Penjelasan ulama mengenai “Masbuq Jadi Imam utk Masbuq”.
وسئل بعضهم: عن مسبوق ائتم بمثله، هل ينويان حالة دخولهما مع الإمام أنه يأتم أحدهما لصاحبه بعد المفارقة؟ أو تكفي بعد السلام، لأنه وقت ائتمامه به؟
Salah seorang Aimah Dakwah an Najdiah (tokoh dakwah salafiyyah di Najd) mendapatkan pertanyaan tentang masbuq yang bermakmum kepada sesama masbuq. Apakah kedua berniat pada saat bergabung dengan jamaah masjid ataukah yang satu bermakmum kepada yang lain setelah berniat mufaraqah (berpisah dengan imam) ataukah cukup dengan salam imam masjid karena setelah imam mengucapkan salam adalah waktu seorang masbuq bermakmum kepada sesama masbuq?
فأجاب: هذه المسألة فيها وجهان لأصحاب أحمد، وبعضهم حكى فيها روايتين؛ قال في الإنصاف: وإن سبق اثنان ببعض الصلاة، فأتم أحدهما بصاحبه في قضاء ما فاتهما، فعلى وجهين.
Jawaban beliau,
“Dalam masalah ini para ulama Hanabilah memiliki dua pendapat. Sebagian ulama bermazhab Hanbali bahkan ada yang mengatakan bahwa dalam hal ini Imam Ahmad memiliki dua pendapat.
Penulis kitab al Inshaf mengatakan, ‘Jika ada dua orang masbuq lalu yang satu bermakmum kepada yang lain untuk menggenapi kekurangan shalat mereka berdua maka dalam hal ini hanabilah memiliki dua pendapat’.
وحكى بعضهم الخلاف روايتين، منهم ابن تميم:
Sebagian ulama bermazhab Hanbali mengatakan bahwa Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini. Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Tamim.
إحداهما: يجوز ذلك، وهو المذهب؛ قال المصنف، والشارح، وصاحب الفروع، وغيرهم – لما حكوا الخلاف -: هذا بناء على الاستخلاف، وتقدم جواز الاستخلاف على الصحيح من المذهب، وجزم بالجواز هنا في الوجيز، والإفادات، والمنور، وغيرهم، وصححه في التصحيح والنظم.
Pendapat pertama mengatakan bahwa demikian itu hukumnya adalah boleh. Penulis kitab al Inshaf, pen-syarah al Inshaf, penulis kitab al Furu’ dll ketika membahas adanya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini mengatakan, ‘Perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah derivat atau turunan dari perbedaan pendapat tentang hukum istikhlaf-imam yang meminta salah satu makmum untuk menjadi imam untuk melanjutkan shalat berjamaah menggantikan dirinya-. Pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali mengatakan bolehnya istikhlaf. Penulis kitab al Wajiz, al Ibadat, al Munawwir dll secara tegas mengatakan bolehnya istikhlaf. Inilah pendapat yang dinilai benar dalam kitab al Tash-hih dan al Nazhm.
والوجه الثاني: لا يجوز، قال المجد في شرحه هذا منصوص أحمد، في رواية صالح. وعنه: لا يجوز هنا، وإن جوزنا الاستخلاف، اختاره المجد في شرحه، فرق بينها وبين مسألة الاستخلاف.
Pendapat kedua mengatakan bahwa hal ini tidak dibolehkan. Al Majd Ibnu Taimiyyah dalam syarahnya mengatakan bahwa pendapat inilah yang merupakan pendapat tegas Imam Ahmad sebagaimana penuturan Shalih. Imam Ahmad mengatakan bahwa hal ini tidak diperbolehkan meski kita membolehkan istikhlaf. Inilah pendapat yang dipilih oleh al Majd Ibnu Taimiyyah, pembedakan antara kasus ini dengan kasus istikhlaf.
والذي يترجح عندنا هو الوجه الأول، سواء نويا ذلك في حال دخولهما مع الإمام، أو لا، والله أعلم.
Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah pendapat yang pertama baik kedua masbuq tersebut berniat untuk berjamaah di antara sesama mereka pada saat bergabung dengan jamaah masjid atau pun niatnya setelah itu”.
Sumber: Al Durar al Saniyah fi al Ajwibah al Najdiah juz 4 halaman 277 cetakan kelima 1414 H.
Catatan:
Demikian pendapat yang beliau pilih meski saya pribadi lebih cenderung kepada pendapat yang melarang kasus di atas mengingat pada dasarnya ibadah itu mengikuti dalil yang ada tentu dengan tetap menghormati orang-orang yang mengambil pendapat yang lain dalam masalah ini.
Keterangan di atas menunjukkan kurang tepatnya pendapat sebagian orang yang menilai bid’ah jika ada masbuq yang bermakmum kepada sesama masbuq. Tepatkah kita nilai hal ini sebagai bid’ah padahal tokoh dakwah salafiyah dari Najd yang berstatus sebagai murid dari Imam Muhammad bin Abdul Wahhab saja tidak menilainya sebagai bid’ah?
Artikel www.ustadzaris.com
Assalamu’alaykum Ustadz,
Yg ingin ana tanyakan:
1. Apakah kita tdk boleh menilai sesuatu itu bid’ah, klo memang kita meyakini sesuatu itu tidak ada dalilnya, dg tetap menghormati pendapat orang lain?
2. Apakah kaidah nya, tidak boleh menyatakan sesuatu itu bid’ah, hanya karena ada Ulama Salafiyah yg tidak membid’ahkannya?
Jazakallohu khoir..
untuk aufit
Wa’alaikumussalam
1. Layakkah kita menghormati bid’ah yang berstatus dhalalah?
2. Yang saya sampaikan itu adalah indikator bukan kaedah. bukankah jika kita jumpai seorang ulama yang sangat keras dalam masalah bid’ah namun tidak memvonis bid’ah terhadap suatu perbuatan, bukankah ini indikator yang cukup kuat untuk ekstra hati-hati dalam masalah semisal ini?
Assalamu’alaikum,
Afwan ustadz, nambahi pertanyaan:
1. Kita sering mendengar bahwa kita mengikuti Ulama adalah karena mereka memiliki dalil? Dalam masalah ini bukankah telah datang riwayat bahwa para Shahabat yang masbuk menyelesaikan sholat sendiri-sendiri?
2. Dengan tetap menghormati para Ulama, kita tidak mengikuti ketergelinciran pendapat mereka? Bukankah ada Ulama yang lebih salaf dan alim pun pernah salah?
3. Kehati-hatian bukan berarti membolehkan kita mendahulukan pendapat Ulama daripada dalil? Bukankah imam empat madzhab menyatakan ‘jangan ikuti pendapatku jika kalian tidak tahu dalil yang aku pakai?’
Sekali lagi afwan, mohon penjelasan karena saya masih belum banyak tahu. Jazakalloh khoiron.
untuk ali
Wa’alaikumussalam
oleh karena itu, pendapat yang terpilih adalah menyelesaikan shalat sendiri-sendiri dengan menghormati orang yang mengambil pendapat yang lain asalkan dia memilih pndapat tersebut dikarena dia menilai bahwa pendapat tersebut adalah pendapat yang lebih tepat.
yang kurang saya setujui adalah menilai pendapat yang lain sebagai bid’ah.
Di mana saya “mengikuti ketergelinciran pendapat mereka”? Di mana saya “mendahulukan pendapat ulama dari pada dalil”?
Tolong baca tulisan di atas dengan baik dan cermat.
masbuq dengan masbuq ini maksudnya gmn?apakah keduanya ikut berjamaah bersama dulu dengan seorang imam atau salah seorang masbuq lalu setelah imam salam datang seorang masbuq menjadikan masbuq yg pertama tadi sebagai imam.
utk abu
Kduanya ikut berjamaah bersama dulu dengan seorang imam.
Jazakalloh khoiron. Dalam pemahaman saya yang sederhana, segala bentuk ibadah yang tidak ada contohnya/dalilnya (dlm hal ini masbuk bermakmum kpd masbuk) adlh bid’ah. Kenapa ustadz tidak mengatakan hal ini bid’ah karena ada pendapat ulama demikian, apakah yang demikian tidak berarti mengikuti ketergelinciran pendapat?
Ustadz mengatakan tidak setuju mengatakan hal ini bid’ah, padahal menyelisihi dalil, ini yang saya bingung. Afwan, mungkin akal saya belum menjangkau hal ini. Jazakalloh khoiron.
utk ali
Pendapat tersebut memiliki dalil yaitu qiyas dengan kasus istikhlaf
Saudara2ku semua …. janganlah kita memaksakan kehendak ..
Apa pendapat antum tentang Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Jibrin, atau yang dahulu spt Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Suyuthi, Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, Imam Asy Syaukani, ………. mereka mengatakan dzikir menggunakan biji tasbih (subhah) adalah BOLEH, bahkan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hasan (bagus).
Padahal hampir semua salafiyin menolaknya bahkan membid’ahkannya, inilah pendapat Syaikh Al Albani, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syaikh Bakr Abu Zaid …. Nah, buat antum yang membid’ahkan … apa komentar antum terhadap para imam yang membolehkannya, apakah berarti mereka membolehkan bid’ah?
Apa komentar antum terhdp Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu Baaz, atau Imam Ibnu hajar, Imam Ibnu Hibban, Imam An Nawawi, Imam Asy Syaukani, Imam Asy Syafi’i, dll … mereka membolehkan membaca surat Yasin untuk orang yang sakaratul maut …bahkan Syaikh Shalih Fauzan mengatakan Sunnah!!
Walau Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Syaikh Al Albani, memakruhkannya …
Wahai ikhwah …. masalah khilafiyah spti ini sangat banyak, maka tetaplah menuntut ilmu, berkelanalah di atas kitab-kitab para ulama, jangan tutup pikiran antum dari berbagai rujukan imam ahlus sunnah pada berbagai madzhab, … tinggalkanlah sikap keras dalam masalah seperti ini sebagaimana era salafi tahun 80-90an …
sebab masalah khilafiyah ijtihadiyah, bukanlah begitu sikap kita …
Assalamu`alaikum
Apakah di atas itu sesuai dengan kejadian yang ana alami waktu SMA yaitu pada saat itu ana dan teman sebut saja namanya iman itu sama-sama masbuk kemudian setelah imam salam kami berdua meneruskan rakaat yang kurang tiba-tiba si iman mundur ke belakang kemudian menepuk bahu saya sebagai isyarat supaya saya jadi imam. Setelah selesai shalat saya tanyakan hal tersebut kepada iman dia mengatakan bahwa perkara itu menrupakan sunnah. MOHON PENJELASAN USTADZ ARIS MUNANDAR.
#fahrul
Penjelasannya sudah ada pada tulisan di atas.
apakah ada cara yg spesifik dlm hal masbuq mnjdkn masbuq imam? misal seperti yg dikatakan oleh al akh fahrul diatas,dgn menepuk bahu (apakah ini diperbolehkan?) atau yg lainnya (berdasarkan dalil) atau memang tdk ada dalil yg khos ttg masalah ini ust?
baarokallohu fiik !
#abul
Jika salah satu masbuq maju jadi imam maka dialah imam.
Jazakallah khair.
Assalamu’alaykum Ustadz Aris
jika sedang sholat sunnah lalu ada orang yang bermakmum sholat maghrib, bagaimanakah dengan bacaan imam, sir atau jahar?
#fanji
Tetap sirr
aduuhhh … aku bingung nih ….
sebenarnya intinya itu boleh apa enggak sih masbuk menjadikan masbuk lain sebagai imam ??? tapi berdasarkan penjelasan diatas boleh asalkan sholat berjamaah dulu, nah baru menyelesaikan rakaat yang ketinggalan secara berjamaah (antara sesama masbuk)…
nah klw jika sholat berjamaah telah selesai, imam sudah mengucapkan salam sementara ada masbuk yang ketingalan beberapa rakaat …trus dateng masbuk lain yang menjadikan masbuk tersebut sebagai imam. itu gimana ??? boleh gk ???
trus klw boeh, ketika masbuk menepuk bahu masbuk lain untuk menjadikan imam apakah suara sholat (seperti membaca al-fatihah, setelah takbiratul ihram), secara bersuara atau tidak ???
mohon penjelasanya, makasih …
maklum ane masih newbie ga :)
FATWA BOLEHNYA BERMAKMUM KEPADA ORANG YANG MASBUK
Fatawa yasalunak (2/15-Syamilah)
الاقتداء بالمسبوق
يقول السائل : إنه جاء إلى المسجد فوجد صلاة الجماعة قد انتهت وأنه اقتدى برجل مسبوق فصلى خلفه فما حكم صلاته ؟
الجواب : اقتداؤك بالمسبوق صحيح إن شاء الله على الراجح من أقوال أهل العلم وقد دلت على ذلك أحاديث منها حديث ابن عباس قال :( بت في بيت خالتي ميمونة فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم من الليل فتوضأ ثم قام إلى الصلاة فقمت فتوضأت كما توضأ ثم جئت فقمت عن يساره فأخذ بيميني فأدارني من ورائه فأقامني عن يمينه فصليت معه ) رواه البخاري ومسلم وأصحاب السنن واللفظ لأبي داود . وحديث أنس أن الرسول صلى الله عليه وسلم صلَّى في شهر رمضان قال :( فجئت فقمت إلى جنبه وجاء آخر فقام إلى جنبي حتى كنا رهطاً ، فلما أحس النبي صلى الله عليه وسلم بنا تجوّز في صلاته ) رواه مسلم .
وحديث عائشة :( أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلّي في حجرته وجدار الحجرة قصير فرأى الناس شخص رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام الناس يصلون بصلاته فأصبحوا فتحدثوا فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي الليلة الثانية فقام ناس يصلون بصلاته ) رواه البخاري .
وحديث أبي سعيد أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى رجلاً يصلي وحده فقال :( ألا رجل يتصدق على هذا فيصلي معه ) رواه أحمد وأبو داود والترمذي وهو حديث صحيح كما قال الشيخ الألباني .
وهذه الأحاديث تدل على أنه لا يشترط في الإمام أن ينوي الإمامة فالرسول صلى الله عليه وسلم شرع في الصلاة منفرداً ثم جاء ابن عباس فصلى معه جماعة وكذلك فإن الرجل الذي رآه الرسول صلى الله عليه وسلم يصلي وحده شرع في الصلاة منفرداً فحض النبي عليه الصلاة والسلام رجلاً يصلي معه :( فقام رجل من القوم فصلى معه ) كما في رواية البيهقي ، ولا فرق بين من كان منفرداً ومن كان مسبوقاً فلا مانع من اقتداء غيره به ليحصل أجر الجماعة .
Terjemahan :
Pertanyaan : Jika ada seseorang yang datang ke masjid dan ia mendapati sholat jamaah telah berakhir, lalu Ia pun bermakmum kepada Makmum Masbuq (yang sedang menyempurnakan sholatnya=pent.), maka bagaimana hokum sholatnya ?
Jawab : bermakmum kepada makmum masubuq sah sholatnya Insya Alloh menurut pendapat yang rojih dari perkataan ulama, dalilnya adalah diantaranya :
(1.-pent) hadits Ibnu Abbas Rodhiyallohu anhu : “saya menginap dirumah bibiku Maimunah (istri Nabi Sholollahu alaihi wa Salam), Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam pada tengah malam bangun lalu berwudhu untuk sholat dan mendirikan sholat (malam), saya pun bangun dan berwudhu sebagaimana beliau berwudhu kemudian mendatangi beliau dan sholat disebalah kirinya, lalu beliau Sholollahu alaihi wa Salam memegangku dari belakang dengan tangannya dan menarikku kesebalah kanannya, kemudian saya pun sholat bersama beliau”. diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim dan Ashabus Sunan dan lafadz ini ada dalam Sunan Abu Dawud.
(2.-pent) hadits Anas Rodhiyallohu anhu bahwa Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam sholat pada bulan Romadhon, lalu Anas berkata : “saya mendatangi Beliau dan berdiri disebalah sampingnya, lalu datang lagi orang lainnya dan berdiri disebalahku hingga jumlahnya banyak, maka ketika Nabi Sholollahu alaihi wa Salam mengetahui kami mengikutinya, beliau membolehkannya”. HR. Muslim
(3.-pent.) Hadits Aisyah Rodhiyallohu anha, bahwa Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam sholat dikamarnya dan tembok kamarnya pendek sehingga manusia bisa melihatnya, lalu orang-orang pun bermakmum kepada Beliau, keesokan harinya mereka pun menceritakan hal tersebut, maka ketika Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam sholat pada malam kedua, maka (lebih banyak lagi) para sahabat yang sholat bersamanya”. HR. Bukhori
(4.-pent.) Hadits Abu Said Rodhiyallohu anhu, bahwa Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam melihat seorang laki-laki sholat sendirian, maka Belia bersabda : “Tidakkah ada yang mau bershodaqoh untuk hal ini agar Ia sholat bersamanya”. HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan ini hadits Shohih sebagaimana dikatakan oleh SYaikh Albani.
Maka hadits-hadits tersebut menunjukkan tidak dipersyaratkannya bagi Imam untuk meniatkan menjadi Imam, Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam saja pada saat melaksanakan sholat sendirian lalu datang Ibnu Abbas Rodhiyallohu anhu dan sholat berjamaah bersamanya. Demikan juga dengan sahabat yang dilihat oleh Rosululloh Sholollahu alaihi wa Salam sholat sendirian maka beliau menganjurkan agar orang lain sholat bersamanya, dalam riwayat Baihaqi (lalu berdiri seorang sahabat dan sholat bersamanya). Maka hal ini tidak ada perbedaan apakah ia munfarid (sholat sendirian) atau Masbuq, tidak terlarang untuk bermakmum kepadanya untuk mendapatkan pahala sholat berjamaah.
#abu abdillah
assalamu’alaikum.. tulisan antum sangat bermanfaat bagi para penuntut ilmu agar memiliki ilmu yang dalam yang insya Allah akan membuahkan akhlakul karimah dalam berda’wah.
jazaakallah khoiran katsiron
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS: Ali Imran: 159).
jzk atas pencerahannya
Assalamualaikum, wr. Wb.
Afwan, setelah menyimak rentetan hadits yang disajikan oleh akhi Abu Said, saya tidak menjumpai hujjah yang berkenaan dengan bolehnya seorang ma’mum menjadi Imam kedua untuk ma’mum yang lainnya ataupun ma’mum yang masbuk, yang saya jumpai dari hadits hadits tersebut hanyalah mengenai formasi shalat berjamaah yang dijelaskan dalam hadits 1 sampai dengan yang ke 3, dimana dibolehkannya/ tidak dilarang ketika makmum memanjang kesebelah kanan Imam lantaran posisi Imam paling kiri di tempat yang sempit.
Adapun hadits yang ke empat adalah menunjukkan keutamaan shalat berjamaah ketimbang munfarid sehingga ketika ada seorang yang shalat munfarid karena sudah ketinggalan shalat berjamaah( shalat berjamaah telah selesai) maka hendaklah ada yang menemani( menjadi makmumnya) meskipun dia sudah selesai shalat /telah mengikuti shalat berjamaah.
Jadi, dari hadits hadits di atas sama sekali tidak ada hujjah yang menunjukk
#abu said
Dalam 4 dalil tsb tdk ada yg menyebutkan kaidah masbuq menjadi imam utk masbuq lainnya.
Mohon koreksi jika saya salah.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Maaf sebelumnya Ustadz, saya agak keberatan dengan CATATAN ustadz tentang sebagian orang yg membid’ahkankan perkara tersebut karena masih ganjil bagi saya mengapa tidak boleh membid’ahkan perbuatan tersebut. yang saya tau apa bila seseorang yang masbuq dengan Imam yang sedang shalat berjamaah maka ia telah mendapatkan niat shalat berjamaah hanya saja ia harus menyempurnakan bilangan rakaat yang tertinggal. lantas apa yg mendasari perbuatan tersebut, sedangkan niat shalat berjamaah sudah didapatkan. mengapa hal tersebut tidak termasuk bid’ah, padahal dalil2 yang Ustadz sebutkan tidak ada teks yang terkait dalam perkara tersebut. Maaf kalau saya salah, mohon penjelasannya.