Manfaat Bagi Mayit, Kiriman Pahala Baca al-Quran Sebagian ulama berdalil dengan QS al-Baqarah: 281 untuk berpendapat tidak boleh menghadiahkan pahala amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang kepada yang lain, artinya jika anda mengerjakan sebuah amal shalih tertentu untuk seseorang tertentu hal tersebut tidaklah bermanfaat baginya dan orang lain pun tidak bisa mengambil manfaat dari amal tersebut karena dalam ayat ini Allah berfirman, “Kemudian semua jiwa akan diberi balasan akan apa yang dia lakukan” (QS al-Baqarah: 281), bukan apa yang dilakukan oleh orang lain. Apa yang dilakukan oleh orang lain itu untuk pelakunya kecuali beberapa amal shalih yang hadits Nabi menegaskan bahwa selain pelaku itu bisa mengambil manfaat darinya yaitu:
Pertama, puasa mengingat sabda Nabi, “Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan memiliki hutang puasa maka hendaknya keluarganya berpuasa untuknya” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, haji. Ada seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi mengenai niat wanita tersebut untuk berhaji untuk ayahnya yang sudah tua renta, tidak bisa duduk dengan baik di atas pelana onta. Wanita tersebut bertanya, “Bolehkah aku berhaji untuk ayahku?”.
“Boleh”, jawab Nabi (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain terdapat seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi mengenai haji untuk ibunya yang punya nadzar untuk berhaji namun belum terlaksana sampai pada akhirnya beliau meninggal dunia.
“Bolehkah aku berhaji untuk ibuku?”, tanya wanita tersebut. “Silahkan”, jawab Nabi. Ketiga, sedekah untuk mayit mengingat sabda Nabi kepada orang yang meminta fatwa kepada Nabi terkait rencananya untuk bersedekah atas nama ibunya. Jawaban Nabi, “Silahkan” (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi juga mengizinkan Saad bin Ubadah untuk menyedekahkan kerbunnya atas nama ibunya (HR Bukhari). Keempat, doa untuk orang lain. Jika yang didoakan adalah seorang muslim maka dia akan mendapatkan manfaat dari doa orang lain untuknya berdasarkan dalil berupa ayat al Quran, hadits Nabi dan konsesus ulama. Dalil ayat al-Quran terdapat dalam firman-Nya yang artinya, “Dan orang-orang yang datang setelah mereka berdoa ‘wahai rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman’” (QS al-Hasyr: 10).
Sedangkan dalil hadits terdapat dalam sabda Nabi, “Tidak ada seorang pun yang meninggal dunia lalu jenazahnya disholati oleh empat puluh orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun kecuali akan Allah kabulkan doa permohonannya” (HR Muslim). Adalah kebiasaan Nabi jika telah selesai memakamkan jenazah berdiri di dekat makam lantas berkata, “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah keteguhan dalam menjawab pertanyaan malaikat karena sungguh saat ini dia sedang ditanyai” (HR Abu Daud). Sedangkan dalil ijma atau konsesus, kaum muslimin seluruhnya bersepakat untuk mengerjakan sholat jenazah yang isinya adalah permohonan ‘Ya Allah ampunilah mayat ini dan sayangilah dia’. Artinya kaum muslimin sepakat bahwa mayit mendapatkan manfaat dari doa orang yang hidup untuknya. Perselisihan ulama mengenai apakah mayat itu mendapatkan manfaat dari amal shalih orang lain, selain yang terdapat dalam hadits, adalah perselisihan yang sudah terkenal. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal semua amal ibadah yang dilakukan oleh seseorang lantas pahalanya dihadiahkan kepada mayit muslim baik kerabat atau pun bukan kerabat adalah bermanfaat bagi mayit.
Meski demikian, mendoakan mayit itu lebih utama dari pada menghadiahkan amal ibadah kepada mayit karena itulah arahan yang diberikan oleh Nabi dalam sabdanya, “Jika seorang meninggal dunia maka kesempatan untuk menambah amal shalih itu terputus kecuali untuk tiga jenis orang. Ketiganya adalah orang yang memiliki sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shalih yang mendoakan kebaikan untuk orang tuanya” (HR Muslim).
Dalam hadits ini Nabi tidak menyebutkan pengiriman pahala amal shalih padahal hadits tersebut dalam suasana menyebutkan amal yang manfaat bagi mayit. Ada pun dalil ulama yang melarang menghadiahkan pahala amal shalih untuk mayit itu semisal firman Allah yang artinya, “Tidak ada bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan” (QS an-Najm: 39). Ayat ini tidak menunjukkan larangan menghadiahkan pahala amal shalih. Ayat di atas cuma menyebutkan bahwa amal seseorang itu benar-benar baginya dan sedikit pun seorang itu tidaklah mendapatkan pahala dari amal orang lain kecuali manakala pelakunya menghadiahkannya kepada pihak lain. Ayat di atas itu semisal kalimat, “Engkau tidaklah memiliki kecuali hartamu”. Kalimat ini tidaklah bermakna melarang menerima bantuan dan donasi harta dari orang lain. Adapun pendapat yang membatasi diri hanya dengan yang ada dalam hadits jawabannya adalah semua itu adalah qadhaya a’yan atau hal yang bersifat kasuistik. Anda ada hadits berupa sabda Nabi yang isinya berberi pembatasan maka kami katakan, ‘betul, kita batasi dengan amal yang berdalil’.
Namun yang jadi masalah, hadits-hadits di atas adalah jawaban Nabi untuk kasus-kasus tertentu yang diajukan kepada Nabi alias qadhaya a’yan. Ada orang yang bertanya kepada Nabi ‘aku akan melakukan demikian dan demikian’. “Silahkan dan sah”, jawab Nabi. Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa amal shalih yang dikerjakan oleh orang lain itu akan sampai kepada orang lain yang diberi hadiah. Kita tidak tahu secara pasti andai ada orang yang datang kepada Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah, aku mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat untuk ibuku, ayahku atau saudaraku apakah itu diperbolehkan atau pahalanya sampai kepada yang bersangkutan?”. Kita tidak tahu secara pasti apa yang akan menjadi jawaban Nabi namun menimbang hadits-hadits di atas bisa kita prediksikan bahwa jawaban Nabi adalah “Ya, silahkan”. Andai ada hadits berupa sabda Nabi yang isinya, “Siapa yang bersedekah untuk ayah dan ibunya maka itu bermanfaat” atau kalimat semisal itu tentu saja akan kami tegaskan, “Ini adalah sabda Nabi dan kita cukupkan dengannya” Demikian uraian panjang lebar yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin yang bisa dijumpai di Tafsir al-Quran al-Karim Tafsir Surat al-Baqarah 3/398-401 saat menjelaskan kandungan ketujuh dari QS al-Baqarah: 281. ‘
Intinya, pendapat yang dinilai kuat oleh Ibnu Utsaimin di sini adalah boleh dan sampainya pengiriman pahala berbagai amal shalih kepada mayit baik mayit tersebut kerabat atau pun bukan kerabat. Pesan pokok yang ingin disampaikan oleh artikel ini adalah bersikaplah bijak dan proposional dalam masalah pengiriman pahala amal shalih kepada yang telah meninggal dunia. Tidaklah tepat mengidentikkan pendapat yang mengatakan sampai dan manfaat dengan pendapat yang menyimpang dari jalan yang lurus dalam beragama.
Berarti kita baca yasin untuk orang meninggal boleh ya tadz, soalnya sejak ana mengenal kajian salafi ana tidak pernah lagi menghadiri undangan yasinan untuk orang meninggal di kampung karena yang ana pelajari dari dulu di majelis2 ilmu bermanhaj salafi, mengajarkan bahwa mengirim pahala baca alqur’an kepada mayit tidak lah bermanfaat.
Boleh ya tadz intinya
@ Ysoi
Jika guru yang mengajari anda kokoh dalam ilmu tentu anda akan mendapatkan penjelasan bahwa mengirim pahala baca al Quran kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah hal yang diperselisihkan oleh para ulama. Yang dipilih oleh Imam Ahmad, Ibnu Utsaimin dll, pahala tersebut sampai dan manfaat bagi mayit.
Salah satu guru ana dan awal kenal pertama kali manhaj ini, adalah antum sendiri ustadz, barakallahufik, semoga kita selalu diberi petunjuk oleh Allah azza wa jalla dalam menyikapi perbedaan ulama. Dan karena ini perbedaan pendapat ulama, ustadz aris lebih condong ke pendapat yang mana? Karena antum merupakan salah satu kompas ana dalam bidang fiqih saat ini….
Mohon untuk bisa dijawab, barakallahufik
Law kana khairan laa sabaquna ilayhi,
Dan mau dibawa kemana hadits, Man amala amilan laysa alayhi amruna fahuwa raddun…?
@ Ysoi
Saya pribadi cenderung pada pendapat Imam Syafii, tidak dituntunkan tanpa tutup mata adanya perbedaan pendapat ulama dalam masalah ini dan dengan tetap menghormati semua pihak yang mengambil pendapat yang lain.
Akankah seorang keluarga kaya atau raja-raja akan lebih beruntung sebab dgn hartanya di bisa memberi hidangan utk berpuluh ribu orang dalam mendoakan si mayit atas undangan keluarga-nya ?
assalamualaikum..
afwan ustadz, koreksi untuk ayat yang anda jabarkan di atas.
“Dan orang-orang yang datang setelah mereka berdoa ‘wahai rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam iman’” (QS al-Hasyr: 10).
menafsirkan jgn setengah2 ustadz, ini lengkapnya :
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
konteksnya ini doa untuk orang yang masih hidup, bukan orang yang sudah meninggal.
doa anak yang shalih, untuk poin ini memang jelas yang mendoakan adalah anak yang memiliki garis keturunan jelas (kandung) dari si Mayit, tidak ada larangan akan hal ini. tapi praktek dilapangan tahlilan/yasinan itu yang datang kan orang umum dan sering sekali itu bukan termasuk dalam kategori anak. kebanyakan adlah tetangga dan bahkan saudara jauh atau juga orang yang tidak dikenal.
jelas bukan kalau praktek dilapangan tidak termasuk ke dalam kategori (Anak yang shalih)
Akh @Azwin, jawaban ustadz merujuk pada pendapat para ulama ahlus sunnah. Dan seperti yang kita ketahui bersama, para ulama rabbani tidak mungkin akan membuat pendapat sendiri tanpa ada pendahulunya dalam pendapat tersebut.
Karena majelis website seperti ini sangat terbatas, mungkin ustadz Aris tidak bisa menjelaskan secara panjang lebar keterangan mengenai masalah ini, belum lagi keterbatasan kemampuan kita untuk memahaminya. Dan nampaknya ustadz hanya menjawab masalah menghadiahkan Yasin kepada mayit, bukan masalah menghadiri undangan yasinan karena topik artikel ini bukan yasinan. Coba lihat tanya jawab di konentar pada artikel berikut https://ustadzaris.com/memahami-bidah-dengan-benar
Mudah-mudahan bermanfaat. Mohon koreksi kalau kata-kata ana salah, ustadz.
Ana memahaminya bahwa bisa jadi niat mengirim pahala bacaan Quran kpd mayit itu sampai ke mayit (tidak terbatas pada yg khusus disahkan oleh Rasulullah salallahu alaihi wassalam saja). Tapi jikapun disahkan, tidak ada tata-cara yg dicontohkan Rasulullah salallahu alaihi wassalam, misalnya dng semacam berkumpul di hari ke-sekian dan sekian dr hari kematian, lalu ada acara makan-makan, dst. Jadi jika kita niat membaca ayat Quran utk mayit maka bisa jadi akan sampe pahalanya, tetapi tata-caranya tidak diperbolehkan seperti itu dan jika spt itu digolongkan sbg bid’ah. Jadi yg bid’ah adalah tata-caranya, sedangkan pahala bacaannya bisa jadi nyampe ke mayit, bgitu tidak ustadz maksudnya atau bagaimana? Lalu bagaimana tata-cara yg dianggap benar dalam membaca Quran yg diniatkan utk mayit itu ustadz?
Marilah kita tetap menjaga adab terhadap guru2 kita. Mereka berdakwah bil hikmah. Mengapa kita tidak bias menyampaikan sanggahan atau pertanyaan dengan bil hikmah pula? Agama adalah akhlaq. Apabila ada hal yang kurang setuju, silahkan menulis email langsung kepada ustadz kita. semoga ALooh memberkahi umur dan ilmu guru2 kita. Aamiin.
artinya kita boleh melakukan amalan dengan niat, untuk si mayit tersebut?
kalau kita melakukan amalan untuk simayit apakah kita tidak mendapatkan pahala??
misalkan saja si mayit ingin umrah/haji tapi belum kesampaian hingga maut menjemput, nah saat kita haji, yang diniatkan untuk menggantikan simayit haji, apakah kita juga telah melakukan haji?
Ustad, kalau uang dari hasil takziah atau uang duka, kemana yg tepat mengalokasikan, kalau diinfakan ke masjid bisakah jadi shodaqoh jariah bagi mayit.