إذا ثبت هذا أيها الإخوة؛ فإن أهل العلم يفرقون بين صلاة الجماعة, وصلاتها في المسجد, فذهب جمهور الفقهاء: إلى أن صلاتها في المسجد سنة.
Dr Abdullah al Sulmi mengatakan, “Setelah jelas bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib maka perlu diketahui bahwa para ulama membedakan antara status hukum shalat berjamaah dan shalat di masjid. Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengerjakan shalat berjamaah di masjid hukumnya dianjurkan.
والقول الثاني: وهو رواية عند الإمام أحمد, اختارها أبو العباس ابن تيمية وابن القيم: أن صلاة الجماعة في المسجد واجب, وهذا أظهر, وهذا أظهر.
Pendapat kedua yang merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim, shalat berjamaah di masjid itu hukumnya wajib dan inilah pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini.
ومما يدل على ذلك أمور:
أولًا: حديث ابن مسعود هذا, فإنه قال في صحيح مسلم: «ولو أنكم تخلفتم كما يتخلف هذا المنافق؛ لتركتم سنة نبيكم, ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم», وجه الدلالة: أنه قال: «كما يتخلف هذا المنافق», دليل على أن المنافق هو الذي كان يترك الصلاة في المساجد, ولا شك أن المنافق ما فعل هذا إلا لأنه فعل إثمًا عظيمًا, ولذلك لم يوصف بالنفاق إلا لتركه مأمورًا به, إلا لتركه مأمورًا به, هذا واحد.
Ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini.
Pertama ucapan Ibnu Masud. Dalam shahih Muslim, beliau mengatakan, “Andai kalian tidak shalat berjamaah di masjid sebagaimana kelakuan orang orang munafik maka berarti kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian maka kalian adalah orang orang yang sesat”.
Ada dua sisi pendalilan dari ucapan beliau di atas yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah di masjid.
Pertama, ucapan beliau di atas menunjukkan bahwa orang munafiklah yang tidak mengerjakan shalat berjamaah di masjid. Tidaklah diragukan bahwa perbuatan yang disandarkan sebagai perbuatan orang munafik adalah perbuatan yang bernilai dosa besar. Tidaklah perbuatan ini dikaitkan dengan kemunafikan melainkan dikarenakan meninggalkan kewajiban.
الثاني: قوله «لضللتم», وهؤلاء هم أصحاب النبي -صلى الله عليه وسلم-
Yang kedua, beliau mengatakan ‘niscaya kalian sesat’ padahal kalimat ini ditujukan kepada para shahabat nabi.
ومما يدل على ذلك أيضًا: ما جاء عن عتاب بن أسيد الصحابي المعروف, وكان أمير مكة حينما تولى إمارة مكة, قال: “يا أهل مكة, والله لا يبلغني عن أحد منكم أنه تخلف عن الصلاة في المسجد إلا لضربت عنقه”, يقول ابن القيم: “فحمد الناس أمره ذلك”.
Dalil kedua adalah riwayat dari ‘Itab bin Usaid seorang shahabat yang terkenal. Ketika beliau menjadi gubernur Mekkah beliau menyampaikan pengumuman, “Wahai penduduk Mekah, demi Allah tidaklah sampai berita kepadaku mengenai adanya salah satu diantara kalian yang tidak mengerjakan shalat berjamaah di masjid melainkan akan kupenggal lehernya”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “masyarakat pun memuji keputusan beliau”.
ومعني “ضرب عنقه”: يعني بذلك أنه يستتيب على ترك الصلاة, لأنهم كانوا في الأصل أنهم لا يتركون الصلاة في المساجد إلا لتركها مطلقًا, وليس معنى ذلك أن من ترك الصلاة في المسجد يُقتل, ليس معناه هذا, وإنما قصد بذلك أن ترك الصلاة مطلقًا, والله أعلم.
Yang dimaksud dengan memenggal leher di sini adalah memintanya bertaubat karena meninggalkan shalat karena dahulu tidak ada orang yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid melainkan karena dia memang sama sekali tidak mengerjakan shalat meski hanya di rumah. Bukanlah maksud perkataan beliau itu ada hukuman mati untuk siapa saja yang tidak mengerjakan shalat berjamaah di masjid. Bukan demikian maksud beliau namun maksud beliau dengan hukuman mati di sini adalah ditujukan kepada orang yang sama sekali tidak mengerjakan shalat.
ويقول ابن تيمية –رحمه الله-: “والذي نؤمن به, نرى أن الحق فيه: هو أن الصلاة في المساجد واجبة”, وهذا هو الراجح, لكن يجوز لحاجة,
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Pendapat yang kami imani dan kami yakini sebagai sebuah kebenaran adalah hukum shalat di masjid adalah wajib”. Inilah pendapat yang lebih kuat namun boleh tidak ke masjid karena suatu keperluan.
الحاجة مثل أن افنسان عنده ظرف, أو اجتمع عنده أناس في يوم رمضان لظرف من الظروف, أو عنده مريض, فأراد المريض أن يصلي بهم,
Contoh kebutuhan yang membolehkan tidak berjamaah di masjid adalah berkumpulnya sejumlah orang di rumah seseorang pada bulan Ramadhan karena keperluan tertentu atau adanya sejumlah orang yang membezuk orang sakit dan si sakit ingin shalat berjamaah dengan orang orang yang membezuknya.
كما في الصحيحين من حديث أنس, أنه قال: «سقط النبي –صلى الله عليه وسلم- عن فرسه فجُحِشَ شقه الأيمن, فجئنا نعوده, فحضرت الصلاة, فقام فأمنا ونحن خلفه, فأردنا أن نقول فأشار بيده أن اجلسوا, ثم قال: إنما جعل الإمام ليؤتم به, فإذا سجد فاسجدوا, وإذا صلى قاعدًا فصلوا قعودًا أجمعين»,
Dalilnya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas, “Suatu ketika Nabi terjatuh dari kudanya sehingga salah satu sisi badan beliau bermasalah. Kami membezuk beliau. Saat waktu shalat sudah tiba Nabi menjadi imam kami dan kami di belakangnya. Beliau berisyarat kepada kami agar duduk. Setelah selesai shalat beliau mengatakan, “Imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam sujud hendaknya kalian semua juga bersujud. Jika imam shalat sambil duduk maka hendaknya kalian semua shalat sambil duduk”.
وهذ يدل على أنهم تخلفوا وتركوا الصلاة في المسجد, وهذا إذا كان لعذر, وأما إذا كان لغير عذر فإنه كما قال ابن مسعود: “ولو أنكم تركتم سنة نبيكم لضللتم”.
هذا في حق المقيم, هذا في حق ماذا؟ المقيم.
Hadits di atas menunjukkan bahwa para shahabat yang membezuk Nabi mereka tidak mengerjakan shalat di masjid.
Boleh tidak shalat berjamaah di masjid itu manakala ada alasan yang dibenarkan. Jika tanpa alasan maka orang tersebut tercakup dalam perkataan Ibnu Masud ‘Jika kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian maka tentu saja kalian akan tersesat’.
bukankah membezuk orang sakit bisa DITUNDA SETELAH pelaksanaan shalat jama’ah (seandainya para shahabat memahami hukumnya fardhu ‘ain)?! sebab hal ini adalah sesuatu yang dapat diamalkan KAPAN SAJA, yang dapat ditunda setelah pelaksanaan shalat jama’ah.. <br><br>
bahkan dalam hal ini, dihadapkan dua hukum [shalat berjama’ah di masjid, atau membezuk orang sakit (ini fardhu kifayah)] dimana-mana fardhu ‘ain lebih diutamakan daripada fardhu kifayah, bahkan dalam hal ini membezuk pun, bisa diakhirkan waktunya.. seandainya shalat berjama’ah itu fardhu ‘ain, niscaya para shahabat akan mengakhirkan hal ini.. <br><br>
dan dengan dibezuk-nya nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam pada waktu shalat berjama’ah di masjid diadakan, justru menandakan pemahaman para shahabat bahwa hal ini bukanlah fardhu ‘ain; akan tetapi fardhu kifayah (hanya sebagian dari mereka saja yang membezuk, sementara sebagian lain tetap mengadakan shalat jama’ah di masjid).. <br><br>
demikian pula nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam, TIDAK MENEGUR sebagian shahabat yang menjenguk beliau pada waktu shalat berjama’ah di masjid diadakan… seandainya hal itu FARDHU ‘AIN, niscaya beliau akan menyuruh mereka untuk mengerjakannya berjama’ah di masjid bersama imam rawatib pada waktunya.. akan tetapi, beliau tidak melarangnya, bahkan mengerjakan shalat berjama’ah bersama para shahabat di rumah beliau.. <br><br>
sehingga justru hadits diatas, semakin menguatkan hukum shalat berjama’ah dimasjid bukanlah fardhu ‘ain, tapi fardhu kifayah.. yang mana hadits ini diantara hadits-hadits yang memalingkan hukum shalat berjama’ah di masjid dari hukum wajib… <br><br>
wallahu a’lam
… Jika imam shalat sambil duduk maka hendaknya kalian semua shalat sambil duduk…. ternyata begitu y, baru tahu lho.
kalau kita besuk orang di RS kemudian tidak shalat di masjid , shalatnya di rumah setelah besuk bagaimana ustadz?
#abu
Bagaimana dengan hadits shahabat buta dan mengajukan enam alasan untuk boleh shalat di rumah namun Nabi tidak mengizinkannya. bukankah itu menunjukkan fardu ain shalat berjamaah dan wajib shalat di masjid??
inilah hukum asal dalam masalah ini.
hadits hadits yang memberi keringanan kita jadikan sebagai pengecualian dari hukum asal.
#wawan
Tidak sesuai dengan keringanan yang dijelaskan di dalam tulisan di atas.
Assalaamu’alaikum.. Ustadz ..
Apakah orang yang bertamu di rumah orang lain, boleh shalat berjamaa’ah di rumah bersama tuan rumah tanpa adanya udzur (semisal hujan) dengan memakai dalil kisah ‘Itbaan bin Maalik yg pernah meminta Nabi untuk shalat dirumahnya ?
mohon penjelasannya. Baarakallahu fiikum ..
Ustadz bolehkah jika kita bertamu dirumah orang,kemudian pd waktu sholat telah tiba kita sholat dirumah tsb bersama tuan rumah tanpa adanya udzur,misal hujan?
#abid
Tidak boleh
#eko
Kisah itban itu terkait shalat sunnah.
Dari Humaid dari Anas dari Ummu Fadhl binti Al-Harist, ia berkata :”Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam pernah mengimami kami shalat maghrib di rumahnya dan membaca surat Al-Mursalat.Setelah itu beliau tidak pernah melakukannya hingga beliau wafat (Dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan An-Nasai (I/213))
Sumber :
https://salafyitb.wordpress.com/2007/08/28/masjid-bukan-syarat-dalam-pelaksanaan-shalat-berjamaah/
Apakah boleh shalat berjamaáh di rumah dengan dalil diatas, Ustadz ?
Dan bgmn dg hadist tsb ustadz “Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata “Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam adalah seorang yg sangat mulia akhlaknya.Terkadang beliau masih berada di RUMAH kami DISAAT WAKTU SHOLAT TELAH MASUK.Lantas beliau menyuruh utk menyapu tikar yg ada di bawah beliau dan memercikkan air ke tikar tsb.Kemudian kami berdiri di belakang dan beliau mengimami kami sholat.Tikar yg beliau pakai saat itu terbuat dr daun korma (shahih Riwayat Huslim)