Berikut adalah lanjutan dari bahasan mengenai “bai’at” …
كذلك, هذه البيعة كان لها أثرها الكبير ÙÙŠ الÙتنة Øتى بين أهل هذه البيعة الواØدة. Ùينشأ عند رجل Ùكرة Ùلا يجد من يشÙÙŠ غليله Ùيها Ùˆ يطالب بالسكوت Ùˆ يقال له “من اعترض انطرد” ويهدد: أنت Ø£Ùضل من Ùلان Ùˆ أعلم Ùˆ ÙŠÙعل غير ذلك. Ùتبقي الÙكرة تختمر ÙÙŠ ذهنه Ùˆ ÙÙŠ قلبه Ùˆ تطور يوما بعد يوم ولا يجد من ينÙعه Ùˆ ÙŠÙيده. Ùإما أن ÙŠÙجر مشكلة مع هؤلاء Ùˆ إما يسØب بكلية Ùˆ يترك هؤلاء Ùˆ ؤلاء. أما هؤلاء لأنه عر٠ما عندهم Ùˆ أما هؤلاء لإنه قد Øذر منهم Ùˆ اقتنع بأنهم لا يقترب منهم من قريب Ùˆ لا من بعيد. الأمر الذي يؤدي ÙÙŠ النهاية ربما إلى الانتكاسة
Dampak buruk yang keempat, bai’at semacam ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi timbulnya berbagai problem bahkan di antara sesama anggota dalam satu kelompok. Ada salah satu anggota yang memiliki suatu pemikiran (boleh jadi bersifat kritikan, pent) namun dia tidak menjumpai orang yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Bahkan dia diharuskan untuk diam dan mendapatkan ancaman, ‘siapa yang ngeyel pasti akan didepak’. Dia juga ditakut-takuti, ‘apakah kamu ini lebih baik dan lebih pintar dari pada A’ (pada kenyataannya si A tidak pernah mempermasalahkannya, pent). Dia juga mendapat perlakuan yang lain.
Akhirnya pemikiran tersebut hanya tersimpan dalam benaknya dan terus berkembang seiring berjalannya waktu karena tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Sehingga dia dihadapkan pada dua pilihan antara membuat masalah dengan kelompoknya sendiri atau menarik diri dari dunia dakwah secara total tidak lagi bersama kelompoknya namun juga tidak bersama yang lain.
Tidak lagi bersama kelompoknya karena dia telah mengetahui borok kelompoknya. Tidak juga bersama yang lain karena dia telah diingatkan oleh kelompoknya tentang borok yang ada pada kelompok di luar kelompoknya yang dulu. Dia juga sudah yakin tentang tidak bolehnya mendekati kelompok-kelompok yang lain. Hal ini boleh jadi menyebabkan dirinya menjadi berbalik (menjadi orang awam lagi, pent).
هذه البيعة أصبØت Øجرا أطرا Ùˆ Øائلا بين الناس Ùˆ بين كثير من وجوه الخير. كي٠يقال بعد هذا أنها كبيعة الرسول Ùˆ الصØابة, كبيعة الرسول- لما قال “بايعوني على كذا Ùˆ كذا”. Ùرق كبير ينبغي أن يوضع الاستدلال ÙÙŠ موضعه
Nyata sudah, bahwa bai’at-bai’at semacam ini menjadi batu penghambat dan tirai yang menghalangi banyak orang untuk mendapatkan berbagai kebaikan. Setelah penjelasan di atas, bagaimana mungkin kita katakan bahwa baiat semacam ini semisal dengan bai’at Rasul dengan para shahabat, sebagaimana bai’at Rasul tatkala berkata kepada para shahabat, “bai’atlah aku untuk demikian dan demikianâ€. Terdapat perbedaan yang sangat di antara dua baiat ini. Sepatutnya kita letakkan dalil pada tempatnya yang tepat.
عندما يقال إن النبي-عليه الصلاة Ùˆ السلام-قد شرع الإمارة ÙÙŠ الاجتماع القليل الطارئ ÙÙŠ السÙر Ùمن باب الأولي أن يكون ذلك ÙÙŠ الاجتماع العظيم المستقر نقول:نعم, لكن ÙÙŠ موضعه Ùˆ ÙÙŠ بابه. ÙÙŠ السÙر نعم. أما إذا كنا مستقرين Ùلماذا؟ إذا كنا مستقرين Ùالناس يرجعون إلى والي أمرهم. هناك والي الأمر. الناس يسمعون Ùˆ يطيعون. Ùإذا خرجنا ÙÙŠ Ùلاة من الأرض Ùيكون لنا أمير يأمرنا Ùˆ ينهانا Ùإذا استقررنا ÙÙŠ مصر من الأمصار أصبØنا نتبع ما يقوله والي هذه البلدة. Ùقياسات ÙÙŠ غير موضعها Ùˆ نصوص توضع ÙÙŠ غير موضعها
Jika ada yang beralasan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyariatkan pengangkatan pemimpin dalam sebuah perkumpulan orang yang jumlahnya sedikit dan berkumpul karena sebuah keperluan yaitu bepergian jauh maka tentu lebih layak lagi adanya pemimpin dalam perkumpulan yang besar dan terus menerus.
Kami katakan, memang namun masalah ini harus kita letakkan pada posisi yang tepat. Mengangkat pemimpin untuk sebuah rombongan orang yang mengadakan perjalanan jauh memang benar. Namun jika sudah tidak lagi bepergian, mengapa masih ada pengangkatan pemimpin? Jika tidak dalam kondisi bepergian, maka yang dijadikan acuan adalah aturan penguasa yang ada. Dalam kondisi ini, ada penguasa. Masyarakat pun mendengar dan taat dengan aturan penguasa. Nah, ketika kita bepergian baru kita memiliki pmimpin sementara yang mengatur kita selama dalam perjalanan. Sedangkan ketika kita berdomisili di suatu tempat maka kita mengikuti peraturan penguasa di daerah itu. Dalil di atas adalah analog yang tidak tepat dan dalil yang dipahami secara tidak tepat.
Ùأنتم طلبة العلم Ùقط تأخذون العلم, تستÙيدون منه Ùˆ تـنتÙعون بالعلم. لا تشتغلون أنÙسكم بالتكتلات. لا تشتغلون أنÙسكم بتجمعات ضيقة. Ùلتكن Ø¢Ùاقكم واسعة. الخير من أي إنسان خذوه. والشر من أي إنسان دعوه. تربوا على علم ناÙع لتعرÙوا على الØÙ‚. اعر٠الØÙ‚ تعر٠رجاله. لا تعر٠الØÙ‚ بالرجال ولكن اعر٠الØÙ‚ تعر٠رجاله. Ùإذا عرÙتم الØÙ‚ Ùخذوه من أي جماعات ومن أي طائÙØ© Ùˆ من أي عالم. Ùˆ إذا عرÙتم الباطل ÙاØذروا منه من أقرب الناس إليكم Ùضلا عن البعيد. Ùˆ تعاونوا على البر Ùˆ التقوى
Kalian adalah para penuntut ilmu. Kewajiban kalian hanyalah belajar dan mengamalkan ilmu yang telah didapat. Jangan sibukkan diri kalian dengan kelompok-kelompok yang sempit. Hendaklah kalian memiliki cakrawala yang luas.
Ambillah kebaikan dari semua orang dan tinggalkan keburukan dari setiap orang. Didiklah diri kalian sendiri dengan ilmu yang manfaat sehingga kalian mengetahui kebenaran. Kenalilah kebenaran, tentu kalian akan bisa mengetahui para pembelanya. Jangan ukur kebenaran dengan person tertentu. Jika kalian benar-benar mengetahui adanya sebuah kebenaran maka ambillah dari kelompok manapun dan ulama manapun. Jika kalian mengetahui adanya sebuah kebatilan maka jauhilah meski itu dikatakan oleh orang yang kita cintai, terlebih lagi jika selainnya. Hendaknya kalian saling tolong menolong dalam melakukan kebaikan.
ÙÙŠ الØقيقة ÙŠØصل الإÙراط Ùˆ التÙريط. إما البيعة تمسك الناس بهذا التى ذكرت قبل القليل. Ùˆ إما الÙوضى Ùˆ الÙلتة. كل يذهب Øيث ولا وجهه. هذا غير صØÙŠØ, لا هذا ولا ذاك.
أراد أصØاب البيعة أن يضبط العمل Ùˆ أن يوجهه توجيØا صØÙŠØا Ùسلكوا وسيلة خاطئة. Ùˆ أراد أصØاب الÙوضى Ùˆ الÙلتة أن ينكروا هذا التØزب Ùˆ هذا التكتل Ùسلكوا وسيلة خاطئة. Ùˆ هي الÙوضى Ùˆ التÙلت. ليس هذا Ùˆ لا ذاك. لا هذا الطريق صØÙŠØ ÙˆÙ„Ø§ ذاك صØÙŠØ
Sebenarnya dalam realita, terdapat sikap berlebih-lebihan dan sikap meremehkan. Ada fenomena bai’at untuk mengikat orang yang baru saja kita bahas. Ada juga kekacauan dan ketidakteraturan. Masing-masing orang berbuat sekehendaknya sendiri. Dua fenomena ini tidaklah benar baik yang pertama maupun yang kedua. Orang yang membuat-buat bai’at ingin meneraturkan kerja dakwah dan mengarahkannya dengan benar namun mereka menempuh jalan yang tidak benar. Sedangkan orang-orang yang memiliki fenomena ‘kekacauan’ sebenarnya ingin mengingkari fenomena kekelompokan namun mereka menempuh jalan yang keliru itulah kekacauan dan ketidakteraturan. Keduanya bukanlah jalan yang benar.
لا بد أن يكون أهل الØÙ‚ متعاونين على البر Ùˆ التقوي. لا بد أن يتناصروا. لا بد أن يعين بعضهم بعضا. وهذا لا بد Ùيه من الاجتماع ولكن يكون الاجتماع على وسيلة شرعية. Ùˆ هذا هو السنة. ولذلك سموا أهل السنة Ùˆ الجماعة. ما سموا باسم دون اسم, السنة Ùˆ الجماعة. السنة ÙÙŠ الاجتماع Ùˆ الاجتماع ÙÙŠ السنة. Ùعندما تتعاونون على البر Ùˆ التقوي. تتعاونون على العلم Ùˆ تتناصرون. يجتمع القادة ÙÙŠ العمل Ùˆ كبار الدعوة ÙÙŠ المØاÙظة ÙÙŠ المديرية, ÙÙŠ الدولة, ÙÙŠ العالم. Ùˆ يتشاورون Ùيما بينهم, Ùيما يتعلق بالدعوة إلى غير ذلك. هذا الذي يرضي الله عز Ùˆ جل
Pembela kebenaran haruslah tolong menolong dalam kebaikan, saling membela dan membantu. Untuk itu, harus ada perkumpulan namun perkumpulan dengan cara yang dibenarkan oleh syari’at. Inilah yang sesuai dengan sunnah. Oleh karena itu, para pembela kebenaran itu disebut ahli sunnah wal jamaah. Mereka tidak memiliki nama yang lain selain sunnah dan jamaah. Sunnah dalam berjamaah dan berjamaah (baca: bersatu) di atas sunnah. Saat kalian bekerja sama untuk melakukan kebaikan dan kalian saling tolong menolong dan saling membela dengan dasar ilmu, para senior dalam dakwah dan perjuangan dalam satu propinsi atau kabupaten atau negara atau dunia bisa berkumpul dan bermusyawarah membicarakan problematika dakwah dan yang lainnya. Inilah amal yang diridhoi oleh Allah.
وهنا السؤال؟ هل يمكن التعاون على البر Ùˆ التقوي دون المبايعات هذه أو لا يمكن؟ هذا السؤال, يمكن أو لا يمكن؟ الجواب: يمكن. إذا ما Ù†Øتاج إليها. لو قيل: لا يمكن التعاون على البر Ùˆ التقوي الا بها, قلنا: نعم. هي الوسيلة لا بد أن نعمل بها. لكن قد أثبت الواقع امكانية ذلك
Ada pertanyaan, “Apakah mungkin ada tolong menolong dalam kebaikan tanpa bai’at?†Jawabannya adalah mungkin. Jika demikian, kita tidak membutuhkan bai’at-bai’at semacam ini. Seandainya tidak mungkin tolong menolong dalam kebaikan kecuali dengan bai’at tentu akan kita katakan bahwa bai’at adalah sebuah sarana yang harus kita pakai. Akan tetapi realita membuktikan bahwa mungkin saja ada kerja sama dalam kebaikan tanpa baiat.
الشيخ ابن باز عالم. علمه منتشر ÙÙŠ المشارق Ùˆ المغارب. الشيخ ابن عثيمن كذلك. الشيخ الألباني كذلك. العلماء كثيرون ÙÙŠ المشارق Ùˆ المغارب. انتشر علومهم Ùˆ انتÙع الناس بهم. Ùˆ تعاونوا Ùيما بينهم. Ùˆ تواصلوا Ùيما بينهم. وكل منهم يكمل الآخر دون بيعة تجمعهم Ùˆ دون عهد يربطهم. ولكن كل منهم Øمل هم الدعوة ثم أدرك أن أخاه ÙÙŠ جانب أخر أو ÙÙŠ ثغر أخر هو يقوم ببعض ما أوجب الله عليه ÙØØ« عليه Ùˆ رغب الناس ÙÙŠ الاستÙادة منه. ÙØصل التعاون Ùˆ Øصل الخير
Syeikh Ibnu Baz adalah seorang ulama yang ilmunya tersebar di seluruh penjuru dunia. Demikian pula, Syeikh Ibnu Utsaimin dan Syeikh Al Albani. Terdapat banyak ulama di seluruh belahan dunia. Ilmu mereka tersebar dan banyak orang yang mendapatkan manfaat dengan keberadaan mereka. Para ulama saling bekerja sama dan saling berhubungan. Sebagian mereka melengkapi apa yang telah dilakukan oleh pihak lain tanpa ada bai’at yang menyatukan mereka dan tanpa ada perjanjian yang mengikat mereka. Masing-masing mereka memikirkan dakwah kemudian memahami bahwa saudaranya menekuni suatu bidang yang dengan itu maka dia telah melakukan sebagian kewajiban yang Allah bebankan kepadanya. Setelah itu, pihak yang lain memotivasi saudaranya tersebut untuk terus melakukan apa yang telah dia lakukan dan dia semangati umat untuk mengambil manfaat dari saudaranya. Dengan ini, ada kerja sama dan terwujudlah banyak kebaikan.
ما يكون التعاون الا بالبيعة المبتدعة Ùˆ لا يكون التعاون الا بالبيعة المØدثة, هذا غير صØÙŠØ. Ù†ØÙ† لا نسلم بأنه لا ÙŠØµØ Ø£Ùˆ لا يمكن اتمام العمل الا بالبيعة. Ù†ØÙ† لا نسلم بهذه المقدمة. لو سلمنا بهذه المقدمة لقلنا بوجوبها. Ù†ØÙ† لا نسلم بهذه المقدمة Ùˆ الواقع خير دليل علي ذلك
Tidaklah benar anggapan yang mengatakan bahwa kerja sama dalam kebaikan hanya bisa diwujudkan dengan adanya baiat yang bid’ah dan mengada-ada. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Kami tidak menerima asumsi bahwa usaha memperjuangkan Islam hanya bisa terwujud dengan bai’at. Sekali lagi, asumsi ini tidak kami terima. Andai asumsi ini kami terima tentu kita katakan bahwa bai’at semacam ini hukumnya wajib. Asumsi ini kami tolak dan realita adalah bukti paling kuat yang menunjukkan tidak benarnya hal ini.
ولكن صØÙŠØ Ù‡Ù†Ø§Ùƒ ما عكر Ùˆ كدرهذا الواقع عندما وجد من بعض السلÙيين المخاطر Ùˆ تضييع للجهود أو بعض الجهود ولكن هذا لم يكن Ùقط بسبب أنهم ليسوا مبايعين, لم يكن بسبب أنهم تركوا البيعة ولكن هذا للنـزغ عندهم Ùˆ الطيش. عندهم طيش لا ÙŠÙقهون. Øصل منهم هذا. ولو كانوا مبايعين Ùˆ عندهم طيش Ù„Ùعلوا هذا أيضا
Memang beralasan dengan realita ini memang kurang tepat ketika jumpai sejumlah salafi melakukan hal-hal yang bersifat gambling dan membuang-buang energi atau sedikit energi. Namun hal ini terjadi bukan hanya dikarenakan mereka tidak terikat dengan bai’at dan menolak bai’at-bai’at semacam ini. Yang tepat, faktor pokok terjadinya hal tersebut adalah godaan setan sehingga sembrono dalam bertindak. Orang-orang tersebut sembrono dan tidak memahami permasalahan dengan tepat. Inilah yang sebenarnya terjadi. Andai mereka terikat dengan baiat, namun sembrono tersebut masih ada pada diri mereka maka mereka tetap akan melakukan hal tersebut.
لكن من Ùقه هذا الدين Ùقها صØÙŠØا يتعاونون على البر Ùˆ التقوي دون هذه البيعة التي ÙÙŠ بلاد الإسلام Ùˆ التي تÙرقوا المسلمين Ùˆ تشتت جهودهم Ùˆ تغير صدور بعضهم على بعض. Ùˆ الØمد لله الذي عاÙانا من هذا. Ùˆ نسأل الله أن يتم مسيرتنا جميعا على خير
Siapa saja yang memahami agama ini dengan baik tentu akan bisa bekerja sama dalam kebaikan tanpa ada bai’at semacam ini. Bai’at yang ada di dalam negeri Islam semacam ini hanya memecah belah kaum muslimin dan mencerai beraikan hasil jerih payah mereka serta memancing emosi pihak-pihak tertentu. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari hal ini. Kita memohon kepada Allah agar Allah menyempurnakan langkah-langkah kita dengan kebaikan.
bagaimana kalo kita sudah terlanjur berbai’at dengan suatu kelompok dakwah?
Wajib keluar dari ikatan baiat tersebut karena ikatan baiat tersebut tidak sah disebabkan baiat itu adalah bai’at bid’ah.
lalu apakah bai’at tersebut bisa dianggap seseorang telah bersumpah dengan saudara muslim yang lain, sehingga cara membatalkannya pun harus mengikuti persyaratan membatalkan sumpah?
Untuk Imam. Tidak ada syarat-syarat tertentu untuk membatalkan sumpah dan baiat. cukup dengan dianggap tidak ada dan dilanggar isi yang ada di dalamnya.
Berarti Baiat pada golongan tidak dibenarkan.
Dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa Imam yang lebih berhak diBaiat adalah yang paling awal diangkat dengan cara Baiat. Seharusnya seluruh kaum muslimin berBaiat atas Imam yang awal ini. Apabila sebagian besar kaum muslimin tidak mau berBaiat pada Imam yang awal ini sehingga terjadilah Baiatnya Jamaahnya Imam yang awal ini dianggap sebagai Baiat pada kelompok / golongan bukan pada pemimpinnya kaum muslimin, itu bukanlah salahnya Imam yang paling awal diBaiat tersebut, juga bukan salahnya warga Jamaah yang berBaiat pada Imam yang awal tersebut. Namun itu adalah kesalahan kaum muslimin yang tidak mau mengikuti perintah / Hadits dari Nabi, yaitu harus mengikuti Imam yang paling awal diangkat dengan cara Baiat.
Untuk Saudara
1. Benar, baiat kepada kelompok atau golongan itu tidak boleh. Baiat hanya ada pada penguasa sah yang punya kedaulatan, rakyat dan tanah.
2. Hadits tersebut berlaku untuk imam dalam pengertian penguasa yang sah. Setelah kaum muslimin terkotak-kotak dalam banyak negara, hadits tersebut berlaku untuk masing-masing negara sebagaimana fatwa Syaukani. Jika dalam satu negara telah dibaiat atau telah diangkat seorang penguasa maka penguasa kedua yang diangkat di negara tersebut tidak sah.
“Negara” adalah istilah orang zaman sekarang. Apapun istilahnya di zaman nabi dulu, yang penting perlu dijelaskan apakah syarat / ciri-ciri orang-orang Islam dikatakan sudah membentuk suatu “negara”. Jika melihat point no.1 diatas apakah berarti syarat / ciri-ciri orang-orang Islam dikatakan sudah membentuk suatu “negara” adalah sama dengan syarat / ciri-ciri seseorang dikatakan sebagai penguasa yang sah yaitu punya kedaulatan, rakyat dan tanah?
1. Mengenai syarat untuk melaksanakan Baiat yaitu harus adanya kedaulatan, apakah penjelasan arti dari kedaulatan? apakah kedaulatan itu harus mendapat mengakuan dari lembaga non muslim yang lebih besar / lebih kuat (kalau saat ini misalnya PBB)? Bagaimana dengan contoh di zaman nabi dulu, apakah untuk melaksanakan Baiat harus mendapat pengakuan dari kekuatan lembaga / perkumpulan non muslim?
2. Mengenai syarat harus adanya Rakyat, berapakah jumlah minimal orang / Rakyat untuk melaksanakan Baiat?
3. Mengenai syarat harus adanya Tanah / wilayah, berapakah luas minimal Tanah / wilayah untuk melaksanakan Baiat?
Untuk Saudara
Baiat hanya diberikan kepada penguasa yang punya sulthoh (kekuasaan) sehingga dia bisa menjalankan fungsinya sebagai penguasa dengan baik. Bisa melakukan perlawanan jika ada negara kafir yang menyerang. Bisa menerapkan hukuman terhadap orang atau rakyatnya yang salah.
Sedangkan orang yang mengaku menjadi amir atau penguasa namun dia tidak bisa berbuat apa-apa jika ditangkap polisi bahkan dia takut kalau identitasnya diketahui oleh orang lain tentu bukanlah seorang penguasa dan sama sekali tidak layak mendapat hak-hak seorang penguasa.
Sambil merangkum kesimpulan:
1. Baiat harus kepada Imam yang paling awal diangkat dengan cara Baiat.
2. Untuk malaksanakan Baiat tidak harus mendapat mengakuan dari lembaga non muslim yang lebih besar / lebih kuat (kalau saat ini misalnya PBB)
3. jumlah minimal orang / Rakyat untuk melaksanakan Baiat? (masih jadi pertanyaan)
4. tidak ada luas minimal wilayah kekuasaan untuk melaksanakan Baiat
Mengenai “Bisa melakukan perlawanan jika ada negara kafir yang menyerang”.
Saya pikir semua kekuatan lembaga-lembaga muslim yang ada di dunia ini (sekecil apapun), mereka bisa melakukan perlawanan jika ada negara kafir yang menyerang. Yang jadi pertanyaan, apakah dalam melakukan perlawanan, hasilnya harus menang baru boleh melaksanakan Baiat? Kalau harus menang berarti kekuatan lembaga muslim ini haruslah sudah mencapai taraf yang paling kuat di dunia (super power), baru boleh melaksanakan Baiat. Apakah demikian?
Tolong di kirim tanda ke Email saya, apabila sudah ada tanggapan.
untuk ‘saudara’
memang benar harus mengikuti yg awal. Tapi yang awal ini harus dibai’at oleh musyawarah kaum muslimin sebagaimana kata Umar bin Khattab, atau oleh tokoh2 kaum muslimin, ditunjuk oleh penguasa sebelumnya, atau org yang dibai’at pertama itu berkuasa dengan kekuatannya. Jadi bukan cukup hanya dibai’at 2, 3 atau 4 org2 awam, rakyat biasa dan org2 yang tidak dikenal, apalagi bai’at itu secara rahasia pula sebagaimana dilakukan oleh jama’ah-jama’ah bid’ah.
misalkan ada kemudian org yang awal itu kalah oleh yg datang kemudian, maka yg diakui sebagai imam adalah yang datang kemudian sebagaimana kata para imam ahlus sunnah semisal Imam Ahmad. kata Ibn taimiyyah, bahwa keimaman yang diakui itu adalah yg berkuasa, bukan orang yang dianggap berhak. buktinya para ulama ahlus sunnah tidak pernah mengakui keimamman kaum syi’ah yg imam2nya tidak pernah berkuasa, walaupun org syi’ah mengnggap imam2 mrk itu lebih berhak atas kekuasaan.
syubhat seperti ini sering diajukan oleh mereka yang terpengaruh bai’at2 hizbbiyyah.
salam buat Ustadz.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apakah saat ini ada Imam yang memenuhi syarat-syarat sebagai Penguasa yang sudah diangkat dengan cara Baiat & masih exist sampai saat ini?
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk Saudara
Adanya baiat bukanlah syarat sah seorang pemimpin/imam bahkan ada orang yang dibaiat sebagai imam namun dia bukanlah imam yang sah.
Untuk Abu Abdillah
Wa’alaikumussalam
Teruskan perjuangan untuk menyadarkan umat dari aliran sesat LDII. Beberapa waktu yang lewat saya sempat bincang-bincang dengan joko pemilik situs http://www.354hijrah.wordpress.com
Ini ada blog kepunyaan ikhwah yang sudah hijrah dari LDII
http://rumahku-indah.blogspot.com
http://airmatakumengalir.blogspot.com/
http://www.354hijrah.blogspot.com/
Mudah-mudahan bermanfaat
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dari beberpa hadits tentang bai’at yang saya tahu, benarkah jika saya mengatakan bahwa:
Bai’at adalah janji / sumpah kepada Imamnya Jamaah untuk mendengarkan & taat pada apa-apa yang kita mampu, pada apa-apa yang tidak maksiat (tidak bertentangan dengan Al Qur’an & Al Hadits).
Apakah dasar hukum hakikinya Bai’at? apakah wajib, sunah atau apa?
Tolong saya dibantu & dikoreksi agar saya tidak salah dalam memahami syariat Bai’at. Agar saya tidak terpengaruh pada Bai’at-Bai’at Bid’ah.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk Saudara
Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barokatuh
baiat yang syar’i adalah janji setia untuk mendengar dan taat kepada penguasa suatu negeri kaum muslimin.
Berbaiat kepada penguasa itu hukumnya wajib kifayah. Jika dewan syuro sudah membaiat penguasa yang sah maka baiat tersebut mengikat seluruh kaum muslimin di negeri tersebut.
Uhibbukum fillah..
Ustadz,apakah ada ucapan2 terntu di dlm bai’at Syar’i ?
Smoga Allah snantiasa mmbrikan kesehatan buat Ustadz guna aktifitas trutama dlm da’wah yg barakah ini.
Untuk Budi
Setahu saya tidak ada.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Setahu saya saat ini yang sebagai penguasa adalah SBY.
Apakah benar SBY adalah Imamnya Jama’ah kaum muslimin yang lebih berhak / wajib untuk diBai’at saat ini?
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk Saudara
Wa’alaikumussalam wa rohmatullahi wabarokatuh
Benar, beliau adalah imam atau pemimpin kaum muslimin di Indonesia. Wajib menyakini beliau sebagai pemimpin kita jika tidak maka berarti kita akan mati dalam keadaan tidak punya pemimpin alias mati jahiliah.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dijelaskan diatas bahwa syariat Bai’at hukumnya adalah wajib kifayah. Setahu saya wajib kifayah artinya jika sudah ada orang Islam yang melaksanakan maka orang Islam yang lain sudah gugur kewajibannya (tolong dikoreksi jika saya salah).
Jika sudah ada orang Islam yang berBai’at kepada SBY (misalnya seperti contoh diatas adalah jika dewan syuro yang sudah berbai’at pada SBY), apakah kita juga boleh untuk ikut melaksanakan Bai’at kepada SBY (jika ada kemungkinan kita dapat melaksanakan itu)? Bagaimana hukumnya? Apakah sunah, wajib, haram atau apa?
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Untuk Saudara
Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh
Abu Bakr dibaiat sebanyak dua kali. Pertama, di Tsaqifah Bani Sa’idah oleh anggota dewan syuro. Kedua, di masjid Nabawi dibaiat oleh kaum muslimin yang ada di masjid saat itu.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadzaris menuliskan bahwa hukum Bai’at itu adalah wajib kifayah.
Tolong ditunjukan salah satu dalil yang paling kuat / paling membuktikan (yang ada kata Bai’atnya) yang menunjukkan bahwa Bai’at adalah wajib & juga dalil yang menunjukkan bahwa wajibnya adalah wajib kifayah.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Wa’alaikumussalam wa rohmatullahi wa barokatuh.
Tolong baca kitab imaroh dari Shahih Muslim dan penjelasan ulama semisal an Nawawi untuk hadits-hadits yang ada di sana.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mengapa pertanyaan saya pada Oktober 31, 2009 at 7:19 PM yang menanyakan sudah adakah yang melaksanakan Bai’at kepada SBY, langsung dihapus?
Jika belum ada seorang pun yang melaksanakan Baiat kepada Imamnya Jamaahnya kaum Muslimin yaitu SBY (Jika SBY dianggap sebagai Imamnya Jamaahnya kaum Muslimin), berarti Ustadzaris termasuk orang yang jika mati, matinya disamakan seperti matinya orang jahiliyyah, karena menurut Ustadzaris, Baiat adalah wajib kifayah. Barang siapa yang mati dan tidak ada di lehernya Baiat, maka dia mati seperti matinya orang Jahiliyyah.
Setahu saya, orang yang jahiliyyah yaitu orang yang bodoh / tidak tahu / tidak mengerti agama Islam sehingga malakukan larangan-larangan agama Islam & / tidak mengerjakan perintah-perintah dalam agama Islam, misalnya membunuh anak perempuannya yang baru lahir, berzina, menyembah berhala / patung / batu / matahari / api / jin dll, tidak mengerjakan sholat, puasa, zakat, dll.
Apakah Ustadzaris menganggap mati seperti matinya orang jahiliyyah hanya berarti mati tanpa pemimpin / imam? Tidak ada konsekuensi diakherat?
Apakah Ustadzaris meremehkan Hadits Nabi ini?
Apakah Ustadzaris mau menantang Nabi yang mensabdakan Hadits itu untuk menunggu sampai di akherat untuk mengetahui konsekuensi apa di akherat, bagi orang yang matinya dihukumi seperti matinya orang jahiliyyah?
Apakah Ustadzaris mau, matinya dihukumi seperti matinya orang jahiliyyah?
Apasih susahnya malaksanakan Baiat? Kalau tidak bisa bertemu SBY secara langsung, kan bisa pakai surat untuk menyatakan Baiat, seperti yang dicontohkan dalam hadits Bukhori. Atau pakai SMS, atau pakai apalah, yang penting Ustadzaris & teman-teman pengajiannya (kalau tidak salah yang mengaku salafi) sudah berusaha untuk malaksanakan baiat.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Assalamu ‘alaikum,
pertanyaan “saudara” tentang mati jahilyah sudah pernah dijawab oleh syaikh utsaimin, berkenaan beberapa negara islam yang tidak bisa melaksanakan pembai’atan syr’i karena kegoncangan politik.dll. pemahaman “sudara” tentang bai’at sangat sempit yakni “ia harus datang sendiri kepada imam dan berjabat tangan dan ikrar bai’at..baru merasa dirinya telah bai’at” seperti yang saya alami dulu..
yang menjadi kewajiban rakyat adalah berkeyakinan,iltizam, bahwa ia sdh memiliki pemimpin dan tidak menentangnnya, maka keadaan semacam ini berarti sdh terdapat tali bai’at dilehernya.ini adalah rangkuman dari jawaban syaikh utsaimin yang mana beliau hadir langsung dalam pembai’atan raja fahd
untuk selanjutnya kepada “saudara” yang memiliki keinginan yang kuat, saya harapkan untuk mempelajari al-qur’an, alhadits dilengkapi dengan kitab tafsir yang mu’tabar,kitab syarah hadits, dan kitab siroh,kitab ahlu as-sunnah dari zaman ke zaman ,baru kemudian membangun pemahaman islam ini dengan baik, termasuk masalah bai’at didalamnya,
jangan dipreteli penahamannya, yakni, diambil yang mencocoki dan ditinggalkan/disembunyikan keterangan yang tidak mencocoki pemikirannya lalu kemudian didoktrinkan….kalau ini yang terjadi ia tidak akan jauh kebenaran
tetapi saya sangat senang dengan pertanyaan “saudara” yang memang perlu dijawab secara runut…(bila “saudara” berniat untuk mencari kebenaran,bukan terbelenggu dengan subhat karena ta’assub/tahazzub)..karena atas jawaban dari pertanyaan yg demikian itulah sehingga saya keluar dari bai’at jama’ah hizbyah.
Allohu al-musta’an
salam buat, ustadz aris
koreksi…kalau ini yang terjadi ia tidak akan jauh kebenaran..maksudnya ia akan jauh dari kebenaran karena ketidakadilannya…afwan..
Untuk Saudara, Allhu yahdika.
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barokatuh
1. Komentar saudara saya hapus karena anda bertanya untuk mendebat dan bukan untuk bertanya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab dan ditanggapi dengan positif. Sebagian pertanyaan itu dijawab dengan tidak dijawab.
2. Ingat kaedah fiqh, “laa waajiba ma’al ‘ajzi”.
3. Mati jahiliah itu bermakna mati dengan status orang fasik sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Bari, bukan mati sebagai orang kafir, penyembah berhala sebagaimana keyakinan anda. Semoga saya salah dalam memahami perkataan anda di atas.
4. Mati jahiliah artinya adalah mati seperti matinya orang jahiliah yang tidak punya pemimpin. Ingat di masa jahiliah tidak puasa atau raja Mekkah. Inilah keadaan khawarij yang mudah mengkafirkan para penguasa kaum muslimin dan tidak mengakui penguasa muslim sebagai penguasanya. Saya berharap saudara tidak termasuk bagian dari mereka.
5. Satu hal yang perlu ditelaah ulang apakah baiat dengan berjabat tangan adalah sebuah keharusan dan syarat sah baiat? Adakah dalil yang mengharuskannya? Adakah perintah dari Nabi yang mengatakan harus demikian? Bagaimana dengan para shahabiah yang berbaiat tanpa jabat tangan? Sahkah baiat mereka?
6. Menjadi salafi adalah kewajiban semua kaum muslimin karena salafi adalah orang yang mengikuti Nabi dan para shahabat dalam beragama. Tidakkah saudara ingin mengikuti Nabi dalam beragama? Tidakkah saudara ingin mengikuti para shahabat dalam beragama? Tidakkah saudara ingin menjadi salafi?
Buat Saudara
Wa’alaikumussalam warohmatullah wa barokatuh
SBY bukan hanya ‘dianggap’ namun realita dan kenyataan bahwa beliau adalah imam atau penguasa bagi kaum muslimin di Indonesia. Kecuali jika anda tidak mau mengakuinya sebagai pemimpin kaum muslimin. Moga saya salah sangka.
Pertanyaan antum sudah saya jawab dengan isyarat namun nampaknya anda tidak bisa menangkap isyarat tersebut.
Assalamu’alaykum…
Ustadz Aris Munandar, Saya ingin bertanya tentang sejarah:
Apakah penyebab Mu’awiyah tidak mau berbai’at kepada ‘Ali bin Abu Thalib setelah kematian khalifah ‘Utsman bin Affan?
Saya pernah mendapat jawaban dari teman saya mengenai hal ini, bahwa penyebabnya adalah Mu’awiyah ingin pembunuh ‘Utsman bin Affan di tangkap dan di-qishas terlebih dahulu sebelum ba’iat kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Apakah jawaban teman saya ini tepat? Seandainya jawaban ini tidak tepat, lalu bagaimana jawaban yg tepat?
Syukran… Ustadz.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan pahala yg berlipat pada setiap langkah antum dalam menyebarkan ilmu syar’i yg barakah ini.
Untuk Ammar
Wa’alaikumussalam
Demikian pula jawabannya menurut sepengetahuan saya.
ustadz, rasanya pertanyaan “Saudara” blm anda jawab. hukum baiat adalah wajib kifayah, yg berarti gugur kewajiban baiat setelah ada “perwakilan” (misal ulama) berbaiat kpd penguasa muslim tsb (dlm hal ini SBY). Nah bukanny tdk ada yg berbaiat kpd SBY di indonesia ini? klo cm taat aja cukup (tdk perlu ada perwakilan) knp jg di Saudi arabia, king saudi msh dibaiat oleh perwakilan ulama2 setempat?
Untuk Andi
Pemerintah kita memang tidak menerapkan hal tersebut dan itu adalah kesalahan mereka. Moga Allah memberi taufik kepada mereka.
Meski demikian, tetap wajib taat kepada penguasa muslim asal bukan dalam masalah maksiat.
terima kasih ustadz atas penjelasanny,, jadi walaupun tanpa adanya perwakilan yg baiat, apakah dgn taat kepada pmerintah SBY berarti kita sudah berbaiat kepada SBY? apakah kita jg berniat dlm hati berbaiat kpd SBY? kmudian ketika presiden kita perempuan misal ktk jaman Megawati apakah berarti kita berbaiat kpd Megawati? bagaimana dgn larangan di Islam ttg pemimpin dr kaum wanita?
maaf ustadz byk pertanyaanny, kbetulan saudara sepupu sy org ldii dn susah sekali sy dlm memberi penjelasan ttg  baiat ini kpd mereka. sy ingin mendapat pemahaman yg jelas shg bs memberi pengertian bid’ahny baiat ini kpd spp sy tsb.
Untuk Andi
1. Memberontak itu haram tapi jika kondisi tidak ideal sehingga pemberontak jadi penguasa maka wajib ditaati. Demikian pula pemimpin wanita.
2. Kewajiban rakyat adalah merasa terikat dengan baiat yaitu menyakini bahwa penguasanya adalah penguasa yang sah dan wajib ditaati.
terima kasih ustadz atas penjelasanny, sy ingin bertanya dn mmperjelas lagi
1. jadi apakah benar walaupun amir/imam tsb ahli bid’ah kita tetap wajib berbaiat kpdny? apakah ada dalil yg bs memperkuat hal ini ustadz?
2. jadi apakah taat kpd penguasa setempat = baiat kpd penguasa tsb ustadz? persoalanny begini, sy tinggal di indonesia jd sy kan taat kpd SBY, berarti sy berbaiat kpd SBY. nah bagaimana ketika misal sy ada tugas 1 thn di saudi arabia yg mana di saudi jg ada baiat kpd king saudi, nah ketika disaudi, sy menaati aturan pnguasa saudi sana dlm 1 thn, apakah berarti sy berbaiat kpd king saudi tsb ktk di saudi arabia krn mentaati peraturan king saudi? Â sy msh krg jelas ttg menaati penguasa yg sama dgn berbaiat ini ustadz.
3. sy pernah smpekn ttg bid’ahny baiat ini kpd sepupu/org ldii yg laen. Tetapi org ldii (yg sdh terlanjur baiat) biasany beragumen bahwa klo pun benar baiat mrk itu bid’ah, toh ulama tdk ada yg mengharamkan baiat ini. mrk beragumen bahwa baiat yg mereka lakukan scr sembunyi2 krn keadaan yg darurat (tdk memungkinkan scr terang2an). dan mereka pun beragumen bahwa mereka msh menaati peraturan pemerintah indonesia (SBY), tdk ada niatan untuk memberontak, jd baiat kpd amir mrk ini cm smata2 dlm rangka beribadah dn menetapi hadits2 yg mewajibkn baiat tsb. kmdian mrk balik bertanya bagaimana jika tyt pemahamn mrk yg benar (wajibny baiat, menaati penguasa stempat saja tdk ckup), mrk balik bertanya bukanny berarti sy tdk ada ikatan baiat? jd disini mrk beranggapan bahwa baiat kpd amir mrk adalah option terbaik dn yg paling aman. sy selalu mentok klo diskusiny sampe disini, mungkin ustadz bs membantu?
maaf ustadz pertanyaanny klo agak aneh2
Â
Untuk Andi
1. a. Hadits nabi tentang taat kepada budak padahal dalam kondisi ideal budak tidak boleh jadi penguasa. Demikian pula ahli bid’ah, dalam kondisi ideal ahli bid’ah tidak boleh jadi penguasa.
b. Ijma ahli sunnah tentang taat kepada penguasa yang asalnya adalah pemberontak.
c. praktek para imam sebagaimana Imam Ahmad. beliau hidup di masa al Makmun yang merupakan penyeru kepada bid’ah kekafiran yaitu al Qur’an adalah makhluk.
2. Kewajiban rakyat adalah merasa terikat dengan baiat meski dia sendiri tidak berbaiat. Orang indonesia yang berada di Saudi wajib taat dan menyakini bahwa raja saudi yang ada adalah penguasa yang wajib dia taati selama dia di Saudi. Ini adalah ijma para imam sebagaimana nukilan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang bisa dibaca di Muamalatul Hukkam
3. a. Banyak ulama yang mengharamkan bid’ah ala LDII. Salaf LDII dalam membuat baiat semacam itu adalah tarekat shufiyyah yang membaiat guru tarekatnya (mursyid). Para ulama telah mengingkari baiat bid’ah kepada guru ngaji ala shufiyyah dan LDII. Tolong baca buku al Baiah baina as Sunnah wal Bid’ah karya Ali al Halabi (bisa didown load di situs resmi beliau) dan Hukmul Intima’ karya Bakr Abu Zaid.
b. Baiat sembunyi-sembunyi adalah kesesatan sebagaimana perkataan Umar bin Abdul Aziz, tolong baca artikel “pengajian sembunyi-sembunyi” yang ada di blog ini.
Baiat itu diberikan kepada imam, imam itu disebut imam karena fil amam (berada di depan, terang-terangan bukan sembunyi). Imam disebut juga amir karena memiliki imarah (kekuasaan, kalo amir bisa ditangkap polisi itu bukan amir). Imam disebut juga ulil amri yang maknanya pemilik hak untuk memerintah, kalo amir malah diperintah atau diatur maka bukan amir namanya.
Menyakini adanya imam yang sembunyi adalah akidah syiah rafidhah. Imam yang diyakini sebagai penguasa dan dibaiat adalah orang yang tidak sembunyi dan punya kekuasaan. Baca Muamalatul Hukkam karya Abdussalam Barjas.
Siapa salaf LDII dalam masalah ‘tidak cukup mentaati penguasa setempat’? Lau kana khoiron lasabuna ilaihi.
Pemerintah telah memerintahkan orang LDII ketika masih berbentuk Islam Jamaah atau Darul Hadits untuk bubar namun mereka lebih memilih taat pada amir yang sembunyi dari pada amir yang nyata dengan ganti nama menjadi LDII. Ini bukti kalo mereka itu membangkang dan tidak mau taat.
Sepenggal Kisah bersama Ikhwan
Â
“Akhiy, antum boleh berbeda, tapi jangan tafarruq dari jama’ah; dosa besar!â€
“Sesungguhnya jika kamu tidak dengan mereka, engkau tidak dengan selainnya, sementara mereka jika tidak dengan kamu, mereka bisa dengan selainmu.â€
Dua ucapan yang hingga kini masih aku kenang, pertama diucapkan langsung di sebuah masjid, dan yang kedua mampir di handphone-ku dalam bentuk pesan singkat. Dua ucapan yang mengiringi pamitku dari sebuah jama’ah besar, Ikhwanul Muslimin.
Pada tahun 2003 akhir, saat itu aku menghampiri salah seorang teman kuliahku. Aku sampaikan padanya, â€Mbok, aku dicarikan guru ngaji.†â€Serius nih?†’Ya,†jawabku singkat.
Beberapa hari kemudian, datang sebuah sms ke hp-ku. â€Ana dengan antum ingin ngaji, kita ketemu besok pagi.†Paginya aku ketemu dengan beliau, seorang mahasiswa dengan wajah yang menyejukkan. Aku ceritakan tentang kisah suramku semasa SMU dan awal-awal kuliah. Ya. Pemuda yang sangat jauh dengan nilai-nilai din. Pendek kata, akhirnya aku menuntut ilmu dengan beliau. Hanya berdua saja. Setelah beberapa kali pertemuan, baru aku mengetahui bahwa guru ngaji –yang belakangan aku diberi tahu bahwa beliau adalah seorang murobbi, dan aku mutarobbi– yang aku belajar padanya adalah seorang kader dari salah satu partai Islam. Sederhana saja cara aku tahu, beliau membawa sebuah buku notes kecil dengan logo partai tersebut.
Mungkin berbeda dengan yang lainnya. Yang aku ketahui beberapa mahasiswa yang saat ini aku temui adalah sebuah keluhan: â€Ana ini pingin cari ilmu agama, bukan berpolitik.†Lalu mereka lari dari ta’lim pekanan mereka. Namun diriku justru bangga dengan simbol tersebut. Mulai aku membeli stiker lambang partai tersebut, rompi berlambangkan simbol partai, atau juga baju koko yang berbodirkan logo partai Islam tersebut. Rasanya sudah menjadi bagian dari kumpulan orang-orang sholih. Demikian pikirku.
Sayang, proses pendidikan Islam yang aku lalui dengan beliau tidak begitu lancar karena kesibukan beliau. Namun ternyata aku memperoleh gantinya. Suatu ketika, aku bertemu seorang Ustadz yang menurut penilaianku lebih berilmu. Aku langsung jatuh cinta. Walhasil, bergabunglah aku di dalam halaqohnya. Delapan bulan kira-kira aku dibina.
Suatu ketika sang murobbi meminta aku untuk mengatur waktu pertemuan dengan beliau, seminggu sekali di luar waktu halaqoh. Aku diminta mengajak satu orang teman yang lain. Aku tidak tahu mengapa dia yang harus aku ajak. Yang jelas, saat itu aku diminta untuk merahasiakan aktivitas tersebut, bahkan dari teman satu halaqoh. Padahal, menurut yang dianut oleh mereka, teman satu halaqoh adalah seperti satu tubuh; persoalan pribadi pun tahu.
Aku mulai majelis khusus dengan rasa bangga. Sepertinya kami dikhususkan dari yang lain. Di majelis tersebut, aku dikenalkan dengan fiqh da’wah dan amal jama’i. Setelah materi tersebut usai, kami mulai diperkenalkan sebuah risalah yang ditulis oleh seorang tokoh pergerakan yang bernama Hasan al-Banna. Tidak semua memang dalam buku tersebut dibahas, tetapi yang jelas kami sangat bersemangat membahas Majmuaturrosail. Para aktivis sering menyebutnya dengan Risalah Pergerakan. Beberapa pertemuan, aku agak lupa, lalu kami pun selesai dan diminta menunggu kabar dari murobbi dari murobbiku. Gampangnya, kakek guruku.
***
Di dalam masa itu juga, aku sudah belajar menjadi murobbi. Itu artinya, aku mempunyai mutarobbi. Ada suatu hari yang sangat berharga, yang merupakan titik balik bagi diriku. Tatkala aku berkunjung ke tempat tinggal mutarobbi-ku, beliau sedang mendengarkan ceramah. Kata beliau, Syaroh Hadits Arba’in yang disampaikan oleh Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam. Aku pinjam CD tersebut dan aku copy di komputerku.
Sementara aku masih ngaji dengan murobbi-ku, aku juga kesana-kemari membeli buku-buku dari penulis yang tidak direkomendasikan oleh teman-teman satu jama’ah, atau bahkan dijauhi. Masih ingat saat aku menceritakan jika aku membeli di Toko Buku Ihya’, milik Ustadz Afifi Abdul Wadud, seorang akhwat senior di jama’ah berkata: â€Kok, beli di toko itu to, akh. Awas, nanti terÂ-sibghoh (baca: tercelup aroma salafi)?!â€
Di tengah perjalanan aku mendengarkan ceramah dari Ustadz Abu Isa, aku tahu dari beliau, bahwa ternyata musik itu harom. Aku terperanjat. Mengapa? Padahal saat itu aku sangat gandrung dengan nasyid. Aku pun mencari tahu. Dua buah buku aku beli: yang pertama, ditulis oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani dan yang kedua ditulis oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah. Pembaca pasti sudah familiar dengan buku tersebut. Bismillah… aku mulai menjauhi nasyid dan asyik masyuk dengan lantunan suara murottal Syaikh Masyari Rosyid. Lama kelamaan, saat aku mendengar nasyid, rasanya dada ini sesak, panas, gelisah, benci. Nasyid hanya menumbuhkan angan-angan kosong dan kemunafikan.
Siapa yang nyana, ternyata dari haromnya musik, aku mulai membuka wawasan diniyah. Lepas dari kungkungan jama’ah yang melarang untuk membaca buku ini dan itu. Lepas dari orang-orang yang mengatakan Salafi itu kecil amalnya, ngurusi tauhid tidak habis-habisnya, tidak mau ngurusi orang dan maunya harus diurusi, malas berda’wah, keras jika menasihati, dan berbagai tuduhan yang merendahkan orang yang terkenal dengan nama â€salafi.†Saat itu, aku hanya sedikit heran, jika musik harom, mengapa jama’ah ini hampir tidak pernah lepas dari musik (nasyid). Berbagai pertanyaan juga muncul, yang mungkin lahir karena saking bodohnya diriku, salah satunya: apa yang membuat di jama’ah ini ada mekanisme amniyah.
***
Selesai sudah aku menunggu kabar dari â€kakek murobbiâ€ku, akhirnya datang juga perintah untuk menemui murobbiku. Aku diminta berboncengan bersama dengan salah seorang temanku. Tanpa mengetahui akan diapakan, aku menurut saja. Murobbi-ku lalu mampir di rumah temannya. Aku melihat mereka seolah sama-sama tahu tanpa menjelaskan apa yang akan dilakukan, hanya berbicara: â€Ini yang mau di-itu.†Yang diajak bicara pun manggut-manggut tanda paham.
Kami lalu berangkat menuju sebuah masjid yang aku tidak tahu dimana letaknya, saat itu malam hari. Di sana akhirnya bertemu dengan beberapa orang lain. Orang terakhir yang datang adalah kakek murobbiku. Saat pertemuan dimulai, beliau menjelaskan tentang bai’at yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Pendek kata, beliau menjelaskan bahwa apa yang akan dilakukan malam ini adalah ada dalilnya. Usai penjelasan tersebut, kami ditawari untuk di-bai’at. Dan kami bersedia. Aku disodori teks bai’at, menjabat tangan kakek murobbiku, dan diminta melafazhkan teks bai’at dalam bahasa Arob. Inti teks tersebut adalah bahwa aku berjanji setia untuk menjadi anggota Ikhwanul Muslimin. Aku terperanjat, kaget tapi ada rasa kebanggaan yang luar biasa, mungkin karena aku bodoh. Luar biasa: aku dibai’at secara rahasia, sangat rahasia, bahkan dirahasiakan dari istri sekalipun.
***
Entah kenapa, gerak hati ini semakin tidak nyaman untuk berada di dalam jama’ah tersebut. Ada rasa berdosa ketika aku harus berda’wah tetapi di waktu yang sama, aku harus menyembunyikan sesuatu kepada para mutarobbiku. Ada rasa berdosa ketika harus melakoni tugas-tugas kejama’ahan yang menurut buku-buku â€salafi†tidak dibenarkan.
Aku bersyukur, kembali mutarobbi-ku lagi yang menjadi wasilah. Beliau memberikan beberapa nomor handphone beberapa ustadz dari para ikhwah salafiyyin. Aku hubungi semuanya dan satu yang memberikan respon, yang sekarang menjadi murobbiku.
***
Aku tidak ingin berpanjang lebar disini. Pada suatu hari, aku ditekan untuk memberi jawaban atas sebuah tawaran. Jika masih ingin berada di shoff jama’ah, maka materi da’wahku juga harus dikontrol. Aku melihat ada sebuah kejanggalan. Mengapa? Aku menyampaikan apa yang tertulis dari apa yang aku baca. Hanya saja, yang aku baca bukan dari buku-buku yang biasa dibaca oleh para anggota jama’ah; yang mungkin banyak bertentangan dengan ideologi jama’ah. Namun aku tetap yakin, apa yang aku sampaikan adalah kebenaran, mengapa harus dihentikan? Akupun dituduh mencela para ulama? Dan sebagainya, dan sebagainya. Hingga pada suatu hari, aku mendengar bahwa seorang senior jama’ah memberikan instruksi pada anggota jama’ah yang masih â€muda†untuk tidak mendekati diriku. Ya. Ceritanya aku diboikot, meski tidak semua memboikot
Alhamdulillah, saat itu aku memutuskan untuk pamit dari jama’ah. Rasanya lega. Banyak pesan singkat yang mencela diriku. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Ada beberapa cerita unik yang mengiringi pamitku dari jama’ah ini. Suatu ketika aku mendapatkan pesan singkat (sms) dari mutarobbi-ku. Mereka adalah mutarobbi yang mengikuti jejakku dan sedang dikondisikan agar tetap berada di jama’ah oleh murobbi atau teman satu jama’ah.
â€Salafiyyin itu tafsir (kitab tafsir)nya dangkal, tidak kontemporer.â€
Juga sms lainnya:
â€Orang salafiy itu: 1. Terlalu mengutamakan menuntut ilmu sehingga meninggalkan da’wah, 2. Terlalu saklek dengan al-Qur’an dan Sunnah sehingga cenderung tidak menerima hal-hal baru atau ijtihadiyah, 3. Mudah mengatakan bid’ah pada seseorang dan jama’ah lain… Bagaimana penjelasannya?â€
Juga sampai sebuah komentar dari salah seorang ikhwah jama’ah senior (sekarang menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta) kepadaku:
Yang kita bahas adalah tentang hukum-hukum/aturan-aturan dalam kerangka hidup bernegara. Contoh: RUU Pedidikan, RUU APP (Anti Pornografi-Pornoaksi), ataupun RUU lain yang akan lebih menjamin payung hukum ummat Islam melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Itu tidak akan perah berlaku di Republik ini tanpa perjuangan, sekedar dengan ta’lim di masjid-masjid besar sambil membid’ah-bid’ahkan Muslim lain yang sedang berjuang dengan ikhlash lillahi ta’ala, merasa diri paling nyunnah walau dengan pemahaman yang cethek (dangkal), tekstual, tidak integral dalam permasalahan dan dalam mengambil dalil. So, silakan belajar dan amalkan Islam secara kaffah. Fiqh siyasah, ibadah, ekonomi, sosbud, dll. Jangan mencukupkan diri dengan fiqh ibadah, ndak ku (rang) per (gaulan), ga funky, (ga) cool, (ga) calm, (ga) confident, he.. he …
Juga seorang ikhwah yang ketika memberitahukan kepada saudaranya bahwa beliau ngaji bersama ikhwah salafiyyin, kakak beliau pun (yang merupakan salah satu anggota partai dakwah tersebut) mengatakan padanya: â€Sekarang jangan anggap saya dan mbakmu sebagai saudara!â€
Kisah lain yang tidak kalah luar biasanya. Ada seorang ukhtun yang telah menjadi kader inti menanyakan kepada seorang Ustadz, sebut saja GM, â€Bagaimana hukum keluar dari al jamaah?†Dijawab, â€Bunuhâ€-sebagaimana dalam hadits yang ada di Arbain Nawawiyyah-. Lalu, ukhtun tersebut bertanya lagi, â€Apa hukum keluar dari jama’ah Ikhwanul Muslimin?†Dijawab, â€Seandainya kami mempunyai kemampuan pasti akan demikian pula (akan dibunuh).â€
Terakhir, mungkin ini yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahwa Ust. Prof. Dr. YI adalah seorang kader Ikhwanul Muslimin, dan beliau termasuk sesepuh di jama’ah tersebut. Aku sendiri tahu setelah dibai’at.
Ya. Demikian yang bisa aku sampaikan pada umat. Mudah-mudahan Alloh selalu memberikan keistiqomahan pada diriku untuk meniti manhaj salaf. Kepada saudara-saudaraku yang telah mendapat hidayah untuk meninggalkan â€rumah lamaâ€, memegang kebenaran itu seperti memegang bara. Semakin erat dipegang, semakin hancur jasad kita.
Sebagai tambahan,ustadz yang merespon aku, dan sekarang aku anggap sebagai murobbi-ku adalah Ust. Aris Munandar. Meskipun beliau tidak pernah merasa menjadi “guru”, tetapi aku sangat banyak dibantu oleh beliau dalam hal ilmu syar’i dan dalam problematika da’wah di masyarakat. Aku tidak menyangka jika SMS-SMS yang aku kirimkan selalu terbalas (hanya 1 kali belum terbalas, itu pun aku yakin karena kesibukan beliau). Jazakumullohukhoiron kepada Ust. Aris.
Akhirnya,sebagai penutup atas tulisanku. Aku sampaikan semua ini untuk menunaikan nasihat antara kita sesama muslim. Mohon halalkan segala hak yang mungkin aku zhalimi,mohon maaf segala kesalahan. Kepada “ustadzaris.com” dan Ustadz Aris, semoga senantiasa istiqomah di manhaj yang mulia ini.
InsyaAllah kalau dalil-dalil sudah lengkap sy upload diblog sy mengenai hal bai’at yang sy kutip dr berbagai blog termasuk dr blog ustadzaris.com dg disertai kesimpulan, sehingga kaum muslimin bisa mengunduh dan memahaminya, semoga Allah mempermudah sy dalam mencari ilmu. Amin
selamat kepada dzulfikar..barokallohu fiik…..ana juga termasuk yang Alloh kehendaki keluar dari jama’ah IM…alhamdulilah
assalamu’alaikum, ustadz mau tanya !kalau ada sebagian muslim di suatu negara mengikuti Hari Raya ikut sama Pemimpin Ormas, bukan Pemerintah, apakah itu termasuk 2 Baiat dalam satu negara ? Bukankah Rasulullah melarang 2 baiat dalam pemerintahan, dan yg terakhir harus dibunuh? Makasih ustadz atas penjelasannya
#rhezi
Tidak termasuk dua baiat dalam satu negara.
assalamu’alaikum…
ana mau bertanya mengenai pemahaman jamaah muslimin (Hizbullah). mereka beranggapan bahwa dalam hidup berjamaah, umat islam harus memiliki imam yang dibaiat oleh seluruh umat islam di dunia walaupun mereka tidak memiliki tanah kekuasaan karena mereka yakin sekali, suatu saat mereka akan diberikan kekuasaan oleh Allah jika mereka tetap istiqomah dan bersabar dalam jamaahnya. sedangkan mereka memiliki sikap tersendiri terhadap pemerintah yakni tetap mematuhi peraturan selama itu tidak melanggar perintah Allah dan membuat kesejahteraan umat. hal ini membuat ana mengiyakan pemahaman mereka. apakah ustadz mengetahui mengenai asal usul kelompok ini?