Tidak Wajib Bayar Hutang Ortu
Di tengah masyarakat kita dijumpai anggapan adanya warisan hutang. Artinya jika orang tua meninggal dunia dalam kondisi meninggalkan hutang tanpa meninggalkan harta warisan maka ada anggapan bahwa anak itu memiliki kewajiban untuk melunasi hutang orang tua sebagaimana anak mendapatkan warisan harta dari orang tua manakala orang tua meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan harta.
Benarkah anggapan ini? Mari kita simak bersama penjelasan sejumlah ulama terkait hal ini. Ibnu Sa’di mengatakan, “Ahli waris itu bisa dituntut untuk melunasi hutang anggota keluarganya yang telah meninggal dunia dan ahli waris tersebut bisa melunasi hutang si mayit…. Akan tetapi ahli waris tidaklah dituntut untuk melunasi hutang si mayit dengan nilai yang lebih besar dibandingkan total harta warisan yang ditinggalkan oleh mayit karya ahli waris itubukanlah sekutu dalam harta dengan mayit. Ahli waris hanya berstatus sebagai pengganti mayit dalam harta warisan yang ada yang ditinggalkan oleh mayit” (al-Qawaid wa al-Ushul al-Jami’ah).
Ibnu Utsaimin menjelaskan lebih lanjut pernyataan gurunya ini, Ibnu Sa’di dengan mengatakan, “Artinya jika mayit memiliki hutang seribu real sedangkan total warisan yang ditinggalkan mayit lima ratus real maka ahli waris tidak boleh dituntut untuk membayar lebih dari lima ratus real karena tidak ada harta mayit yang dia pegang kecuali jumlah tersebut. Ahli waris juga tidak memiliki kewajiban untuk melunasi hutang orang tuanya yang telah meninggal dunia jika hutang yang ditinggalkan tersebut lebih dari total harta warisan yang ditinggalkan. Jika demikian ketentuan untuk anak apalagi ahli waris selainnya. Namun jika anak berkenan untuk berbuat baik dengan kerelaan hatinya dan dia lunasi hutang orang tuanya meski nilai hutang itu lebih besar dari pada total harta warisan yang ditinggalkan maka hal ini adalah sebuah kebaikan dari anak kepada orang tuanya.
Akan tetapi kutegaskan hal ini agar tidak bersempit hati anak yang orang tuanya meninggal dunia dalam kondisi meninggalkan hutang yang tidak cukup dilunasi dengan harta warisan yang ada. Akhirnya untuk melunasi hutang tersebut sebagian anak mengemis, meminta-minta kepada manusia. Mengemis dengan alasan semisal ini satu hal yang tidak halal. Mereka tidaklah berada dalam kondisi darurat yang membolehkan untuk mengemis. Padahal mengemis itu tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Jika ada yang beralasan dengan mengatakan bahwa mereka para anak ingin membebaskan orang tuanya dari kewajiban pelunasan hutang maka kami katakan bahwa hutang tersebut berkaitan dengan orang lain (baca: orang tua bukan diri mereka)” (at-Ta’liq ‘ala al-Qawaid wa al-Ushul al-Jami’ah wa al-Furuq wa at-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah, hal. 255-256).