Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani pernah menceritakan awal mula beliau mendapat hidayah untuk menekuni sunnah dan mempelajarinya yang hal ini terjadi pada saat beliau kurang lebih berusia dua puluh tahun.
Beliau berkata, “Suatu hari aku melihat salah satu edisi majalah al Manar di antara sejumlah buku yang terpampang di salah satu toko buku. Akhirnya majalah tersebut aku buka-buka. Di majalah tersebut aku jumpai suatu artikel yang ditulis oleh Sayid Rasyid Ridha yang berisi deskripsi buku Ihya Ulumuddin karya al Ghazali. Dalam artikel tersebut penulis menyebutkan sisi-sisi positif dan negatif yang dimiliki oleh buku tersebut. Itulah pertama kalinya aku membaca suatu tulisan yang memuat kritikan ilmiah. Artikel tersebut mendorongku untuk membaca semua artikel yang ada di edisi tersebut.
Kemudian aku berusaha untuk mengikuti topik takhrij (telusur hadits) al Hafizh al Iraqi untuk kitab Ihya Ulumuddin. Aku ingat ketika itu aku berusaha untuk menyewa edisi majalah tersebut karena aku tidak punya uang untuk membelinya. Aku demikian tertarik dengan takhrij hadits yang demikian jeli itu sehingga aku bertekad bulat untuk menyalinnya”.
Pada akhirnya, Syeikh al Albani menyalin kitab tersebut yaitu takhrij ihya karya al Iraqi yang judul lengkapnya adalah al Mughni ‘an Hamli al Asfar fi al Asfar fi Takhrij maa fi al Ihya min al Akhbar. Beliau salin buku tersebut dengan tulisan beliau yang bagus dan teliti. Beliau susun bagian-bagian buku tersebut dengan sangat bagus. Inilah aktivitas beliau yang pertama terkait dengan hadits. Salinan takhrij Ihya ini masih ada di perpustakaan pribadi beliau hingga saat ini.
Mulai dari sinilah Syeikh al Albani memiliki hubungan yang erat dengan majalah al Manar dan artikel-artikel seputar hadits yang ada di dalamnya. Beliau sangat tertarik dengan artikel-artikel tersebut yang akhirnya mendorong beliau untuk tertarik dengan ilmu hadits, cinta dengan buku-buku hadits dan sangat perhatian untuk mempelajari dan mengkaji buku-buku hadits dengan penuh semangat.
Beliaupun berhasil menguasai ilmu hadits dengan sebab anugrah yang Allah berikan berupa pikiran yang tokcer, kecerdasan yang jarang dijumpai dan ketekunan yang luar biasa.
Jika beliau sudah mendapatkan uang yang memadai kebutuhan pokok beliau dari pekerjaan yang beliau tekuni yaitu reparasi jam, beliau berhenti bekerja lalu menyibukkan diri dengan ilmu. Kedai reparasi jam beliau pun berubah menjadi tempat pertemuan para penuntut ilmu.
Subhanallah, bagaimana mungkin ilmu hadits bisa menguasai hati dan pikiran pemuda ini padahal dia tumbuh besar di lingkungan yang semarak dengan ilmu dan ketaatan dalam beragama namun demikian fanatik dengan mazhab fiqh tertentu. Bahkan ayahnya sendiri ketika melihat ketekunan beliau mempelajari ilmu hadits berkomentar, “Hai Muhammad, ilmu hadits adalah kesibukan orang-orang yang bangkrut”.
Ketika ahli sejarah dan pakar hadits dari negeri Halb, Suria yaitu Syeikh Muhammad Raghib al Thabakh melihat betapa menonjolnya pemuda Muhammad Nashiruddin al Albani dan ketekunannya untuk mempelajari ilmu hadits beliau memberikan kepada pemuda Muhammad Nashiruddin al Albani ijazah untuk semua kitab hadits yang beliau miliki ijazahnya. Daftar buku-buku hadits yang beliau ijazahkan disebutkan dalam buku tipis yang ditulis oleh beliau sendiri yaitu Muhammad Raghib al Thabakh yang berjudul al Anwar al Jaliyyah fi Mukhtashar al Atsbat al Halabiyyah.
Yang dimaksud ijazah dalam hal ini adalah izin seorang guru kepada muridnya untuk mengajarkan buku yang pernah dipelajari oleh sang guru dari guru dan demikian seterusnya sampai kepada penulis buku tersebut.
Bukanlah rahasia lagi bahwa Syeikh al Albani sering berkata tentang ijazah yang pernah beliau dapatkan ini, “Ijazah tersebut sedikitpun tidaklah menarik perhatianku. Ijazah tersebut hanya aku gunakan untuk membantah orang-orang yang dengki” (Lihat Muhaddits al ‘Ashr karya Sumair bin Amin az Zuhair hal 13-14, terbitan Dar al Mughni).
ada ejekan orang2 bahwa Syaikh Al Albani tidak punya guru dan cuman belajar dari buku. Apa ini melemahkan kredibelitas beliau sbg ahli hadits ? BAhkan orang mengungkit2 Syaikh Albani tidak punya hapalan hadits sampai ratusan ribu hadits. bagaimana ustadz ?
1. Yang jadi tolak ukur adalah ilmu, bukan punya guru atau tidak. Tidak sedikit orang yang belajar dengan guru bahkan gurunya adalah ulama besar ahli sunnah namun muridnya jadi tokoh pembela bid’ah, penyimpangan dan kesesatan.
2. Orang yang mengatakan bahwa al Albani tidak punya guru adalah orang yang tidak tahu biografi Al Albani. Ayah beliau sendiri adalah ahli fiqih Hanafi. Beliau juga belajar dengan Syeikh Bahjah Baithor dll
3. Validkah data yang didapatkan orang tersebut tentang hafalan hadits Al Albani? Apakah hafal hadits sampai jumlah ratusan ribu adalah syarat mutlak untuk menjadi muhaddits/pakar hadits?
4. Para ulama yang dunia mengakui keilmuan mereka semisal Syeikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Abdul Muhsin al Abbad bahkan Lanah Daimah sendiri mengakui tingkatan ilmu Syeikh Al Albani. Layakkah bagi orang yang ilmunya tidak ada apa-apanya dengan mereka malah meragukan ilmunya Syeikh Al Albani?
afwan ustadz tlong ditambahkan lagi kisah-kisah yang menonjol tentang syaikh al-bany dan Masyayikh yang leinnya, tentunya hanya berkisar pada kegigihan mereka dalam memperoleh ilmu. jazakallahu khairon
Itu adalah issue yg sengaja dihembuskan oleh musuh2 ahlus sunnah, untuk menjatuhkan nama beliau
Untuk Abu Urwah. Saya pertimbangkan. Semoga Allah memudahkannya.
Ust. apakah disyaratkan bahwa dalam mencari guru itu harus ahlus sunnah ?
Untuk Iman
Pada asalnya guru ngaji kita harus seorang ahli sunnah kecuali dalam kondisi tertentu.
Ust.apakah seseorang jika hendak menjadi guru harus mendapatkan rekomendasi dari guru lain ?
Bagaimana penerapan pada saat ini ? (kriteria siapa yang merekomendasikan?? )
Untuk Iman
Demikian yang ada di masa salaf, seorang itu menjadi guru ketika mendapat rekomendasi dari gurunya untuk mengajar.
Adapun di zaman kita saat ini dan di negeri kita yang sangat kekurangan dai dan guru ngaji, jika hal tersebut mau diterapkan jelas sangat merepotkan. Yang jelas, haram berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu dan setiap orang diperintahkan untuk menyampaikan ilmu sebatas yang dia ketahui.
ada ejekan orang2 bahwa Syaikh Al Albani tidak punya guru dan cuman belajar dari buku. Apa ini melemahkan kredibelitas beliau sbg ahli hadits ?
=> salah satu penilaian hadits adalah pada permasalahan isnad. seorang rawi yang tidak memiliki ketersambungan isnad adalah tertolak, demikian pula seseorang yang disebut muhaddits apalagi melakukan tashiih, jika dia tidak memiliki ketersambungan sanad, maka itu matruuk marduud. harus ditinggalkan, harus ditolak.
BAhkan orang mengungkit2 Syaikh Albani tidak punya hapalan hadits sampai ratusan ribu hadits. bagaimana ustadz ?
=> dalam lingkunagn ulama ahli hadits, terdapat istilah-istilah penyebutan tertentu bagi ahli-ahli hadits:
– jika taraf menguasai hapalan berikut sanad dan rawinya sudah mencapai minimum 10 ribu hadits, maka ia disebut Al-Muhaddits
– jika taraf menguasai hapalan berikut sanad dan rawinya sudah mencapai minimum 100 ribu hadits, maka ia disebut Al-Hafizh (contoh: Al-Hafizh Ibn Hajar dll)
Dan selama ini memang belum pernah ada sebutan Al-Hafizh itu pada beliau (Al-Albani), kecuali apa-apa yang terlalu dibesar-besarkan di internet beberapa tahun setelah beliau wafat. Wallahu A’lam.
Untuk Ethe
1. Tolak ukur ilmu seseorang adalah ilmunya, bukan siapa dan berapa gurunya.
2. Apa dasar muhaddits harus punya sanad sampai Nabi? Berapa minimal sanad hadits yang diperlukan? Harus sama’ ataukah cukup ijazah?
3. Tolak ukur muhadits, hafizh dll dengan standar jumlah hafalan tertentu bukanlah suatu yang ijma’ di antara para ulama hadits.
syaikh Albani dulunya seorang Ikhwani (IM), benarkah ustadz ?
Untuk Abang
Orang yang menuduh wajib membawakan bukti.
@ethe: “salah satu penilaian hadits adalah pada permasalahan isnad. seorang rawi yang tidak memiliki ketersambungan isnad adalah tertolak, demikian pula seseorang yang disebut muhaddits apalagi melakukan tashiih, jika dia tidak memiliki ketersambungan sanad, maka itu matruuk marduud. harus ditinggalkan, harus ditolak. ”
MIRIP KHAYALAN ORANG-ORANG SYIAH!!! PADAHAL BERAPA BANYAK MUHADDITS YANG SANADNYA TIDAK BERSAMBUNG KE ROSULULLOH SHOLALLOOHU’ALAII WA SALLAM. juga…pernyataan ini mementahkan banyak kaedah dalam ilmu hadits… jadi…kebohongan ini meskipun halus…tapi kurang cerdik…hanya saja kasiha buat yang masih awwam… semoga Alloh Al Lathif Al Khobiir membongkar kedustaan para penentang agamaNya…
@mas ethe,Antum mengatakan :”- jika taraf menguasai hapalan berikut sanad dan rawinya sudah mencapai minimum 10 ribu hadits, maka ia disebut Al-Muhaddits
– jika taraf menguasai hapalan berikut sanad dan rawinya sudah mencapai
minimum 100 ribu hadits, maka ia disebut Al-Hafizh (contoh: Al-Hafizh
Ibn Hajar dll)
Dan selama ini memang belum pernah ada sebutan Al-Hafizh itu pada beliau (Al-Albani)”Maaf ya akhi, selama ana membaca buku2 yg membahas mengenai mustholah hadits termasuk ushul hadits dan jg bertanya pd yg paham mengenai hadits, tolok ukur mengenai jumlah hapalan matan dan sanad mencapai 10rb hadits disebut muhaddits atau 100rb hadits disebut hafidz itu bukan ijma’ diantara para ulama baik itu ulama mutaqoddimin maupun muta’akhirin. Maaf2 saja nih, itu hanyalah standar yg dibuat2 oleh org2 yg iri, hasad dan dengki pada syaikh Albani, membuat2 fitnah agar org2 menghindari mendengar kajian dan membaca buku2 beliau. Benar kata ustadz Aris, lihatlah ilmunya, jgn lihat orgnya. Kadang ada org yg sesumbar klo dia hapal sanad dan matan sampe 300rb hadits tp percuma saja klo dia tidak bisa membedakan mana hadits shohih, dho’if maupun madhu’ sehingga banyak kaum muslimin yg masih awwam tertipu. Wallahul musta’an
السلام عليكم ورحمة الله
seorang ‘alim, siapa pun itu, pasti ada pada sebagian sisi keilmuannya belajar sendiri dalam rangka pendalaman, semoga Alloh membesarkan nama syeikh.