فتوى رقم ( 6524 )
Fatwa Lajnah Daimah no 6524
س هل يجوز حضور الاحتفالات البدعية، كالاحتفال بليلة المولد النبوي، وليلة المعراج، وليلة النصف من شعبان، لمن يعتقد عدم مشروعيتها لبيان الحق في ذلك؟
Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan menghadiri berbagai perayaan bid’ah semisal perayaan malam maulid Nabi, isra mikraj, malam nishfu Sya’ban bagi orang yang berkeyakinan bahwa perayaan-perayaan tersebut tidak ada tuntunannya namun dia hadir dalam rangka menjelaskan kebenaran terkait perayaan tersebut?”
ج أولا الاحتفال بهذه الليالي لا يجوز، بل هو من البدع المنكرة
Jawaban Lajnah Daimah, “(Ada dua poin yang perlu dicermati):
Pertama, mengadakan perayaan malam-malam tersebut adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan bahkan termasuk bid’ah yang munkar.
ثانيا غشيان هذه الاحتفالات وحضورها لإنكارها وبيان الحق فيها، وأنها بدعة لا يجوز فعلها – مشروع، ولا سيما في حق من يقوى على البيان ويغلب على ظنه سلامته من الفتن
Kedua, (hukum menghadiri perayaan-perayaan tersebut perlu dibagi dua):
Pertama, mendatangi dan menghadiri acara-acara tersebut untuk menginkarinya, menjelaskan kebenaran terkait dengan acara tersebut dan menjelaskan bahwa acara tersebut adalah amalan yang mengada-ada (baca:bid’ah) yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang dituntunkan terutama untuk orang yang mampu memberikan penjelasan dengan baik dan dia berprasangka kuat bahwa dirinya terbebas dari marabahaya karena memberikan penjelasan tentang hal ini.
أما حضورها للفرجة والتسلية والاستطلاع فلا يجوز؛ لما فيه من مشاركة أهلها في منكرهم وتكثير سوادهم وترويج بدعتهم
Kedua, menghadiri acara-acara di atas dengan tujuan sekedar nonton, cari hiburan, pengena tahu karena penasaran maka hukumnya adalah tidak boleh karena dengan hadir berarti:
turut berperan serta dalam kemungkaran yang dilakukan oleh pihak menyelenggara
memperbanyak jumlah pelaku kemungkaran
menjadi sebab semakin larisnya bidah tersebut”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Abdurrazzaq Afifi selaku wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan serta Abdullah bin Qaud selaku anggota [Fatawa Lajnah Daimah jilid 3 hal 37-38, terbitan Dar Balansiah Riyadh, cet ketiga, 1421 H].
Catatan:
Fatwa di atas menunjukkan bahwa hukum mengadakan acara maulid Nabi itu berbeda dengan hukum menghadirinya. Mengadakan acara maulid Nabi itu terlarang secara mutlak, tanpa terkecuali. Sedangkan hukum menghadiri acara semacam ini perlu rincian.
Menghadiri acara maulid Nabi itu terbagi menjadi dua kategori.
Pertama, hadir untuk mengisi hukumnya boleh bersyarat. Jika pengisi alias penceramah tersebut adalah dai ahli sunnah yang bisa menjelaskan dengan bahasa yang baik dan penjelasan yang memuaskan dengan mengedepankan argumen berupa dalil ataupun logika bukan sekedar vonis bahwa acara maulid adalah acara yang tidak pernah Nabi ajarkan maka hukumnya adalah perbuatan yang disyariatkan.
Kedua, hadir sekedar hadir, menjadi pendengar bukan pengisi maka hukumnya adalah terlarang tanpa terkecuali.
Membaca fatwa di atas menyebabkan saya teringat dengan sebuah dialog ringan yang terjadi antara saya dengan seorang dai. Dialog terjadi ketika saat itu beliau mendapatkan sms dari panitia suatu masjid yang mengundang beliau untuk mengisi acara maulid Nabi lalu sms tersebut beliau balas dengan sms panjang berisi permintaan maaf kalo beliau tidak bisa memberi respons positif atas undangan tersebut dan penjelasan bahwa acara semacam itu tidak pernah Nabi ajarkan. Dari situ, saya menyeletuk santai sambil guyon bahwa andai beliau bersedia menerima undangan tersebut hukumnya tidak mengapa asalkan beliau ketika memberi pengajian Maulid bisa memberi sisipan yang berisi penjelasan bahwa acara pengajian maulid Nabi adalah suatu acara yang tidak pernah Nabi ajarkan sehingga seorang muslim yang baik tentu akan meninggalkannya karena itu adalah bagian dari mengubah kemungkaran dengan lisan yang tentu saja disyariatkan.
Namun dengan bahasa yang halus namun tegas beliau menolak keras lontaran saya. Intinya, beliau sampaikan bahwa jika suatu acara adalah acara bid’ah maka hukum pengisi dan hadirin itu sama saja yaitu tidak boleh apapun alasannya. Diskusi tidak berlanjut sebagai bentuk penghormatan saya kepada orang yang lebih tua.
Setelah membaca fatwa ulama ahli sunnah di atas, kita bisa melihat pendapat yang lebih mendekati kebenaran dari dua pendapat yang ada dalam diskusi ringan di atas.
Artikel www.ustadzaris.com
cuma mslhnya ustadz, apa bisa seorang dai salafy dtg ke acara tsb kemudian memberikan penjelasan ttg tdk ada tuntunan nya memperingati maulid Nabi demikian jg peringatan2 lainnya, apa tdk “bunuh diri” namanya ustadz, mengingat pengikut bid’ah biasanya lbh mengutamakan perkataan “gurunya” dari pada dalil, bs2 sendal & sepatu melayang ke kepala dai salafy tsb….
#abu
Tidak mesti bid’ah itu kita sebut dengan istilah bid’ah dalam semua sikon, kadang kita sebut bid’ah atau amalan yang mengada-ada, tidak pernah Nabi ajarkan.
jika sudah diterima bahwa itu adalah amalan yang mengada-ada atau tidak pernah Nabi ajarkan maka insya Allah lebih mudah untuk mengajak mereka kembali kepada sunnah.
dia berprasangka kuat bahwa dirinya terbebas dari marabahaya karena memberikan penjelasan tentang hal ini.
jangan lupakan hal ini.
Beberapa waktu yg lalu seorang ustadz mengisi khutbah jumat dimasjid kami,membawakan dalil dalil tentang tidak disyariatkannya maulid nabi.selesai khotbah dpt reaksi agak keras dari sebagian jamaah dan anggota Dkm.kemudian rapat Dkm memutuskan untuk memberhentikan ustadz tsb ceramah maupun khotbah di masjid kami…wallohulmusta’an.
Menerima suatu kebenaran (bahwa maulid itu bid’ah) dalam hati meski belum bs melaksanakan, tentu bukan hal yang mudah. Awal seseorang mendapatkan hidayah bisa jadi dari suatu penolakan. Misal dalam kasus Oni, ada 10 orang menentang si dai tersebut, karena sesuatu hal yang baru di mata jamaah, sehingga diusirlah dai tersebut. Dari 10 orang tersebut, mungkin tidak selamanya mereka semua sepakat dalam penentangan, ada mungkin yang hanya sekadar ikut2an, kemudian dia menimbang 2 apa yang disampekan si dai tersebut. Akhirnya justru akan belajarlah orang tersebut. Terus tokoh penentang tersebut, bs jadi ada 2 kemungkinan, yang pertama, dia akan seperti orang pertama, atau yang kedua, semakin menentang . Dan hal ini wajar. Inilah yang namanya ujian keimanan. bisa jadi si tokoh itu semakin menenatng atau kembali kepada kebenaran.
Terkait dengan hal itu pula, sudahkah si dai tersebut berdakwah dengan hikmah ? sudahkah mampu menanamkan argumen yang kuat kapan suatu perbuatan itu disebut bid’ah dan mana yang tidak, terlebih dahulu ?
Assalamu’alaikum,
Di daerah ana kebanyakan acara maulid diawali dengan pembacaan syair-syair maulid (biasanya al-habsy) yg cukup memakan waktu 1 jam bahkan mgk lebih, mereka melakukan keributan didalam rumah Allah dengan menggunakan alat musik terbang (rebana), setelah acara selesai baru mulai acara dan biasanya dibacakan alquran oleh qori baru tausiah dari sang ustadz, selesai tausiah sebelum acara makan-makan ada doa bersama, biasanya diminta utk dipimpin oleh sang ustadz, kira-kira bagaimana tuh kalo sang ustadz hendak menasehati mereka, tentunya sangat sulit, dan lebih aman memang menolak hadir di tempat tersebut.
Ya kalo acara begitu, apa ada dalam kenyataan, mereka akan mengundang ustd.bermanhaj ahlus sunnah ? Tentu tidak ada. Sama halnya mereka manantang maut.
Biasanya pengajian mauludan yang sederhana…mungkin akan mengundang ustad yang benar – benar ustadz.
saya koq berpikiran klo misal ada ustadz ahlus sunnah yang hadir mengisi acara itu, maka nanti orang2 akan berkata ‘lihat, ustadz ini aja malah ngisi acara maulid. lha koq murid2nya malah membidahkan’
akhirnya nanti malah terjadi fitnah…
#spec
Makanya, si ustadz wajib menjelaskan hukum acara maulid
@Abu Hamzah AtTegaly: ada yang bisa. Dan ana mengalaminya sendiri d daerah ana.
Itulah pengajian maulid terakhir ditempat tersebut, 2 periode terakhir yg ngisi kajian maulid yaitu Ustadz ahlussunnah. Dengan nada nasehatnya yang lembut dan lucu (agak kocak untk org awam) tetapi justru menyentuh sehingga stelah itu atas taufiq dari ALLAH tdk pernah adalagi maulidan hingga brtahun2 (hingga para pengurus telah pergi& diganti pengurus yg baru).
HUKUM PERINGATAN MAULID NABI
ASAL MULA MAULID NABI
IBNU KATSIR menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H -567 H. Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al-Mawa’idz wal I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam [halaman 44-45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran) Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi.
SEJARAH HITAM SYI’AH BANI FATHIMIYYAH
Bani Fatimiyah (bukan disandarkan pada Fatimah putri Rasulullah dari Mesir, pernah mencuri Hajar Aswad di Ka’bah, tahun 1098 bersekongkol dengan pasukan salibis merebut rumah suci al-Aqsha. Kelompok Syi’ah bathiniyah ini menikam kaum muslimin dari belakang. Penggalan lain saat Mongol mengepung kerajaan Abbasiah di Baghdad, kembali orang Syi’ah berulah. Ibn al-Alqami as-Syi’i, yang sempat dipercaya menjadi menteri, berkhianat. Musuh dalam selimut ini memberi informasi rahasia negara kepada pasukan Tartar pimpinan Hulaghu Khan setelah sempat merumahkan pasukan kerajaan dari 100 ribu hingga tinggal 10 ribu. Baghdad jatuh pada 656H/1258 M. Terjadilah pembantaian selama tidak kurang dari 40 hari. IBNU KATSIR mencatat korban 800 ribu, sebagian menyebut angka 1 juta orang. Khalifah al-Musta’shim Billah terbunuh. Ia ditempatkan dalam kantong hingga meninggal karena ditendangi. Penggalan demonstrasi berdarah di masjid al-Haram Mekkah tahun 80-an pun didalangi orang-orang Syi’ah yang bersenjata.
FATWA ULAMA TENTANG MAULID NABI
Ibnu Hajar Al-Asqolani dan Imam As-Suyuthi memang memperbolehkan peringatan maulid nabi asal dengan beberapa syarat, tetapi mereka mengakui bahwa perbuatan tsb adalah bid’ah yg tidak berasal dari 3 generasi terbaik (Sahabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in). Berikut fatwa para ulama tentang maulid nabi.
1. Ibnu Taymiyyah (guru Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul Qayyim) dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim” Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau lebih besar, niscaya as salaf (ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka- akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari kita dalam mencintai Rosulullah ? dan mengagungkannya, dan mereka lebih bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin, serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al Fatawa Al Misriyah” 1/312.
2. Imam Asy-Syatibi (ulama mazhab Maliki) ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab: “Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini. (dikutib dari fatwa Asy-Syatibi, no: ( 203, 204 ).
3. Asy-Syaukani dalam Kitabnya “Risalah fi Hukmil Maulid” menyalahkan Ibnu Hajar dan As-Suyuthi yg membolehkan maulid. Berikut beberapa kutipannya:
Asy-Syaukani berkata: Saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi) di dalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istidlal yang menjelaskan landasan amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah sepakat, bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa qurun yang terbaik (para shahabat, pent), juga orang yang datang sesudah mereka (para tabi’in) dan yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan mereka juga sepakat bahwa yang pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan Al Muzhaffar abu Sa’id Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil dan yang membangun mesjid Al Muzhaffari di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh ratusan, dan tidak seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid’ah.
Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang memperhatikan (para pembaca bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut setelah dia mengakuinya sebagai bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat, berdasarkan perkataan Rasulullah, tidaklah dia (yang membolehkan maulid) mengatakan kecuali apa yang bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan tidak ada tempat dia berpegang kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi bid’ah tersebut kepada beberapa macam, yang sama sekali tidak berlandasakan kepada ilmu.
Kemudian juga Al-Imam Abdillah bin Al-Haaj dengan nama kitabnya : “Pintu masuk dalam mengamalkan maulid”, dan Imam Ahli Qiro-at Al-Jazary dengan nama kitabnya: “pengenalan terhadap maulid yang mulia”, dan juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir dengan kitabnya: “Sumber utama dalam pelaksanaan Maulid sang pembawa petunjuk”, dan Imam Suyuthi dengan kitabnya : “Tujuan yang baik dalam melaksanakan maulid” , di antara mereka ada yang benar-benar tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat kalau tidak dicampuri oleh hal-hal yang munkar, meskipun mereka mengakui bahwasanya itu merupakan perbuatan bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk memberikan argumentasi yang kuat, adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi di kala sampai di Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada hari asyura, lalu beliau menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan Ibnu Hajar, atau dengan hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah kenabian, sebagaimana yang dilakukan Suyuthi, ini merupakan suatu yang sangat aneh di mana itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan bid’ah.
4. Al Hafizh Abu Zur’ah Al ‘Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulit apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan”. (“tasyniiful Azan” hal: 136)
5. Fatwa Ibnu Hajar Al ‘Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As- Suyuthi dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid” di situ ia katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. (Al hawy lil fatawa hal: 1 / 196).
6. Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal” hal: (2/ 15,16) ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan kenapa mereka bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya bertepatan pada hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang sebenarnya adalah kematianku”.
7. Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary, yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam Ala Amali Al Maulid” berkata: “Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad saw, bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari pada bersedih pada bulan tersebut”.
8. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar al Qusyairy dalam kitabnya “as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar wash sholawaat” Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan ini (Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah, dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’ dan akal, kalau sekiranya ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin serata para ulama yang hidup setelah mereka.
9. Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor As Syikh Kholil AL Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
10. Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah tidaklah disunnahkan”.
Saya pernah diundang menghadiri tahlilan dalam rangka haul, mau menolak sulit karena waktu mengungdang tidak dijelaskan acaranya untuk itu hanya disbeutkan acara penting keluarga. Setelah acara dimulai baru saya tahu setelah mereka meminta saya memimpin tahlilan tsb. Waktu itu saya hanya mampu menolak untuk memimpin tapi tidak berhasil menolak agar saya tidak mengikuti acara tersebut. Seandainya hal tersebut terjadi lagi langkah apa yang terbaik yang harus saya lakukan.