bahkan ada bid’ah dalam i’tiqod (keyakinan, pemikiran dan pendapat), di samping ada bid’ah dalam ritual ibadah. Orang yang berkeyakinan bahwa zat Alloh itu ada di mana-mana, sifat wajib Alloh itu hanya dua puluh, sifat Alloh itu sama dengan sifat makhluk, tidak ada penghuni surga yang merupakan eks penghuni neraka dan lain-lain adalah sedikit contoh tentang keyakinan yang memenuhi kriteria untuk dikategorikan sebagai bid’ah dalam keyakinan.
2. Tidak ada istilah bid’ah untuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama salaf karena bid’ah adalah yang menyelisihi kesepakatan ulama salaf. Sehingga perkara yang sudah diperselisihkan oleh para ulama sejak masa salaf (shahabat, tabiin dan tabi’ tabiin) tidak bisa masuk dalam kategori bid’ah. Ini adalah suatu hal yang perlu diperhatikan dengan seksama. Sebagian orang tidak bisa membedakan dengan baik manakah permasalahan agama yang masuk ruang lingkup sunnah-bid’ah dengan yang masuk dalam ruang lingkup rajih-marjuh (pendapat yang kuat dan pendapat yang kurang kuat). Karena demikian yakin bahwa pendapat yang dipilih adalah pendapat yang benar berdasar al Qur’an dan Sunnah, maka ada orang yang kelewat batas dengan memvonis pendapat lain sebagai pendapat yang bid’ah. Andai dia tahu bahwa ulama salaf sudah berselisih dalam masalah ini tentu lontaran yang berbahaya tersebut tidak akan diucapkan.
3. Adanya istilah bid’ah untuk permasalahan agama yang diperselisihkan oleh para ulama paska masa salaf. Hal ini terjadi ketika pendapat ulama muta-akhirin (belakangan, bukan generasi salaf) tersebut menyelisihi dalil yang tegas kandungan maknanya yang terdapat dalam al Qur’an dan hadits meskipun boleh jadi beliau tidak berdosa disebabkan hal itu, dikarenakan beliau dalam kondisi berijtihad. Namun ijtihad beliau tidaklah menghalangi tergelincirnya beliau dalam bid’ah. Akan tetapi, dalam kondisi ini kita yakini beliau tidak berdosa karena berijtihad meski hasil ijtihadnya adalah bid’ah yang tidak boleh diikuti, teriring lantunan doa kita agar Alloh melimpahkan kasih sayangNya kepadanya dan mengumpulkan kita dan beliau dalam surgaNya yang luas.
Uraian di atas menunjukkan tidak tepatnya anggapan sebagian orang yang menutup rapat-rapat istilah bid’ah dalam masalah ijtihad dan masalah yang diperselisihkan ulama tanpa memperhatikan apakah hal tersebut adalah perkara yang diperselisihkan sejak masa salaf ataukah hal tersebut adalah perselisihan baru yang tidak ada di masa salaf.
4. Yang dimaksud menyelisihi al Qur’an dan as Sunnah adalah menyelisihi dalil tegas yang terdapat dalam al Qur’an dan as Sunnah. Artinya jika dalil yang suatu permasalahan bisa dipahami dengan beberapa pemahaman yang bisa diterima karena pemahaman tersebut tidaklah timbul dengan dipaksa-paksakan, maka dalam hal ini tidak terdapat istilah bid’ah, terlebih-lebih jika pemahaman tersebut sudah ada sejak generasi salaf.
5. Urgensinya mempelajari dan mentelaah pemahaman dan pendapat yang ada di antara generasi salaf sehingga kita bisa menilai dengan tepat apakah suatu pendapat dan pemahaman terhadap al Qur’an dan sunnah masuk dalam kategori sunnah-bid’ah ataukah tidak.
ya Ustad, saat kasus karikatur Nabi di Denmark dulu, juga saat Swiss melarang pembangunan menara masjid, saat zionis menyakiti saudara kita di palestine ,masyarakat Islam internasional menyebarkan seruan boikot (memboikot produk denmark dan swiss dan yahudi atau menarik uang dari bank2 swiss) . sehingga :
1. musuh Islam tidak lagi berani macam2, boikot ini sebagai pembelajaran
2.jika tidak ada boikot, ditakutkan kejadian seperti di atas semakin menjadi-jadi.
bagaimana tanggapan Ustad?
Untuk Asyrop
Boikot produk orang kafir itu ada dua macam
a. diperintahkan oleh penguasa muslim, hukumnya wajib taat
b. tidak ada perintah dari penguasa, hukumnya siapa yang mau melakukan silahkan tapi tidak boleh memaksa dan mengharuskan orang lain untuk mengikuti dirinya.
Ustadz, penguasa/pemimpin muslim yang dimaksud di atas itu siapa? khalifah [walaupun belum ada] atau presiden?
Untuk Nurdiansah
presiden, raja, sultan atau yang lainnya.
assalamu’alaikum
pa ustadz,bolehkah saya minta contoh yang konkrit perkara yang diperselisihkan oleh para ulama sejak masa salaf dan paska salaf tersebut? terimakasih,semoga Allah membalas dengan kebaikan <strike>
Untuk Rahma
Wa’alaikumussalam
Contoh khilaf yang ada sejak zaman salaf adalah khilaf tentang qunut shubuh, jahr atau sirr ketika membaca basmalah.
Contoh khilaf yang tidak ada di masa salaf adalah jilbab tidak wajib, pengingkaran terhadap sifat Allah dll.
assalamu’alaykum ya Ustad, bagaimana keempat imam madzhab memandang bid’ah? kalau imam Nawawi?
Untuk Asyrop
Coba antum baca buku-buku yang mengupas hal tersebut semisal Manhaj Imam Syafii fi Itsbat al Akidah dll.
baik Ustad. masalahnya ada yang bilang : “kaum wahabi tu hanya memakai makna bid’ah dari ibnu Taimiyyah, tidak mengambil dari keempat imam madzhab.”
ya Ustad, saya sudah membaca akidah dan manhaj imam Syafii. Beliau membagi bid’ah menjadi dua: bidah dholalah dan bid’ah mahmudah. apakah yang beliau maksud dengan bid’ah mahmudah adalah maslahah mursalah?
Untuk Asyrop
Betul sebagaimana bisa kita cermati melalui penjelasan yang beliau sampaikan sendiri.
Untuk Asyrop
Ahli sunnah bahkan mengacu perkataan Imam Malik dan para shahabat tentang pengertian bid’ah.
Assalaamu’alaykum.
Imam Nawawi mengatakan hal berikut dalam kitab beliau Tahdziibul Asma wa Lughat halaman 994 berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i, An-Nawawi secara tegas mengatakan bahwa bid’ah disini dalam arti syar’i bukan bahasa.
بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة.
Lalu apakah pendapat Imam Nawawi diatas ini benar? atau dalam pembagian bid’ah menjadi dua adalah khilaf mu’tabar? Jazaakallahu khair…
Untuk Ibnu
Ada dua pendapat ulama tentang pengertian bid’ah
a. Ada yang mendefinisikan bid’ah dengan segala sesuatu yang terkait dengan agama dan tidak ada di masa Nabi (tercakup di dalamnya maslahat mursalah dan bid’ah dengan makna yang lebih mengkerucut). Ini pendapat Ibnul Jauzi, Nawawi dll. Menurut pendapat ini bid’ah ada dua macam a)bid’ah dalam tercakup dalam pengertian maslahat mursalah dan bid’ah dalam pengertian ‘bid’ah’.
b. Mendefinisikan bid’ah dengan lebih spesifik, maslahat mursalah tidak tercakup di dalamnya. Ini pendapat Ibnu Taimiyyah, Syathibi dll
jazaakallahu khair ustadz, sekarang apa yang beliau maksud menjadi jelas. walhamdulillah.
Insyaa Allah kedepannya ana akan gunakan kolom komentar di artikel ini untuk bertanya tentang kaidah2 bid’ah dan penerapannya yang sudah ana baca tapi belum ana pahami. Ana mohon bimbingan antum ustadz….terima kasih banyak.
ustadz,, orang tua saya masih belum tahu tentang apa itu bid’ah, mslhnya dalam wkt dekat adik saya akan ulang tahun pdhl merayakan ulang tahun adalah bid’ah. sedangkan di lain sisi bila tiba2 org tua saya diberitahu, saya khawatir mereka bisa kaget dan bisa marah dan tetap bersikeras utk adanya acara ultah, yg lebih saya takutkan lagi bila org tua saya melarang belajar agama lg karena mereka kira bahwa saya terlalu kaku. bgmn sikap saya?
Untuk Manusia
Yang penting saat ini adalah ortu memberi anda kesempatan untuk belajar agama.
Yang pokok saat ini adalah anda tidak hadir dalam acara tersebut.
Assalalkm ustad..
merayakn ultah itu kn hkumnya bid’ah? tp bgmna klo tmn qt ultah trus qt di undang untk hdir di acara ultahnya, apa qt hrs ttp hdir atau tdk?
ttpi sya prnh bca tntg sfat2 mulia nabi muhammad, slh 1 nya beliau sllu hdir dlm stiap undangan ktika di undang dlm suatu acara..
Untuk Deny
Tidak boleh datang.
Yang nabi datangi adalah acara-acara yang dibenarkan oleh syariat
Nabi tidak pernah mendatangi perayaan Yahudi yang merupakan tetangga beliau di Madinah.
Pak Ustadz kalau perayaan Maulid Nabi , bid’ah atau tidak sebab perayaan Maulid Nabi sudah ada sejak dahulu ? lalu kalau yasinan dan tahlilan yang banyak dilakukan masyarakat saat ini termasuk bid’ah atau bukan. mohon penjeleasannya. shukron.
untuk awam
1. acara maulid nabi tidak ada di zaman Nabi dan para shahabat.
2. betu, termasuk bid’ah.
ustadz tolong jelaskan perkataan abdullah bin mas’uf “Jangan beri Al-Qur’an titik maupun harakat.” ….syukron…jazzakallah khair
assalaamu ‘alaykum yaa ustadz,
saya pernah baca mengenai syarat ibadah harus memenuhi enam syarat yaitu sesuai dengan waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Pertanyaan yang timbul di benak saya adalah:
Pertama: darimanakah asal usul syarat tsb, apakah memang berasal dari nash-nash yang dapat diterima atau dari ulama yang mu’tabar atau yang lain?
Kedua: Kalau iya, apakah keenam hal tsb berlaku untuk segala macam ibadah secara umum atau hanya untuk ibadah mahdhah?
Mohon penjelasannya ustadz. Syukron Wa Jazakallaahu Khoiron.
#abu
1. dikumpulkan dari berbagai dalil yang ada
2. utk ibadah mahdhah
#indra
Pada awalnya ada khilaf tentang titik dan harakat untuk al Qur’an lalu terjadilah ijma tentang bolehnya hal tersebut.
Assalaamu’alaykum wa rahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz, ana benar2 bingung, kalangan pelaku bid’ah berargumentasi dengan masalah penulisan lafazh shalawat setiap di belakang nama Rasulullah untuk melegalkan bid’ah mereka.
Menurut mereka, dalam hal ini telah terjadi ijma’ tentang dibolehkannya terus2an menulis lafazh shalawat di setiap di belakang nama Rasululillah ketika ditulis. Lalu mereka mengqiyaskan hal ini kepada praktek2 bid’ah yang lain. Intinya mereka berkata: Secara asal, yang masyru’ adalah mengucapkan shalawat -bukan ditulis- jika disebutkan nama Rasulullah tapi para ulama dari dulu sampai sekarang telah melakukan penulisan lafazh shalawat mengiringi nama Rasulullah ketika ditulis padahal ini ga ada contohnya, sekali lagi -menurut mereka jika mau mengikuti alur berpikir wahabi- yang masyru’ adalah diucapkan bukan ditulis jika ditulis maka bid’ah sebab dalam hal ini telah melakukan cara baru dalam beribadah -dalam hal ini shalawat- yang tadinya seharusnya dilafazhkan tapi malah ditulis padahal ibadah itu -kata mereka: menurut wahabi- harus sesuai dalam hal waktu, tempat, Cara dan lain2.
Maka menurut mereka ini adalah bid’ah -jika dari sudut pandang wahabi- tapi toh ulama salaf juga membolehkan bahkan menganjurkan, pendapat tentang dianjurkannya menulis lafazh shalawat di belakang nama Rasulullah tersebar luas di kalangan para ulama salaf dan tidak diketahui satu pun dari mereka yang menentang hal ini plus penerimaan umat terhadap hal ini maka ini teranggap sebagai ijma’.
Nah, dari sini menurut mereka ada yang namanya bid’ah hasanah dan berarti juga bid’ah idhafiyah seperti yasinan, dll itu ga termasuk bid’ah yang dhalalah karena secara asal, komponen2 yang ada dalam acara yasinan itu telah disyariatkan seperti pembacaan Al-Quran -dalam hal ini surat Yasin-, juga bacaan2 doa setelah pembacaan surat Yasin masuk ke dalam keumuman perintah berdoa, melazimkan hari kamis untuk membaca surah yasin dan melazimkan yasin -bukan surat lain- tanpa meyakini adanya fadhilah tertentu maka ini bukanlah bid’ah karena kembali kepada dalil umum tentang perintah membaca Al-Quran dan berdoa.
Namun disisi lain ana mikir, telah masyhur riwayat dari para salaf -termasuk para sahabat- tentang penentangan mereka terhadap bid’ah idhafiyah [lihat: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=9476%5D.
Bagaimana tadz, solusi terhadap dalil2 yang -dimata ana- terlihat kontradiktif? Disatu sisi telah terjadi ijma’ terhadap perkara yang diklaim sebagai bid’ah idhafiyah -dalam hal ini penulisan lafazh shalawat-, disisi lain telah datang atsar dari para sahabat Nabi tentang penentangan mereka terhadap bid’ah idhafiyah, semisal Umar yang menentang doa secara berjama’ah -karena termasuk bid’ah idhafiyah- dan kasusnya juga mirip dengan penulisan lafazh shalawat ini maka konsekuensinya penulisan lafazh shalawat harus ditentang tapi realitanya para ulama ga satupun yang membid’ahkannya. Bingung ana…
Mohon jawaban antum tadz, ana akan sangat menghargai keseriusan antum dalam menjawab syubhat ini. Mungkin ini adalah persoalan sederhana bagi antum, tapi tidak bagi ana, lha buktinya ana sampai bingung. Syubhat bagi seorang mukmin adalah beban maka menghilangkan syubhat –mungkin- termasuk dalam keumuman menghilangkan beban seorang mukmin. Semoga Allah menghilangkan beban para penyingkap syubhat di hari kiamat kelak -mudah2an antum termasuk didalamnya-…
#ibnu
1. pertanyaan anda sudah dijawab oleh al Ustadz Sofyan Basweidan
2. ijma adalah hujjah. telah ada ijma -sebagaimana pengakuan mereka-dalam masalah penulisan shalawat setelah menulis nama Nabi. Jika demikian, selesailah masalah. namun adakah ijma dalam masalah yasinan?? jika tidak ada ijma maka kita wajib mengikuti pendapat yang bersesuaian dengan kaedah dan dalil? manakah pendpat yang lebih bersesuaian dengan dalil dalam masalah ini?